Sukses

HEADLINE: Rencana Peralihan Kompor LPG 3 Kg ke Kompor Listrik Dibatalkan, Kendala Utamanya?

Rencana pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik secara masif akhirnya dibatalkan pemerintah

Liputan6.com, Jakarta Polemik peralihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik berakhir. Hal ini setelah rencana konversi secara masif tersebut resmi dinyatakan batal.

Kepastian pembatalan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik ini disampaikan Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo. Pembatalan dikatakan demi menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

“PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal,” ujar Darmawan dalam keterangannya, Senin (27/9/2022).

Sebelumnya, PLN melakukan uji coba program kompor listrk ini kepada 1.000 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Solo dan 1.000 KPM di Denpasar. Rencananya, masyarakat penerima program peralihan kompor listrik adalah pelanggan dengan daya 450 VA dan 900 VA.

Darmawan kala itu mengatakan jika PLN memastikan dukungan terhadap arahan Presiden terkait peralihan LPG 3 kg ke kompor listrik. Ini sesuai disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada Kamis 23 September 2022.

PLN dikatakan selalu berupaya menjalankan arahan pemerintah mempercepat transisi energi bersih di tanah air, mendukung upaya subsidi tepat sasaran, sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia dari energi impor dan menggantinya dengan energi domestik yang lebih murah.

Awalnya, PLN menyediakan jalur kabel listrik khusus untuk memasak dengan daya yang cukup untuk kompor listrik ini. Jalur kabel ini terpisah dari intalasi listrik yang sudah ada dan tarif yang dikenakan juga tidak mengalami perubahan.

“Meskipun disediakan jalur kabel khusus memasak oleh PLN, daya listrik KPM tidak mengalami perubahan. Yang 450 VA tetap 450 VA, yang 900 VA juga tetap 900 VA. Kami juga memastikan, tidak ada pengalihan daya 450 VA ke 900 VA sebagaimana yang sempat beredar di masyarakat," ujar Darmawan.

Bahkan sejatinya, dilaporkan jika secara keseluruhan program ini menunjukkan progres yang positif. Konsumsi kWh dari penggunaan kompor listrik semakin besar dan KPM mulai merasakan biaya memasak menggunakan kompor listrik lebih murah dari pada LPG 3 kg.

“PLN akan melaporkan data pemantauan dan evaluasi program uji coba kompor listrik di dua kota tersebut secara periodik untuk menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan selanjutnya,” ungkapnya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun ikut buka suara soal ini. Dia menyebut kalau PLN tak ingin terburu-buru dalam implementasi program kompor litrik.

"Saya kira, nah saya belum update sepenuhnya mengenai itu mungkin ada sesuatu yang sitemukan jadi mereka tunda dulu, jadi mereka tidak ingin buru-buru yang nanti kemudian bermasalah," ungkapnya di Sarinah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebut program kompor listrik belum akan diterapkan pada tahun ini. Sebab, itu masih tahap uji coba, dan juga ada kendala terkait anggaran di baliknya.

"Dapat dipastikan bahwa program ini tidak akan diberlakukan di tahun 2022. Sampai saat ini, pembahasan anggaran dengan DPR terkait dengan program tersebut belum dibicarakan, dan tentunya belum disetujui," ungkap Airlangga.

2 dari 5 halaman

Belum Direstui DPR

Jika ditelusuri lebih jauh, program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik memang belum sepenuhnya mendapatkan dukungan, khususnya dari DPR RI. 

Sejauh ini, DPR melalui Komisi VII belum sepakat dengan rencana konversi tersebut. Salah satunya dilontarkan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulan Jameela yang menilai kompor listrik tak cocok digunakan untuk memasak masakan lokal Indonesia.

Senada, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto juga menyatakan pemakaian kompor listrik untuk rumah tangga di Indonesia saat ini belum efisien. Pasalnya, program elektrifikasi sekarang masih berbasis desa, bukan per satuan keluarga.

Sugeng pun mempertanyakan ketahanan listrik yang kini dikelola PLN. Bila sistem kelistrikan saja masih terkendala oleh urusan mati lampu, ia menyebut kondisi itu bisa membuat kompor listrik jadi lebih gampang rusak.

