Sukses

Hadapi Resesi Global, Pangan Indonesia Kuat tapi Sektor Energi Tergantung Impor

Sektor pangan Indonesia masih berada di posisi cukup aman. Karena banyak produksi pangan yang diambil dari produksi dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Ancaman resesi global semakin tebal. Beberapa pejabat sudah mewanti-wanti termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Adanya pelemahan ekonomi di beberapa negara besar, disebut-sebut akan mengancam ke negara lainnya, termasuk negara berkembang, dan akhirnya masuk ke resesi global.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan, berdasarkan tren belakangan ini, sektor pangan Indonesia masih berada di posisi cukup aman. Karena banyak produksi pangan yang diambil dari produksi dalam negeri.

"Beda dengan negara lain yang ketergantungannya sangat tinggi dengan negara lain. Jadi kalau khusus pangan sebetulnya kita cukup. Dilihat dari tren sekarang selama 2022 enggak ada kasus mengenai pangan. Artinya produksi kita untuk memenuhi konsumsi itu bagus. Jadi untuk pangan kita terkendali," kata dia saat ditemui di hotel The Westin Jakarta, Senin (10/10/2022).

Dengan amannya pasokan pangan dari dalam negeri, artinya ketergantungan terhadap produk impor bisa ditekan. Sehingga, potensi pelemahan ekonomi akibat dari menyepitnya rantai pasok global di bidang pangan diprediksi akan cukup rendah.

"Hanya persoalan energi kita masih impor kan. Itu sangat tergantung dari harga internasional. Karena perang Ukraina terus berkepanjangan, beberapa negara melakukan produksinya terkait energi itu akan mengganggu beli kita di sektor BBM," ujarnya.

"Kalau itu terganggu, beban fiskal makin berat. Kalau beban berat semakin berat karena belinya mahal tapi harga jual rendah, berarti ada subsidi di sana," tambahnya.

Jika terjadi demikian, artinya akan mempengaruhi juga tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika semakin melemah, ada kemungkinan resesi juga bisa terjadi di Indonesia.

Margo mewanti-wanti soal kebergantungan negara terhadap beberpaa komoditas yang impor. Khususnya sektor energi dan beberapa komoditas pangan.

"Itu yang harus kita hati-hati. Jadi persoalan energi. Kalah pangan cukup kecuali beberapa komoditas yang ancaman kita itu impor tinggi misal gandum, kedelai, itu berpengruh kalau supply terganggu," paparnya.

 

2 dari 4 halaman

Pengaruh Inflasi ke Daya Beli Masyarakat

BPS mencatat kalau inflasi September sebesar 1,17 persen, sementara secara tahunan (yoy) sebesar 5,95 persen atau tertinggi sejak 2014. Margo mengatakan tingginya inflasi masih ajan terjadi beberapa bulan kedepan imbas kenaikan harga BBM Subsidi.

Dia juga mengatakan jika inflasi terus menujukkan angka yang tinggi, maka akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. Dengan begitu, akan mengganggu tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kalau inflasi terus tinggi itu akan ganggu daya beli masyarakat. Kalau daya beli masyarakat terganggu otomatis konsumsinatau permintaan barang dan jasa itu juga akan berkurang. Kalau permintaan barang dan jasa berkurang karena harga-harga naik dan menganggu pertumbuhan ekonomi kita," kata Margo menerangkan.

"Jadi yang dikhawatirkan begitu. Inflasi tinggi. Sementara pendapatan masyarakat tidak naikan setajam kenaikan inflasi. Pasti daya beli terganggu. Nah kalau daya beli terganggu otomatis permintaan barang jasa akan berkurang nah kalau berkurang permintaannya pasti pertumbuhan ekonomi akan melambat. Ini di takutkan banyak negara," imbuhnya.

 

3 dari 4 halaman

Inflasi Tembus 5,95 persen

BPS merilis data realisasi inflasi Indonesia pada September yang tercatat sebesar 5,95 persen (YoY). Angka ini dinilai masih cukup terkendali dibandingkan inflasi di berbagai negara yang relatif tinggi.

Angka inflasi September ini juga lebih rendah dibandingkan perkiraan awal maupun konsensus Bloomberg yang sebesar 6,00 persen (YoY).

Masih terkendalinya inflasi September ditopang oleh deflasi harga pangan bergejolak (Volatile Food) sebesar -0,79 persen (MtM) berkat extra effort yang dilakukan Pemerintah seperti gerakan tanam pangan, operasi pasar dan subsidi ongkos angkut.

"Secara bulanan, inflasi September terutama disumbang oleh kenaikan harga bensin, tarif angkutan, dan solar. Namun demikian, tekanan inflasi masih bisa tertahan oleh penurunan harga aneka komoditas hortikultura seperti bawang merah dan aneka cabai", ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (3/10/2022).

 

4 dari 4 halaman

Tertinggi dari 2014

Secara bulanan inflasi September 2022 sebesar 1,17 persen (MtM) merupakan tertinggi sejak Desember 2014 sebesar 2,46 persen (MtM), di mana pada saat itu inflasi juga didorong dari penyesuaian harga bensin dan solar yang dilakukan pada 17 November 2014.

Berdasarkan komponen, inflasi harga diatur Pemerintah (Administered Prices) mengalami inflasi sebesar 6,18 persen (MtM) sehingga inflasi tahun kalendernya mencapai 11,99 persen (YtD) dan tingkat inflasi tahun ke tahun sebesar 13,28 persen (YoY). Bensin memberikan andil sebesar 0,89 persen sementara solar memberikan andil 0,03 persen.

Penyesuaian harga BBM tersebut juga mendorong adanya kenaikan harga pada berbagai tarif angkutan seperti tarif angkutan dalam kota (andil inflasi 0,09 persen), tarif angkutan antar kota (andil inflasi 0,03 persen), tarif angkutan roda 2 online (andil inflasi 0,02 persen) dan tarif angkutan roda 4 online (andil inflasi 0,01 persen).

"Inflasi tarif angkutan diperkirakan masih akan dirasakan pada bulan Oktober, melihat beberapa daerah belum melakukan penyesuaian tarif. Namun diharapkan dampaknya tidak akan terlalu besar, mempertimbangkan daerah mulai dapat menjalankan program pengendalian inflasi termasuk bantuan di sektor transportasi maupun logistik, dari penggunaan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) maupun belanja wajib 2 persen Dana Transfer Umum (DTU)," imbuh Menko Airlangga.