Sukses

Bank Dunia Beri "Warning" Resesi di 2023, Ekonomi di Eropa Timur-Asia Tengah Melambat

Bank Dunia memperingatkan pemutusan aliran gas dari Rusia ke Eropa akan mendorong resesi tahun depan.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia mengatakan bahwa negara-negara di Eropa Timur dan Asia Tengah akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lemah pada tahun 2023. Badan tersebut juga memperingatkan pemutusan aliran gas dari Rusia ke Eropa akan mendorong resesi pada 2023 mendatang.

Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (5/10/2022) dalam proyeksi ekonomi yang diperbarui, Bank Dunia mengatakan PDB kolektif di kawasan Eropa dan Asia Tengah sekarang diperkirakan akan berkontraksi 0,2 persen pada 2022 dan tumbuh 0,3 persen pada 2023.

Prediksi Bank Dunia soal ekonomi Eropa Timur di 2022 adalah peningkatan yang nyata dari perkiraan sebelumnya tentang kontraksi PDB 2,9 persen yang mencakup Ukraina, Polandia, Rusia, Turki, dan negara-negara sekitarnya.

Bank Dunia kini memperkirakan ekonomi Ukraina akan menyusut 35 persen pada 2022, peningkatan dari perkiraan kontraksi 45 persen awal tahun ini, tetapi ekonomi Ukraina masih terdampak kerusakan lahan pertanian dan berkurangnya tenaga kerja.

"Ukraina terus membutuhkan dukungan keuangan yang sangat besar karena perang terus berkecamuk serta untuk proyek-proyek pemulihan dan rekonstruksi yang dapat dimulai dengan cepat," kata Anna Bjerde, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah.

Bank Dunia menyebut, kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi Ukraina di seluruh sektor sosial, produktif, dan infrastruktur berjumlah setidaknya USD 349 miliar - lebih dari 1,5 kali besaran PDB negara itu pada tahun 2021.

Adapun Rusia yang ekonominya diprediksi bakal berkontraksi 4,5 persen pada 2022, dibandingkan dengan kontraksi 8,9 persen yang diperkirakan pada Juni 2022. Kemudian pada 2023, ekonomi Rusia diperkirakan menyusut 3,6 persen.

Sementara itu, ekonomi Turki diperkirakan akan tumbuh 4,7 persen pada 2022, namun diprediksi akan tumbuh hanya 2,7 persen pada tahun 2023.

2 dari 3 halaman

Bank Dunia : Risiko Tekanan Keuangan di Eropa Timur dan Asia Tengah Masih Tinggi

Bank Dunia mengatakan prospek untuk wilayah Eropa dan Asia Tengah, berada ketidakpastian yang cukup besar dengan perang yang berkepanjangan, menyebabkan kerusakan fisik dan lingkungan yang lebih besar dan fragmentasi perdagangan serta investasi.

"Risiko tekanan keuangan juga masih tinggi, mengingat tingkat utang dan inflasi yang tinggi," kata Bank Dunia.

Dalam catatan terpisah tentang dampak krisis energi global, Bank Dunia mengatakan penghentian pasokan energi yang diperpanjang ke Eropa dapat memicu resesi bagi negara-negara Eropa dan Asia Tengah, dengan output kolektif menyusut 1,2 persen.

Dampaknya akan lebih besar pada negara-negara yang lebih bergantung pada gas alam Rusia, dan lebih sedikit pada negara-negara yang memiliki akses ke pasokan gas alternatif atau lebih banyak produksi energi domestik.

Pengelompokan regional ini meliputi Albania, Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Georgia, Kazakhstan, Kosovo, Kirgistan, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Tajikistan, Turki, Turkmenistan, Ukraina dan Uzbekistan.

3 dari 3 halaman

IMF Beri Peringatan, Sejumlah Negara Bakal Jatuh ke Jurang Resesi di 2023

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa resesi global dapat dihindari jika kebijakan fiskal masing-masing negara konsisten dengan pengetatan kebijakan moneter. 

Tetapi Georgieva juga mengungkapkan, kemungkinan akan ada negara-negara yang jatuh ke dalam resesi tahun depan.

"Kita memang membutuhkan bank sentral untuk bertindak tegas. Mengapa, karena inflasi sangat keras... Ini buruk bagi pertumbuhan dan sangat buruk bagi masyarakat miskin. Inflasi adalah pajak bagi orang miskin," kata Georgieva dalam sebuah wawancara selama kunjungan ke Arab Saudi, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (4/10/2022).

Dia menambahkan, kebijakan fiskal yang tanpa pandang bulu mendukung masyarakat dengan menekan harga energi dan memberikan subsidi bertentangan dengan tujuan kebijakan moneter.

"Jadi, Anda memiliki kebijakan moneter yang menginjak rem dan kebijakan fiskal yang menginjak akselerator," katanya, setelah menghandiri konferensi tentang ketahanan pangan di Riyadh.

Seperti diketahui, sejumlah negara telah berupaya menangani tekanan inflasi dan kekurangan pangan yang tinggi dengan mengikuti kenaikan suku bunga Federal Reserve atau The Fed. Namun langkah ini juga mempengaruhi pasar keuangan dan ekonomi.

Georgieva pun menghimbau The Fed untuk sangat berhati-hati dalam kebijakannya dan memperhatikan dampak dari langkah kebijakan moneter mereka ke seluruh dunia, menambahkan tanggung jawabnya "sangat tinggi".

Selain itu, IMF juga melihat pasar tenaga kerja di AS masih cukup ketat, sementara permintaan masih cukup signifikan untuk barang dan jasa dan The Fed harus melanjutkan pengetatan di sektor tersebut.

"Kita kemungkinan akan melihat ... pengangguran naik dan masalah itu akan menjadi waktu bagi The Fed untuk mengatakan bahwa mereka telah melakukan pekerjaannya. Kita dapat mengurangi pengangguran di masa mendatang. Tapi kita belum sampai di sana," ungkap Georgieva.