"Lantas pastikan dulu listrik itu tidak byar pet. Artinya kehandalan listrik dari sisi pasokan maupun dari transmisi harus betul-betul handal. Apalagi nanti lantas memakai kompor listrik, kalau byar pet kan pasti mudah sekali rusak," tuturnya kepada Liputan6.com.

Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti meminta pemerintah melakukan pemetaan konsumen kompor gas LPG dan kompor listrik menyusul pembatalan program konversi kompor gas LPG ke kompor listrik induksi.

Pemetaan konsumen itu jadi langkah penting karena dari kompor gas dan kompor listrik punya target konsumen yang berbeda.

Masyarakat menengah keatas menurutnya jadi target yang perlu didorong untuk menggunakan kompor listrik induksi.

Jika pemetaan dilakukan, maka rencana pemerintah untuk mengurangi beban terhadap subsidi gas LPG juga akan tercapai.

"Betul karena masing-masing punya segmentasi marketnya, yang kalangan menengah keatas perlu di encourage menggunakan kompor listrik untuk membantu menekan subsidi tersebut," kata dia kepada Liputan6.com.

Dia mengakui kalau langkah penyetopan program konversi kompor listrik itu jadi langkah yang tepat. Kembali lagi alasannya soal segmentasi konsumen yang berbeda.

"Di satu sisi kompor listrik di harapkan mampu mendorong gaya hidup ramah lingkungan dan mengatasi permasalahan oversupply listrik negara. Namun di sisi lain dengan kebutuhan daya listrik sebesar kurang lebih 1.200 watt, kompor listrik menjadi komoditas yang cukup berat untuk di maintain oleh masyarakat di kalangan menengah kebawah," terangnya.

Data yang dimilikinya menunjukkan masih ada wilayah yang belum bisa mendapatkan akses listrik. Belum lagi ditambah dengan peralatan memasak perlu disesuaikan kembali jika menggunakan kompor listrik.

"Kompor listrik merupakan inovasi yang baik untuk masyarakat kalangan menengah ke atas, di mana akses listrik terjamin, infrastruktur juga sudah compatible dan affordable secara keseluruhan," paparnya.

Dugaannya, kemudahan akses LPG pun jadi salah satu alasan masyarakat enggan berpindah ke kompor listrik. Utamanya kalangan masyarakat menengah kebawah yang menggunakan LPG subsidi 3 kilogram.

"Selain di subsidi, barangnya juga assessible. Oleh karena itu kedua komoditas yakni kompor listrik dan gas LPG pada dasarnya mempunyai segmentasi market yang berbeda," kata dia.

Maka langkah ke depan menurut saya butuh di lakukannya pemetaan secara merata untuk mengetahui kelompok mana yang lebih layak untuk menggunakan kompor listrik dan begitupun juga untuk gas LPG," pungkasnya.

3 dari 5 halaman

Tak Sesuai Kebutuhan

Masyarakat dan para pekerja pun menyambut sukacita pembatalan konversi kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Mayoritas menilai, penggunaan kompor listrik memang masih belum sesuai dengan kebutuhan saat ini.

Salah satunya dilontarkan Hendri, seorang pegawai sekaligus koki di Athens Cafe, Jakarta. Pemakaian kompor listrik bakal mendesak dia untuk beradaptasi, yang nantinya bisa berpengaruh pada cita rasa masakan.

"Enggak (setuju), enggak praktis kayaknya," ujar dia kepada Liputan6.com.

Senada, Bobi yang seorang petugas warnet gaming TNC di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat yang juga menjual masakan cepat saji laiknya mie instan. Ia menilai, kompor listrik yang menghantarkan panas lebih lama bakal merepotkannya dalam melayani pembeli.

"Kalau menurut gua sih masih enakan kompor gas ya. Lebih kebiasa," ungkapnya kepada Liputan6.com.

Meskipun tempat kerjanya menampung daya listrik besar, namun penggunaan kompor listrik pada akhirnya akan makin membebani ongkos. "Soalnya kalau dipakai terus listriknya gede kan," imbuhnya.

Pernyataan kritis juga disampaikan Nusy, seorang ibu rumah tangga asal Kota Bogor. Menurut dia, kompor listrik belum bisa memfasilitasi kebutuhan memasak para ibu rumah tangga di Indonesia.

"Orang Indonesia belum pantes pake kompor listrik, karena cara masak masih lama kaya ngerebus, masak sayur, dan lain-lain. Beda sama luar negeri, masak praktis," bebernya.

