Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memperpanjang restrukturisasi kredit perbankan. Hal itu karena pertimbangan kondisi ekonomi Indonesia yang belum lepas dari COVID-19 dan tantangan global.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menuturkan, pihaknya sedang melakukan analisis akhir terkait perpanjangan restrukturisasi kredit perbankan.
Baca Juga
"Bisa saya katakan kita sedang lakukan analisis akhir. Ada komponen yang harus dipertimbangkan sebelum final, saya yakin kalau melihat ekonomi yang belum lepas COVID dan tantangan global, nampaknya akan diperpanjang,” kata Dian dalam Rapat Dewan Komisioner OJK pada Senin (3/10/2022).
Advertisement
Meski demikian, Dian belum menyampaikan terkait uraian tersebut secara rinci. Namun, OJK tidak ingin kebijakan normalisasi kredit membahayakan pertumbuhan ekonomi.
"Nanti akan diuraikan secara rinci, kita akan targetkan secara sektoral, geografi dan kreditur. Kita tidak ingin kebijakan normalisasi kredit bahayakan pertumbuhan ekonomi. Mandat kita jaga stabilitas sistem keuangan, dengan demikian ada kontribusi signifikan pada ekonomi,” kata Dian.
Kemudian, untuk analisis mendalam, OJK optimistis bisa mengantisipasi skenario terburuk dari gangguan terjadi terhadap sistem perbankan.
"Kalau analisis mendalam, posisi yang kita ambil, even in worst case scenario masih bisa kita handle ini,” kata dia.
Sementara itu, jika dilihat kecenderungan restrukturisasi menurun dan juga krediturnya.
"Nampaknya kalau kita lihat kecenderungannya restrukturisasi menurun sampai Maret turun dan krediturnya. Menunjukkan perbaikan terjadi, walaupun slowing down tapi ini mendekati akhir. Terburuk menjelang akhir, tapi masih lumayan,” ujar dia.
Tantangan
Hal tersebut, membuat kepercayaan pada kebijakan restrukturisasi tidak mengganggu ekonomi.
"Ini menurut saya menimbulkan confidence kebijakan restrukturisasi tidak mengganggu ekonomi. Perbankan diharapkan bisa meningkatkan kinerja lebih baik lagi,” kata Dian.
Dian menuturkan, sejumlah tantangan harus diantisipasi, sehingga koordinasi OJK, pemerintah dan BI dapat dilakukan kebijakan gabungan.
"Memang tantangan harus diantisipasi, tetapi koordinasi OJK pemerintah dan BI dapat dilakukan mixed policy yang pertahankan stabilitas keuangan dengan baik apakan NIM naik atau GWM itu kesinambungan. Sehingga keseluruhan sistem keuangan akan dimaintain dengan baik,” pungkasnya.
Profil risiko perbankan pada Agustus 2022 masih terjaga dengan rasio NPL net perbankan sebesar 0,79 persen (NPL gross: 2,88 persen). Kredit restrukturisasi COVID-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp16,77 triliun menjadi Rp543,45 triliun, dengan jumlah nasabah juga menurun menjadi 2,88 juta nasabah (Juli ‘22: 2,94 juta nasabah).
Dengan perkembangan tersebut, nilai kredit restrukturisasi Covid-19 dan jumlah nasabahnya masing-masing telah turun sebesar 34,56 persen dan 57,90 persen dari titik tertingginya.
Sementara, Posisi Devisa Neto (PDN) pada Agustus 2022 tercatat sebesar 1,60 persen, di bawah threshold 20 persen. Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan pada Agustus 2022 tercatat meningkat menjadi 25,21 persen.
Advertisement
Restrukturisasi Kredit Siap Diperpanjang, tapi Ini Syarat Barunya
Sebelumnya, program restrukturisasi kredit kemungkinan akan kembali diperpanjang pemerintah. Awalnya, program restrukturisasi kredit berlaku hingga Maret 2021, namun kemudian diperpanjang hingga Maret 2023.
Perpanjangan program ini diungkapkan Kepala Komite Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae.
"Makanya restrukturisasi kredit perbankan itu sudah hampir pasti diperpanjang. Tapi kita tidak akan across the board," jelas dia dalam FGD OJK dengan media di Bandung, Sabtu (24/9/2022).
Masih, tujuan perpanjangan restrukturisasi kredit karena belum semua sektor mampu pulih pasca dihantam pandemi Covid-19.
Namun, ada syarat baru yang sedang dikaji untuk pemberian restrukturisasi kredit ini. Yakni yang mendapatkan restrukturisasi ini dikaji per sektor tertentu yang memang terbukti masih belum pulih dari dampak pandemi.
Restrukturisasi kredit dapat terus dilakukan atau dilakukan yang diterapkan secara terbatas dan sektoral (sektor ekonomi), regional (beberapa wilayah khusus), maupun segmen (UMKM dan consumer) yang dianggap masih terdampak pandemi COVID-19.
Berdasarkan data OJK, Baki debet restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 secara nasional memiliki tren penurunan yang dipengaruhi oleh mulai membaiknya kondisi perekonomian.
Restrukturisasi Covid-19 per Juli 2022, secara nasional melanjutkan tren penurunan menjadi sebesar Rp 560 Triliun. Sebanyak 75 persen debitur restrukturisasi Covid-19 merupakan debitur UMKM.
OJK soal Wacana Perpanjangan Restrukturisasi Kredit: Tunggu Saja
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit. Program ini telah mengalami beberapa kali perpanjangan, dan rencananya berakhir pada Maret 2023 mendatang.
Melihat berbagai situasi di lapangan, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Ogi Prastimiyono mengatakan ada kemungkinan diperpanjang. Namun, di sisi lain, masih mempertimbangkan kondisi industri di lapangan.
Misalnya, mengacu pada tingkat Non performing finance (NPF) atau risiko pembiayaan kredit yang turun. Artinya, jika demikian dirasa tak perlu lagi ada perpanjangan restrukturisasi kredit.
"Tinggal yang ditunggu ini relaksasi diperpanjang atau diapain? Tunggu saja dulu," kata dia dalam Konferensi Pers di Gedung OJK, Wisma Mulia 2, Jakarta, Selasa (13/9/2022).
Pada acara yang sama Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan masih ada kajian yang dilakukan pada konteks ini. Misalnya, terkait dengan pro dan kontra dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
"Terus terang Kami sedang mengkaji potensi perpanjangan kebijakan, jadi kita lihat dari sisi fungsinya perusahaan pembiayaan itu 80 persen dari perbankan, jadi kalau mereka restruc pasti di multifinance jadi akan restrukturisasi," terang dia.
Menurut datanya, sejak awal tahun besaran restrukturisasi kredit perbankan hingga saat ini mencapai Rp 22,1 triliun, dengan 650 ribu kontrak. Angka ini turun 55 persen dari Rp 46,1 triliun dengan 2,68 juta nasabah di tahun lalu.
Advertisement