Sukses

Rupiah Kian Melemah, Utang Luar Negeri Indonesia Siap-Siap Bengkak

Nilai utang luar negeri Indonesia disebut bakal terus meningkat kedepannya. Bukan karena penambahan nominal utang Indonesia, tapi adanya tren pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta Nilai utang luar negeri Indonesia disebut bakal terus meningkat kedepannya. Bukan karena penambahan nominal utang Indonesia, tapi adanya tren pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Pada Jumat, 14 Oktober 2022 pagi, rupiah kembali melemah ke posisi Rp 15.366 per dolar AS. Menurut catatan Liputan6.com, pelemahan rupiah tembus ke Rp 15.000 per dolar AS terjadi sejak pekan ketiga September 2022 lalu. Kemudian, berangsur melemah hingga saat ini.

Ekonom dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita memandang pelemahan kurs ini akan mengerek besaran utang luar negeri Indonesia. Lantaran jumlah utang RI mengacu pada mata uang dolar AS.

"Terkait soal utang luar negeri, baik dari pemerintah maupun swasta, pelemahan rupiah memang menjadi persoalan dan tantangan tersendiri, karena meningkatkan nominal rupiah utang luar negeri tanpa menambah utang baru," ujar dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat (14/10/2022).

Dia menilai pemerintah dan swasta akan sulit untuk menyikapinya. Karena kalkulasi anggaran negara dan penerimaan pajak di satu sisi dan kalkulasi bisnis dunia usaha di sisi lain, pada umumnya dilakukan dalam mata uang rupiah.

Pada posisi ini, pemerintah harus menerima penambahan nominal rupiah utang luar negeri tersebut. Dengan risiko penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak akan lebih banyak tersedot untuk membayar bunga dan cicilan utang.

"Katakan lah sebelumnya nominal bunga dan tagihan sebesar kisaran Rp 300-400 triliun per tahun, boleh jadi akan bertambah menjadi Rp 350-450 triliun, tanpa menambah nominal dolar utang luar negeri," bebernya.

Kemudian, situasi ini akan memaksa pemerintah untuk memperketat belanja atau mempertegas kebijakan austerity demi mengamankan kredibilitas fiskal di mata para kreditor. Meski begitu, Ronny menilai langkah ini justru kurang cocok untuk kondisi saat ini.

"Bagi dunia usaha pun demikian, bunga dan tagihan kredit-kredit berdenominasi dolar dari lembaga keuangan global akan membutuhkan rupiah lebih banyak, meskipun tanpa penambahan utang dolar baru. Risikonnya, margin keutungan perusahaan akan menipis, bahkan boleh jadi tergerus habis," terangnya.

 

2 dari 4 halaman

Utang Luar Negeri Indonesia

Adapun dikutip dari laman resmi BI, tercatat utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2022 kembali menurun. Posisi ULN Indonesia pada akhir Juli 2022 tercatat sebesar USD 400,4 miliar, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar USD 403,6 miliar.

Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN Juli 2022 mengalami kontraksi sebesar 4,1 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 3,2 persen (yoy).

Kemudian, struktur ULN Indonesia yang tetap sehat tersebut didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. ULN Indonesia pada bulan Juli 2022 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 30,7 persen, menurun dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 31,8 persen.

 

3 dari 4 halaman

Koleksi Aset dengan Mata Uang Asing

Lebih lanjut, Ronny memandang biasanya dunia usaha melakukan hedging atau lindung nilai. Caranya dengan mengoleksi aset-aset keuangan berdenominasi dolar atau mata uang lain sebagai aset cadangan.

Namun, kemungkinan jumlahnya tak banyak, karena dunia usaha pun mengalami tekanan ekonomi luar biasa dua tahun terakhir. Ditambah akan adanya keputusan kenaikan upah minimum dalam waktu dekat.

"Artinya, dunia usaha tidak bisa terlalu banyak mengamankan asetnya ke dalam dolar karena kebutuhan pembayaran dalam negeri yang bertambah," ungkapnya.

"Langkah ini pun agak berisiko secara makro, karena semakin banyak dunia usaha memindahkan asetnya ke mata uang dolar dan safe heaven, maka rupiah akan semakin tertekan. Demand terhadap dolar akan semakin kuat, yang berarti tekanan jual terhadap rupiah juga semakin kuat," imbuhnya.

Ronny menilai, keadaan ini akan diperparah menjelang akhir tahun. Pasalnya, akhir tahun merupakan momen pembayaran cicilan dan adanya tagihan utang.

"Rupiah akan semakin banyak dijual, demand dolar akan semakin tinggi, karena pembayaran bunga dan cicilan utang mau tak mau memaksa pemerintah dan dunia usaha untuk konversi dana terlebih dahulu dari rupiah ke dolar, baru kemudian dibayarkan. Ujungnya, devisa akan semakin berkurang," tuturnya.

 

4 dari 4 halaman

Kerja Keras

Dia memandang kalau Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan perlu bekerja lebih keras. Utamanya dalam upaya mengembalikan nilai tukar rupah ke angka Rp 14.900-15.000 per dolat AS.

"Saya memahami, boleh jadi memang ini bagian dari strategi inflasionistik pemerintah dalam rangka mendevaluasi nilai tukar di satu sisi dan mengerek harga-harga di sisi lain, untuk tujuan jangka panjang. Sebut saja salah satunya untuk meningkatkan pendapatan negara dari ekspor dan lainya, untuk menutup penambahan tagihan dan bunga utang," kata dia.

Kendati begitu, pelemahan nilai tukar rupiah yang berlebihan bersamaan dengan kenaikan suku bunga acuan. Maka kedepannya akan menekan pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi, lalu mempersempit kesempatan kerja di sisi lain, yang berisiko memberikan tekanan baru pada permintaan dan konsumsi di kemudian hari.

"Dengan kata lain, pelemahan rupiah yang terlalu dalam dan lama akan merusak sendi-sendi perekonomian nasional. Ujungnya, Indonesia semakin rentan dari tekanan resesi global, karena selain potensi penurunan ekspor akibat pelemahan permintaan dari negara-negara mitra, konsumsi yang menjadi kontributor utama pertumbuhan kita pun akhirnya ikut tertekan," pungkasnya.