Tak Cocok untuk Warga Miskin

Direktur Center Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, program konversi kompor listrik sebenarnya memang tidak cocok diterapkan pada kelompok masyarakat miskin dengan daya listrik 450 sampai 900 volt ampere (VA). Alasannya, penggunaan kompor induksi membutuhkan listrik dengan daya besar.

"Kompor listrik kurang pas untuk daya 450 va dan 900 VA, karena butuh daya listrik yang besar," kata Bhima kepada Merdeka.com.

Sehingga, pelanggan kelompok ekonomi bawah tersebut harus menambah daya di atas 900 VA agar bisa lebih optimal menggunakan kompor listrik.

Ironisnya, hal tersebut justru akan membebani biaya tagihan masyarakat kelompok miskin yang ujung-ujungnya akan lebih mahal dibandingkan penggunaan kompor gas LPG 3 kg.

"Kalau orang miskin disuruh memilih kompor listrik dengan naik daya, atau beli LPG 3 kg jelas lebih murah menggunakan LPG 3 kg," ucapnya.

Pun, tidak semua alat memasak cocok digunakan untuk kompor listrik. Oleh karena itu, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli peralatan memasak baru.

"Alat masak kompor listrik khusus, mahal dan memberatkan orang miskin," tutupnya.

4 dari 5 halaman

Keputusan Bijak

Meski disambut baik masyarakat, namun batalnya program konversi kompol LPG 3 kg ke kompor listrik disayangkan oleh Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Menurutnya, konversi ke kompor listrik ini sebenarnya mempunyai tujuan yang baik, salah satunya untuk menekan impor LPG.

"Saya pada prinsipnya sangat menyayangkan pembatalan ini. Karena ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan akan LPG karena saat ini kita impor LPG sampai 80 persen," kata Mamit kepada Liputan6.com.

Apalagi, lanjut Mamit, berdasarkan perhitungan dari PLN penggunaan kompor induksi masih lebih murah jika dibandingkan dengan LPG 3 kg.

PLN sebelumnya menyebut jika konversi LPG ke kompor listrik ini bisa menghemat energi sekitar Rp 8.000 per kilogram elpiji. Dengan adanya penghematan ini, bisa mengubah energi impor dengan energi domestik kemudian juga energi yang mahal menjadi lebih murah.

Menurut Mamit, seharusnya upaya pemerintah untuk memperbanyak subtitusi LPG selain dengan Dimethyl Ether atau DME dan Jaringan Gas (Jargas).

"Tapi saya kira ini keputusan yang bijak dari PLN, karena mendengarkan masukan dari masyarakat dan stakeholder yang lain sehingga bisa mengambil keputusan dibatalkan karena tidak memperlebar polemik di masyarakat. Dengan demikian isu ini harusnya sudah selesai," ujarnya.

Sementara itu, terkait cara untuk mengatasi masalah subsidi gas yang bengkak usai program konversi kompor LPG 3 kg ke kompor listrik induksi batal, Mamit menjawab semuanya ada di tangan pemerintah, dan menunggu arahan langsung dari Presiden.

"Selanjutnya ya saya kira tunggu pemerintahan berikutnya apa yang akan diambil langkah selanjutnya. Jika pemerintahan saat ini saya agak kurang yakin bisa dilakukan kecuali ada extraordinary dari Presiden," ucapnya.

Di sisi lain, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno memandang positif pembatalan konversi kompor gas LPG ke kompor listrik. Namun, pembatalan ini menjadi bukti jika pemerintah dipandang tidak punya roadmap yang jelas di bidang energi.

"Mengevaluasi bahkan membatalkan kebijakan konversi kompor gas ke kompor listrik pada saat ini merupakan pilihan logis," kata dia kepada Liputan6.com.

Sejak awal, YLKI memang menduga munculnya kebijakan konversi ini merupakan kepanikan pemerintah terhadap melambungnya subsidi gas elpiji 3 kg. Jika demikian, ia menyayangkan sejumlah masyarakat sudah menjadi sasaran uji coba konversi tersebut.

"Dulu diwajibkan konversi dari kompor minyak tanah ke kompor gas elpiji 3 kg, dengan alasan menekan subsidi energi. Sekarang pemerintah panik karena subsidi gas elpiji 3 kg makin melambung. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai roadmap yang jelas terkait subsidi pada energi," paparnya.

