Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah melemah pada Senin pagi jelang rilis data inflasi September 2022.
Kurs rupiah pagi ini melemah 28 poin atau 0,18 persen ke posisi 15.255 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.227 per dolar AS.
Baca Juga
"Pergerakan indeks saham Asia pagi ini terlihat menurun. Ini mengindikasikan sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat negatif dan mungkin bisa menahan penguatan rupiah yang terjadi pada perdagangan di Jumat kemarin," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022).
Advertisement
Menurut Ariston, sentimen negatif terhadap aset berisiko mungkin karena kekhawatiran pasar terhadap kenaikan inflasi global yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, dolar AS terlihat masih dalam konsolidasi. Pasar terlihat sedikit teralihkan dari isu The Fed ke isu perlambatan ekonomi global, dimana perekonomian AS juga mendapatkan tekanan dari kenaikan inflasi.
"Dan ini membantu penguatan nilai tukar lainnya terhadap dolar AS untuk sementara," ujar Ariston.
Dari dalam negeri, lanjut Ariston, data tingkat inflasi September bisa memperlemah rupiah bila nilainya lebih tinggi dari sebelumnya masuk ke angka 5 persen (yoy).
"Tingkat inflasi yang terus meninggi bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi karena masyarakat menunda atau menahan konsumsi," kata Ariston.
Ariston memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran level 15.200 per dolar AS hingga 15.300 per dolar AS.
Pada Jumat (30/9) nilai tukar rupiah ditutup menguat 36 poin atau 0,23 persen ke posisi 15.227 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.263 per dolar AS.
Â
Jika Resesi Global Terjadi, Ekonom Sepakat Pelemahan Rupiah Tak Bakal Dalam
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memprediksi kondisi perekonomian dunia ke depan terancam semakin kelam, dimana banyak negara akan jatuh ke dalam lubang resesi global. Namun, sejumlah ekonom sepakat kondisi tersebut tidak akan banyak memukul nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede tak memungkiri, tren penguatan dolar AS terhadap mata uang global terus berlanjut. Sehingga mendorong pelemahan seluruh mata uang Asia, termasuk rupiah. Namun, ia mencatat, tingkat Depresiasi rupiah terhadap USD sebesar -6,6 persen secara tahun berjalan atau year to date (ytd).
"Cenderung tingkat pelemahan rupiah lebih rendah jika dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya Rupee India (-9,3 persen ytd), Ringgit Malaysia (-10 persen ytd), Peso Filipina (-13,6 persen ytd), Bath Thailand (-13 persen ytd)," terang Josua kepada Liputan6.com, Jumat (30/9/2022).
"Mempertimbangkan kondisi yang terjadi adalah sentimen penguatan dolar AS terhadap mata uang global termasuk rupiah, maka diperkirakan sifatnya sementara dan belum menggambarkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia," sambungya.
Bank Indonesia juga berpotensi untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya. Tujuannya, kata Josua, di satu sisi untuk menjangkar inflasi yang cenderung meningkat, sekaligus disaat bersamaan untuk mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
"Oleh sebab itu mempertimbangkan faktor fundamentalnya, rupiah diperkirakan berpotensi untuk menguat kembali di bawah level 15.000 per USD pada akhir tahun 2022 ini," ungkapnya.
Advertisement
Lebih Volatile
Sementara Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut nilai tukar rupiah ke depan memang masih akan lebih volatile. Tapi, ia menambahkan, itu masih relatif lebih terkendali.
"Kalau kita melihat daripada rupiah sudah melemah ke atas 15.000 per dolar AS. Tapi sebetulnya kalau kita bandingkan presentase pelemahannya dibandingkan awal tahun year to date, itu tidak terlalu besar dibandingkan negara atau mata uang lain," kata Faisal kepada Liputan6.com.
Menurut dia, dampak arus modal keluar (capital outflow) juga relatif masih bisa diredam untuk rupiah. Itu lantaran kondisi makro ekonomi Indonesia yang lebih stabil dibandingkan negara-negara lain.
Selanjutnya, dari sisi foreign reserve atau cadangan devisa juga relatif lebih kuat. Untuk kemudian kalau ada pelemahan rupiah bisa diperangi dengan menggelontorkan cadangan devisa..
"Jadi dorongan Capital outflow sebenarnya sudah mulai terjadi, tapi tidak masif, dan bisa diredam dengan berbagai instrumen. Kalau kita melihat masih akan di kisaran 15.000 per dolar AS sampai akhir tahun ini," pungkasnya.
 Â