Liputan6.com, Jakarta - Tanda-tanda resesi ekonomi di dunia kian terlihat. Tercatat adanya penurunan aktivitas bisnis di zona euro semakin dalam padabulan lalu. Hal ini memadamkan harapan kawasan Eropa terhindar dari resesi, menurut perusahaan penelitian ekonomi independen, Capital Economics.
Bisnis dan konsumen di Eropa juga mulai mewaspadai pengeluaran karena kawasan itu menuju musim dingin dengan harga energi yang sudah tinggi, serta rantai pasokan yang terganggu didorong oleh perang Rusia-Ukraina.
Baca Juga
Indeks Manajer Pembelian (PMI) komposit akhir S&P Global untuk kawasan Eropa, turun ke level terendah dalam 20-bulan, menjadi 48,1 persen pada September 2022 dari 48,9 persen pada Agustus 2022.
Advertisement
"PMI zona euro terakhir untuk bulan September menunjukkan bahwa tekanan harga di kawasan itu belum mereda, bahkan ketika aktivitas tampaknya menurun," kata pengamat Jessica Hinds dari Capital Economics, dikutip dari US News, Kamis (6/10/2022).
"Kami pikir beberapa ekonomi di Eropa, termasuk Jerman, sudah berkontraksi dan memperkirakan zona euro secara keseluruhan jatuh ke dalam resesi di kuartal keempat," ungkapnya.Â
Jajak pendapat Reuters bulan lalu mengungkapkan, ada kemungkinan 60 persen resesi di zona euro dalam setahun, sementara jajak pendapat lain menemukan ada kemungkinan 75 persen resesi di Inggris.
Bank Sentral Eropa atau European Central Bank juga bulan lalu menaikkan suku bunga utamanya sebesar 75 basis poin yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memastikan kenaikan lebih lanjut.Â
"Ke depan, komponen PMI ke depan melukiskan gambaran suram," tambah Hinds.
Giliran PBB Bunyikan Alarm Resesi pada Ekonomi Global
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan bahwa dunia berada di ambang resesi dan negara berkembang dapat menanggung bebannya.
Dikutip dari CNBC International, Rabu (5/10/2022) konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga yang berkelanjutan dapat mendorong resesi dunia dan stagnasi global.
Dalam laporannya, UNCTAD juga memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi global di masa mendatang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih buruk daripada krisis keuangan pada 2008 silam dan guncangan pandemi Covid-19 pada 2020.
"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang, banyak di antaranya mendekati default utang," kata laporan itu.
UNCTAD menyebut, ekonomi Asia dan global menuju resesi jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa mengambil langkah lain dan melihat ekonomi sisi penawaran, menambahkan bahwa soft landing yang ditargetkan kemungkikan tidak terjadi.
"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam sebuah pernyataan.
"Kita masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," ujarnya.
"Kita juga menyerukan campuran kebijakan yang lebih pragmatis yang menerapkan pengendalian harga strategis, pajak penghasilan tinggi, langkah-langkah dan peraturan yang lebih ketat tentang spekulasi komoditas. Saya ulangi, campuran kebijakan yang lebih pragmatis ... kita juga perlu melakukan upaya yang lebih besar untuk mengakhiri spekulasi harga komoditas," beber Grynspan.
Advertisement
Bank Dunia Beri
Bank Dunia mengatakan bahwa negara-negara di Eropa Timur dan Asia Tengah akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lemah pada tahun 2023. Badan tersebut juga memperingatkan pemutusan aliran gas dari Rusia ke Eropa akan mendorong resesi pada 2023 mendatang.
Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (5/10/2022) dalam proyeksi ekonomi yang diperbarui, Bank Dunia mengatakan PDB kolektif di kawasan Eropa dan Asia Tengah sekarang diperkirakan akan berkontraksi 0,2 persen pada 2022 dan tumbuh 0,3 persen pada 2023.
Prediksi Bank Dunia soal ekonomi Eropa Timur di 2022 adalah peningkatan yang nyata dari perkiraan sebelumnya tentang kontraksi PDB 2,9 persen yang mencakup Ukraina, Polandia, Rusia, Turki, dan negara-negara sekitarnya.
Bank Dunia kini memperkirakan ekonomi Ukraina akan menyusut 35 persen pada 2022, peningkatan dari perkiraan kontraksi 45 persen awal tahun ini, tetapi ekonomi Ukraina masih terdampak kerusakan lahan pertanian dan berkurangnya tenaga kerja.
"Ukraina terus membutuhkan dukungan keuangan yang sangat besar karena perang terus berkecamuk serta untuk proyek-proyek pemulihan dan rekonstruksi yang dapat dimulai dengan cepat," kata Anna Bjerde, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah.
Bank Dunia menyebut, kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi Ukraina di seluruh sektor sosial, produktif, dan infrastruktur berjumlah setidaknya USD 349 miliar - lebih dari 1,5 kali besaran PDB negara itu pada tahun 2021.
Adapun Rusia yang ekonominya diprediksi bakal berkontraksi 4,5 persen pada 2022, dibandingkan dengan kontraksi 8,9 persen yang diperkirakan pada Juni 2022. Kemudian pada 2023, ekonomi Rusia diperkirakan menyusut 3,6 persen.
Sementara itu, ekonomi Turki diperkirakan akan tumbuh 4,7 persen pada 2022, namun diprediksi akan tumbuh hanya 2,7 persen pada tahun 2023.