Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan sinyal akan kembali mendongkrak cukai hasil tembakau tahun depan. Di 2022 ini, DJBC telah menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok rata-rata 12 persen.
Sinyal kenaikan cukai hasil tembakau tersebut sudah mulai terlihat dari target penerimaan cukai 2023 sebesar Rp 245,45 triliun atau sekitar 10 persen dari total penerimaan APBN 2023.
Baca Juga
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, pemerintah tengah mempertimbangkan banyak hal untuk menaikan cukai hasil tembakau.
Advertisement
Salah satu hal yang menjadi pertimbangan adalah kenaikan cukai hasil tembakau berpotensi terhadap peredaran rokok ilegal. "Kenaikan tarif itu ada berkorelasi positif terhadap peredaran rokok illegal, kita harus hitung benar itu," ujar Nirwala di Temanggung, Jawa Tengah, yang dikutip pada Sabtu (1/10/2022).
Dia meyakinkan para petani tembakau bahwa hingga saat ini belum ada keputusan kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Sebab, untuk menaikan tarif cukai hasil tembakau harus berdasarkan persetujuan presiden.
Sementara itu, imbuhnya, faktor penentu kenaikan tarif cukai hasil tembakau mempertimbangkan pada keberlangsungan industri, rantai pasokan, dan kesejahteraan para petani dan pelaku industri ini, dan kesehatan.
"Memutuskan tarif pun harus sampai ke meja presiden, jadi ini bukan hal yang gampang karena menyangkut banyak pihak dan juga menyangkut baik itu kesehatan, industri pertanian, tenaga kerja maupun penerimaan negara," ungkapnya.
Petani Tembakau Menolak
Sebelumnya Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai pemerintah bersikap tidak adil atas rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk penerimaan 2023. Ditargetkan penerimaan total cukai 2023 sebesar Rp 245,45 triliun atau sekitar 10 persen dari total penerimaan APBN 2023.
"Kami petani saat ini statusnya setengah mati. Jangan dulu naikkan cukai pak, beri kami kesempatan untuk pulih," ujar Ketua Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPC APTI) Temanggung Siyamin di Temanggung Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022).
Dia menuturkan, saat ini kondisi petani tembakau dalam kondisi terberat lantaran harga jual tembakau anjlok yaitu Rp60.000 per kilogram.
Saat ini, imbuh Siyamin, para petani tengah berupaya memulihkan perekonomian keluarga pasca pandemi dan menghadapi situasi inflasi yang ada di depan mata. Harga bahan bakar minyak (BBM), beban biaya hidup dan kebutuhan yang terus melonjak jelas memberatkan masyarakat termasuk petani tembakau.
Tantangan lain yang dihadapkan petani tembakau di Temanggung saat ini adalah proses panen yang terhambat oleh perubahan iklim yang mempengaruhi kualitas tanaman tembakau.
"Semakin sulit situasi yang kami alami. Kondisi ini membuat para petani tembakau terpukul berat. Kami mohon, dibuatlah regulasi yang bisa membantu petani bangkit. Bukan dengan menaikkan cukai tembakau," ungkap Siyamin.
Advertisement
Strategi Gudang Garam Hadapi Kenaikan Cukai Rokok
Hampir tiap tahun pemerintah menaikkan tarif cukai. Kenaikan terbesar terjadi pada 2020 yakni sebesar 23,05 persen, di mana pada tahun sebelumnya pemerintah absen naikkan tarif cukai.
Kebijakan itu tentu berdampak bagi perusahaan atau pabrik rokok, seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Khusus untuk kenaikan pada 2020, Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan Gudang Garam, Heru Budiman mengatakan kondisinya cukup sulit lantaran bertepatan dengan pandemi COVID-19. Di mana daya beli masyarakat secara umum mengalami tekanan. Maka tak ayal kinerja perseroan merosot.
"Kenaikan tertinggi itu kebetulan kok saat covid-19. Di mana hampir semua orang tahu bahwa daya beli alami tekanan. Sehingga sudah sewajarnya kita sebagai produsen rokok tidak mengharapkan bisa mempertahankan profitabilitas dengan menaikkan harga,” kata Heru dalam Public Expose Live 2022, Jumat (16/9/2022).
Mengingat Gudang Garam bukan pemain satu-satunya di industri ini, perseroan menimbang opsi untuk melakukan penyesuain harga. Heru mengatakan, jika hanya untuk kejar untung, perseroan bisa saja naikkan harga.
Namun, risikonya adalah penurunan volume penjualan, di mana konsumen akan beralih pada produk kompetitor, dengan asumsi kompetitor tak ikut naikkan harga.
“Kenaikan cukai bukan hal yang baru karena terjadi tiap tahun, atau kecuali 2019. Jadi kalau buying power ada perbaikan, (profitabilitas) tidak akan turun terus. Jadi industri rokok di Indonesia tetap memiliki optimisme kalau dia itu bukan industri yang akan mati,” kata Heru.
Jurus Gudang Garam
Dalam strateginya untuk tetap cuan, Gudang Garam mengupayakan untuk tidak menjual produk rokok dengan harga paling mahal. Pertimbangannya, jika produk Gudang Garam menjadi yang paling mahal, konsumen akan kabur dan mencari alternatif produk lain yang lebih ekonomis, meski perusahaan bisa saja untung.
Heru mengatakan, ongkos untuk menarik kembali konsumen yang lari ini bisa saja lebih besar ketimbang untung yang didapat dari menaikkan harga jual.
“Kalau kenaikan harga saya lakukan, pesaing juga ikutin, kita bisa lebih banyak naikkan harga jual yang akan memperbaiki profitabilitas. Tapi ini susah sekali. Ada balance nya kapan profitabilitas bisa bertahan. Tapi kehilangan volume kepada pesaing yang suatu saat harus saya rebut kembali, biayanya tidak sedikit,” terang Heru.
Di sisi lain, jika harga tak dinaikkan, profitabilitas perseroan akan menciut. Sehingga mau tidak mau kenaikan harga tetap harus dilakukan, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Risikonya, diakui Heru, ada penurunan dari sisi volume penjualan. Meski begitu, ia optimistis perusahaan rokok akan kembali menggeliat saat daya beli membaik
“Kalau sama sekali tidak dapatkan keuntungan buat apa jual rokok. Tentu akan saya naikkan, dengan risiko yang kita harus hadapi volumenya turun. Tapi volume turun bukan berarti pabrik rokok itu tutup. Saya yakin rokok akan tetap ada,” tandas Heru.
Advertisement