Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi September 2022 sebesar 1,17 persen. Untuk inflasi tahun kalender 2022 yaitu untuk periode September 2022 terhadap Desember 2021 mencapai 4,48 persen.
Sementara untuk inflasi tahun ke tahun yaitu periode September 2022 terhadap September 2021 mencapai 5,95 persen.
Baca Juga
"Inflasi yang terjadi di September 2022 yang sebesar 1,17 persen, merupakan inflasi tertinggi sejak Desember tahun 2014 di mana pada saat itu terjadi inflasi 2,46 persen sebagai akibat kenaikan harga BBM pada November 2014," tutur Kelapa BPS Margo Yuwono, Senin (3/10/2022).
Advertisement
Berdasarkan pantauan BPS, dari 90 kota yang diamati pergerakan harganya, 88 kota mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Bukit Tinggi yaitu sebesar 1, 87 persen.Â
"Kalau dilihat di Bukit Tinggi penyebab utamanya adalah kenaikan harga bensin di mana memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,81 persen. Kemudian beras beri andil 0,35 persen, angkutan dalam kota memberikan andil 0,18 persen. Terakhir angkutan antar kota memberikan andil 0,09 persen," jelas dia.
Sedangkan inflasi terendah terjadi di Merauke yang hanya sebesar 0,07 persen.
Â
Â
Â
Â
Rupiah Loyo ke 15.255 per Dolar AS Jelang Rilis Inflasi September 2022
Nilai tukar rupiah melemah pada Senin pagi jelang rilis data inflasi September 2022.
Kurs rupiah pagi ini melemah 28 poin atau 0,18 persen ke posisi 15.255 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.227 per dolar AS.
"Pergerakan indeks saham Asia pagi ini terlihat menurun. Ini mengindikasikan sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat negatif dan mungkin bisa menahan penguatan rupiah yang terjadi pada perdagangan di Jumat kemarin," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022).
Menurut Ariston, sentimen negatif terhadap aset berisiko mungkin karena kekhawatiran pasar terhadap kenaikan inflasi global yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, dolar AS terlihat masih dalam konsolidasi. Pasar terlihat sedikit teralihkan dari isu The Fed ke isu perlambatan ekonomi global, dimana perekonomian AS juga mendapatkan tekanan dari kenaikan inflasi.
"Dan ini membantu penguatan nilai tukar lainnya terhadap dolar AS untuk sementara," ujar Ariston.
Dari dalam negeri, lanjut Ariston, data tingkat inflasi September bisa memperlemah rupiah bila nilainya lebih tinggi dari sebelumnya masuk ke angka 5 persen (yoy).
"Tingkat inflasi yang terus meninggi bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi karena masyarakat menunda atau menahan konsumsi," kata Ariston.
Ariston memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran level 15.200 per dolar AS hingga 15.300 per dolar AS.
Pada Jumat (30/9) nilai tukar rupiah ditutup menguat 36 poin atau 0,23 persen ke posisi 15.227 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.263 per dolar AS.
Advertisement
Inflasi Menggila, Suku Bunga Diramal Bakal Naik hingga 2023
Kementerian Keuangan memprediksi kenaikan suku bunga oleh bank sentral di berbagai negara masih akan terjadi sampai 2023 mendatang. Ini jadi salah satu upaya merespons kenaikan inflasi yang terjadi.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Abdurrahman mengatakan kalau banyak risiko yang dialami termasuk eskalasi tekanan yang tak hanya global tapi juga masing-masing negara.
Setiap negara, termasuk Indonesia dihadapkan dengan tekanan inflasi akibat disrupsi suplai akibat pandemi dan perang Rusia-Ukraina.
Inflasi ini direspons berbagai bank sentral di dunia untuk menaikkan tingkat suku bunga. Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris tercatat telah menaikkan suku bunga cukup tinggi sejak awal tahun 2022.
"Dengan lonjakan inflasi yang berkepanjangan kenaikan suku bunga ini diperkirakan akan terus berlanjut di tahun 2023," kata dia, dalam Indonesia Economic Outlook Maximizing Indonesia's Economic Momentum, Senin (3/10/2022).
Dia mencatat, pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan berbagai negara menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Misalnya, potensi krisis utang dunia, krisis energi, dan krisis pangan global.
Sejalan dengan itu, lukuiditas global semakin ketat. Amerika Serikat misalnya telah menaikkan tingkat suku bunga hingga 300 basis poin sejak awal 2022. Tujuannya untuk mengatasi tekanan inflasi yang cukup tinggi.
"Langkah serupa juga ditetapkan oleh banyak negara. Baik di negara G20 maupun negara berkembang lainnya. Inggris dan Eropa masing-masing telah menaikkan 200 basis poin dan 125 basis poin sepanjang tahun 2022," terangnya.
Picu Arus Modal Keluar
Lebih lanjut, Abdurrahman menuturkan kalau kenaikan suku bunga yang terus terjadi memancing ketidakstabilan pasar keuangan global. Ini juga turut memicu aliran modal keluar di sejumlah negara berkembang.
"Indeks saham global mengalami koreksi cukup tajam, terutama di beberapa negara emerging market seperti Afrika Selatan, Brazil dan juga di Tiongkok," ujarnya.
Disamping itu, nilai tukar lokal di berbagai negara juga mengalami tekanan yang cukup berat. Diketahui, Indonesia juga mengalami pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Advertisement