Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah masih menyiapkan skema dalam perdagangan karbon di dalam negeri. Pasar karbon jadi salah satu instrumen penting untuk menerapkan pajak karbon.
Belum siapnya pasar karbon dan berbagai mekanismenya, membuat penerapan pajak karbon terus molor.
Baca Juga
Sebelum melanjutkan lebih dalam, apa sebenarnya perdagangan karbon itu?
Advertisement
Perdagangan karbon sebenarnya mirip dengan konsep jual beli biasa. Hanya saja, pada perdagangan ini, komoditas yang diperjualbelikan adalah emisi karbon.
Perdagangan karbon ini tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Pentelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Munculnya aturan ini untuk mengurangi dampak dan akibat perubahan iklim yang ke depannya akan sangat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia.
Aturan ini juga merupakan implementasi dari Paris Agreement yng didalamnya memuat kewajibakn pemerintah dalam berkontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membatasi kenaikan suku rata-rata global di bawah dua derajat celsius hingga 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi.
Dikutip dari aturan tersebut, Kamis (13/10/2022), perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi Emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beliunit karbon.
Sedangkan perdagangan emisi adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha yang memiliki emisi melebihi batas atas emisi yang ditentukan.
Jadi dalam perdagangan karbon, tiap perusahaan yang menghasilkan emisi karbon akan diberikan kuota tertentu. Jika produksi emisi karbon melebihi kuota tersebut, maka perusahaan dapat membeli credit pada perusahaan lain yang masih memiliki kuota.
Secara besar, hal ini juga diterapkan untuk sebuah negara. Dalam hal ini negara yang menghasilkan emisi karbon akan diberikan kuota tertentu. Jika produksi karbon melebihi kuota maka bisa membeli dari negara lain.
Lalu, emisi karbon seperti apa yang bisa diperdagangkan?
Hingga saat ini, yang telah disepakati adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), hidrofluorokarbon (HFCs), nitrat oksida (N2O), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).
Mekanisme Pasar Karbon Masih Tahap Uji Coba
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut kalau mekanisme pasar karbon masih dalam tahap uji coba. Artinya, pemerintah masih menyiapkan skema dalam perdagangan karbon di dalam negeri.
Untuk diketahui, pasar karbon jadi salah satu instrumen penting untuk menerapkan pajak karbon. Belum siapnya pasar karbon dan berbagai mekanismenya, membuat penerapan pajak karbon terus molor.
Menteri Arifin mengatakan kalau penerapan pajak karbon belum bisa diterapkan terhadap industri dalam waktu dekat. Alasannya, kembali karena adanya dampak dari krisis ekonomi dan krisis energi.
"Lagi krisis gini," kata dia saat ditemui di Hotel Borobudur, Selasa (4/10/2022).
Dia menyebut, saat ini pemerintah masih melakukan uji coba penerapan pajak karbon di sejumlah PLTU. Ini menyangkut penghitungan karbon dan mekanisme perdagangan karbon.
"kita kan masih akan mencoba cap and trade yang akan kita lakukan di beberapa pembangkit. Udah dilakukan untuk pembangkit-pembangkit kita dan nanti akan kita simpulkan," ungkapnya.
Sementara, untuk penerapan pajak karbon di sektor industri secara keseluruhan masih perlu menunggu situasi ekonomi membaik. Di sisi lain, sambil mematangkan mekanisme yang tepat dalam pemungutan pajak karbon.
"Untuk industri sekarang ini dengan tekanan krisis energi ini kan memang harus kita evaluasi kembali, menetapkan pajak baru akan memberikan tambahan cost lagi buat mereka produksi," bebernya.
Advertisement
Rencana Rilis Sebelum KTT G20
Kabar baru mengenai pengenaan pajak karbon di Indonesia. Setelah terunda beberapa kali, pajak karbon dijanjikan akan rilis sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung di Bali Nanrti.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menjelaskan, pemerintah sangat berkomitmen untuk menjalankan pajak karbon sebelum pertemuan G20 pada November 2022.
Menurutnya, perlu persiapan matang untuk menerapkan jenis pungutan dengan skema baru seperti pajak karbon. Selain itu, pajak karbon tidak signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Pemerintah lanjutnya, juga ikut mengeluarkan biaya dalam mengadministrasi pajak karbon.
“Sebetulnya carbon tax dari sisi revenue tidak terlalu besar revenue-nya, kan kalau kita mengeluarkan pajak jenis baru itu ada administrative cost of tax-nya,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Kamis (15/9/2022).
Masyita menyampaikan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk administrative cost dari pengenaan pajak karbon dengan pajak karbonnya hampir seimbang.
Kendati demikian, dia menilai pajak karbon tetap perlu diimplementasikan sebagai bentuk dukungan untuk transisi energi dan ekonomi yang ramah lingkungan, serta untuk mengurangi emisi karbon.