Agus memandang kalau klaim penggunaan kompor listrik induksi lebih efisien masih bisa diperdebatkan. Bahkan klaimnya bisa mengefisiensikan hingga 48 persen.

Padahal, nyatanya banyak masyarakat justru semakin konsumtif terhadap penyerapan energi rumah tangga. Hal ini dikarenakan masyarakat tetap akan menggunakan dua jenis kompor, yakni kompor gas dan kompor induksi.

"Bagaimanapun kompor gas masih diperlukan untuk mengantisipasi jika aliran listrik PLN mati/padam. Bagaimana jadinya jika saat sedang memasak listrik PLN mati jika tidak ada kompor gas elpiji? Jadi, kebijakan ini bisa memicu dobel pengeluaran bagi konsumen," ujar dia.

Agus menegaskan kalau pemerintah seharusnya mengambil langkah lain untuk menekan subsidi gas LPG 3 kg. Misalnya mengubah pola subsidi menjadi tertutup.

"Seharusnya untuk pengendalian subsidi gas elpiji 3 kg, pemerintah harus punya nyali untuk menjadikan pola distribusi tertutup pd gas elpiji 3 kg, sebagaimana saat awal diberlakukan," tegasnya.

Jebolnya subsidi gas elpiji 3 kg dikarenakan distribusi gas elpiji 3 kg bersifat terbuka. Dengan demikian dari masyarakat miskin hingga orang kaya dapat membelinya. "Inilah yg menjadikan alokasi subsidi gas elpiji 3 kg menjadi makin boncos," pungkas Agus.

 

 

5 dari 5 halaman

Nasib Kompor Listrik Gratis

Sebelum resmi dibatalkan, pemerintah dan PLN sebenarnya sudah mulai melakukan sosialisasi alias uji coba penggunaan kompor listrik yang berlangsung di 2 lokasi yakni di Solo dan Denpasar.

Bahkan, pemerintah sudah berencana untuk membagikan kompor listrik kepada masyarakat secara gratis demi menyukseskan program konversi ini. "Iya dibantu (kompor listrik oleh pemerintah)," kata Arifin Tasrif.

Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pemerintah berencana membagikan paket kompor listrik senilai Rp 1,8 juta.

Paket tersebut akan dibagikan kepada 300 ribu keluarga. "Jadi satu rumah itu dikasih satu paket," kata Rida Mulyana.

Paket kompor listrik itu nanti akan dibagikan kepada masyarakat yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Paket senilai Rp 1,8 juta tersebut berisi kompor listrik (kompor induksi) dua tungku, alat masak dan Miniatur Circuit Breaker (MCB) yang berfungsi untuk mengatur kenaikan daya listrik di rumah tangga.

"Rp 1,8 juta itu rencana awal dengan dua tungku yang sama kapasitasnya," kata Rida.

Namun, ada usulan kompor yang dibagikan hanya 1 tungku. Artinya kompor induksi ini memiliki daya yang lebih besar dan harganya naik. Namun hal ini masih dalam pembahasan.

"Nah masih dikalkulasi berapa harganya, harusnya kan nggak Rp 1,8 juta lagi, pasti lebih naik Rp 2 juta lah,” ujarnya.

Pembagian MCB ditujukan kepada pelanggan rumah tangga yang dayanya masih di bawah 1.000 VA. Pemberian MCB ini akan memudahkan pemerintah dalam menilai penggunaan bantuan di masyarakat.

Namun, kini dengan pembatalan program konversi ini, lantas bagaimana nasib kompor listrik yang rencananya akan sebar oleh pemerintah?

Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury menyatakan belum ada rencana dari pemerintah untuk melanjutkan konversi tersebut.

Kelanjutan program masih perlu didiskusikan lebih lanjut. "Kelihatannya kita belum ada rencana untuk melanjutkan penggunaan kompor listrik," ungkapnya.

"Belum tahu (kapan dilanjutkan), nanti kita rapatkan dulu," pungkasnya.

Pahala juga menyebut, keputusan penyetopan konversi ke kompor listrik sudah mengacu pada hasil rapat koordinasi yang telah dilakukan sebelumnya.

Terkait alasan pemberhentian program, ia mengatakan PLN dan setiap pihak terkait memerlukan persiapan yang lebih matang. "Ya mungkin nanti memerlukan persiapan terlebih dahulu," tutup dia.