Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebutkan, dampak perubahan iklim sudah di depan mata. Ia mengatakan bahwa perubahan iklim bukan hanya kampanye negara barat tetapi sudah terasa di daerah pesisir Jawa Barat.
Ridwan Kamil menjelaskan, sudah ada kurang lebih 700 hektare daratan di utara Jawa Barat hilang, berubah menjadi air laut. Tepatnya di sepanjang pantai utara dari mulai Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang sampai Kabupaten Subang. Khusus di Bekasi, daratan yang hilang tersebut mencapai 400 hektare.
Baca Juga
"Kami sudah kehilangan 700 hektar tanah dari Bekasi sampai Subang ini sudah jadi laut," kata Ridwan dalam acara Forum Group Discussion yang dibuat oleh SKK Migas di Bandung, Jawa Barat, Senin (3/10/2022).
Advertisement
Pria yang akrab disapa Kang Emil ini mengaku pernah didatangi warga pesisir yang rumahnya tenggelam air laut. Warga tersebut datang membawa sertifikat tanah yang faktanya, sudah tidak lagi berbentuk lahan.
"Ada warga ketemu saya bawa sertifikat rumah tapi sekarang sudah jadi air laut. Jadi bingung kan bayar PBB-nya," ungkapnya.
Peristiwa tersebut kata Emil menjadi bukti nyata dampak dari perubahan iklim. Dia meminta masyarakat untuk tidak termakan wacana yang menyebutkan pemanasan global hanya wacana dari dunia barat semata.
"Jadi efek global warming ini benar ada, kalau ada yang bilang narasi barat, buktinya 700 hektare tanah sudah hilang," kata dia.
Kondisi ini pun tak hanya ada di Jawa Barat. Beberapa wilayah di DKI Jakarta juga mengalami hal serupa. "Permukaan air laut ini juga sudah naik di Jakarta, makanya ada kan masjid yang terendam banjir dan kita juga sama," kata dia.
Untuk itu, penanganan perubahan iklim harus segera diatasi sedini mungkin. Mengingat dampaknya mengancam kehidupan generasi berikutnya.
Kota-Kota Pesisir di Asia Tenggara dan Selatan Diperkirakan Akan Tenggelam Lebih Cepat
Sebelumnya, kota-kota pesisir yang luas di Asia Selatan dan Tenggara diramalkan akan tenggelam lebih cepat daripada tempat lain di dunia. Hal ini berimbas pada puluhan juta orang lebih yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut, menurut sebuah studi baru.
Urbanisasi yang cepat telah membuat kota-kota ini sangat membutuhkan air tanah untuk melayani populasi mereka yang berkembang, menurut penelitian oleh Nanyang Technological University (NTU) Singapura, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability minggu lalu. "Ini menempatkan kota-kota yang mengalami penurunan tanah lokal yang cepat pada risiko bahaya pantai yang lebih besar daripada yang sudah ada karena kenaikan permukaan laut yang didorong oleh iklim," kata studi tersebut dikutip dari Japan Today, Sabtu (1/9/2022).
Pusat kota terpadat dan pusat bisnis utama Vietnam, Kota Ho Chi Minh, diperkirakan tenggelam rata-rata 16,2 milimeter per tahun, melampaui survei studi data satelit dari 48 kota pesisir besar di seluruh dunia. Pelabuhan Chittagong di Bangladesh selatan berada di urutan kedua dalam daftar, dengan kota Ahmedabad di India barat, ibu kota Indonesia Jakarta dan pusat komersial Myanmar Yangon juga tenggelam lebih dari 20 milimeter pada tahun-tahun puncak.
"Banyak dari kota-kota pesisir yang tenggelam cepat ini adalah kota-kota besar yang berkembang pesat, di mana ... tuntutan tinggi untuk ekstraksi air tanah dan pemuatan dari struktur bangunan yang dibangun dengan padat, berkontribusi pada penurunan tanah lokal," kata studi tersebut.
Advertisement
Risiko Air Laut Naik
Sementara itu, kota-kota yang tenggelam tak serta merta terjadi akibat dari perubahan iklim. Tetapi para peneliti mengatakan perilaku sehari-hari mereka akan memberikan wawasan yang lebih baik tentang bagaimana fenomena tersebut akan "memperparah efek dari kenaikan permukaan laut rata-rata yang didorong oleh iklim".
Lebih dari satu miliar orang akan tinggal di kota-kota pesisir yang berisiko naiknya permukaan laut pada 2050, menurut U.N. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Lembaga ini menyebut permukaan laut global bisa naik hingga 60 sentimeter pada akhir abad ini bahkan jika emisi gas rumah kaca berkurang tajam.
Di sisi lain, kota terapung bisa menjadi solusi atas kenaikan permukaan laut. Di mana tingkat kenaikannya diprediksi ahli mencapai rata-rata 3,6 mm per tahun.
Situasi ini diperparah beragam faktor, misalnya akibat emisi karbon dan pemanasan global. Fakta tersebut menjadi kabar buruk bagi negara-negara dataran rendah dengan sedikit ruang daratan seperti Maladewa.
Rencana Kota Terapung
Sebagian besar wilayah daratan di 1.190 pulau di kepulauan Maladewa berada kurang dari satu meter di atas permukaan laut. Masalah besar ini membutuhkan penanganan tepat. Sebab itu pemerintah bersama dengan pengembang properti Dutch Docklands dan studio arsitektur Waterstudio berencana mendesain kota terapung berbentuk karang otak.
Mengutip AsiaOne, Kamis, 4 Agustus 2022, kota terapung tersebut direncanakan berkapasitas untuk sekitar 20.000 orang di laguna seluas 200 hektare. Kota terapung ini dapat ditempuh hanya dalam kurun waktu 10 menit naik perahu dari ibu kota Maladewa.
Kota terapung bila dilihat dari udara tampak dirancang menyerupai karang otak. Di dalamnya akan tersedia sekitar 5.000 rumah, toko, dan restoran. Semuanya dihubungkan jaringan kanal ke fasilitas umum antara lain rumah sakit, sekolah, dan gedung pemerintah.
Baik terumbu karang dan desainnya ditata untuk menjaga kota tersebut mengapung dengan aman dengan dukungan pemecah gelombang bawah laut, menjaga gerakan laut seminimal mungkin. Adapun, kisi-kisi terakhir dari struktur terapung terhubung ke dasar laut melalui tiang baja teleskopik, bucks dan tikungan untuk mengakomodasi apa yang tersisa dari gelombang, sehingga menjaga keseluruhan struktur tetap aman dan stabil bagi penduduk.
Advertisement
Dipersiapkan untuk 2027
Pengembangan kota terapung ini bukanlah sebuah proyek sederhana. Bentuk karang akan memiliki pemandangan yang indah, bersama dengan hotel, restoran, dan marina kelas dunia yang tidak terpisahkan dari kota.
Kota didesain untuk bisa mendukung negara tetap berkembang meski risiko kerusakan alam terjadi seiring naiknya permukaan laut yang tak terhindarkan. Kota terapung ini juga didesain bisa menghasilkan listrik sendiri melalui panel surya, dan limbah yang diproses di lokasi.
Agar lebih mengurangi dampak lingkungan, kota akan didinginkan oleh air dari kedalaman laut. Keseluruhan struktur, termasuk pasokan karang buatan, juga telah dipilih secara ketat untuk mendukung kehidupan laut dan menekan dampak lingkungan seminimal mungkin.
Penduduk diharapkan pindah awal 2024, meskipun pembangunan kota terapung itu ditargetkan akan rampung tiga tahun kemudian, yakni pada 2027. Kota tersebut akan melayani lebih banyak penduduk daripada Kota Oceanix yang sedang dibangun di Busan, yang akan menampung 12.000 orang.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com