Sukses

China Diambang Resesi, Ekspor Indonesia Terancam?

Pertumbuhan ekonomi China di kuartal I tumbuh 4,8 persen. Lalu di kuartal II hanya tumbuh 0,4 persen. Jika pertumbuhannya kembali turun, China masuk ke jurang resesi tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta Dunia tengah menanti pertumbuhan ekonomi China di kuartal III-2022 yang baru saja berakhir. Pasalnya, negara perekonomian terbesar setelah Amerika Serikat ini dalam 2 dua kuartal terakhir menunjukkan pelemahan.

Pertumbuhan ekonomi di kuartal I tumbuh 4,8 persen. Lalu di kuartal II hanya tumbuh 0,4 persen. Jika pertumbuhannya kembali turun, China masuk ke jurang resesi tahun ini.

Pelemahan ekonomi yang berlanjut ini bisa memberikan dampak langsung bagi Indonesia. Mengingat China merupakan salah satu mitra dagang Indonesia yang besar.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas), Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto mengatakan kondisi ekonomi di China masih memberikan sinyal positif bagi hubungan perdagangan.

"Kondisi ekonomi di China ini masih memberikan sinyal positif bagi kinerja Indonesia," kata Setianto di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Senin (17/10).

Hal ini tercermin dari permintaan energi dari negeri tirai bambu itu yang masih tinggi. Selain itu, sejumlah permintaan komoditas dari China masih menunjukkan peningkatan di bulan September 2022.

"Kebutuhan akan energi yang membutuhkan batubara ini masih tinggi. Besi baja dan nikel juga," kata Setianto.

Dia juga membeberkan 5 komoditas ekspor Indonesia ke China yang masih mengalami kenaikan. Mulai dari bahan bakar mineral yang naik 32,04 persen (mtm) dan bubur kayu (pulp of wood) naik 19,16 persen.

 

 

2 dari 4 halaman

Impor

Kemudian berbagai produk kimia juga naik 15,48 persen (mtm) dan bahan kimia organik naik 26,2 persen (mtm). Ada juga komoditas timah dan barang daripadanya naik 31,24 persen (mtm).

Selain itu, kinerja impor barang dari China juga masih menunjukkan pertumbuhan positif. Lima komoditas impor ke Indonesia yang mengalami kenaikan di bulan September 2022 antara lain komoditas kapal, perahu dan struktur terapung naiknya hingga 1.339,67 persen.

Tak itu, komoditas logam mulia dan perhiasan permata juga naik sangat tinggi, 2.147,97 persen (mtm). Lalu bahan bakar mineral naik 26,41 persen (mtm).

Komoditas pakaian dan aksesorisnya bukan rajutan juga naik 154,43 persen (mtm). Komoditas penerangan lampu dan alat penerangan naik 19,42 persen (mtm).

Setianto mengatakan sampai September 2022, neraca perdagangan Indonesia dengan China juga masih mengalami surplus. Namun terkait dampak pertumbuhan ekonomi di China nantinya, harus menunggu hasil pemantauan yang dilakukan BPS.

"Neraca Indonesia dengan China masih surplus. Ke depan kita lihat rilisnya di bulan-bulan selanjutnya," pungkasnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Jangan Terlalu Pede, Pemerintah Harus Bangun Tameng Hadapi Resesi

Ekonom sekaligus Kepala Pusat Makroekonomi ean Keuangan INDEF Rizal Taufikurahman, mengatakan bahwa Indonesia harus bersiap diri dalam menghadapi ancaman resesi global.

“Resesi dunia sebagai ancaman ekonomi Indonesia tentu saja akan berdampak terhadap kondisi perekonomian. Tentu saja Indonesia harus menyiapkan tameng untuk menahan serangan ancaman resesi global,” kata Rizal kepada Liputan6.com, Kamis (13/10/2022).

Meskipun sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, menilai ekonomi Indonesia masih dalam keadaan cukup baik, di tengah ancaman resesi global.

Kendati begitu, menurut Rizal Pemerintah Indonesia jangan terlena dengan pernyataan tersebut. Diperlukan kebijakan yang sesuai, tepat dan efektif yang untuk menghadapi ancaman resesi global.

“Apalagi kondisi kinerja ekonomi nasional per Triwulan II kondisi membaik. Namun masih sangat rentan oleh guncangan harga yang mendorong terjadinya inflasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia pun menyarankan beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi ancaman resesi global. Pertama, melaksanakan mix policy yang efektif. Kebijakan ini saling menopang dan menguatkan berbagai indikator makro, baik untuk sisi fiskal maupun sisi moneter.

Kedua, melakukan koordinasi secara intensif antar otoritas fiskal dan moneter dalam stabilisasi harga akibat guncangan (shock).

“Hal ini merupakan strategi konsolidasi pelaksana otorita kebijakan fiskal dan moneter yang tidak hanya di level atau antar lembaga K/L namun juga dilibatkan pemerintah daerah. Terutama dalam pengendalian inflasi,” ujarnya.

Ketiga, konsolidasi yang efektif terhadap Kementerian dan Lembaga terutama dalam menginisiasi lebih mengefektifkan belanja fiskal yang direct ber-impact terhadap ekonomi secara langsung.

4 dari 4 halaman

Bos IMF Unggah soal Ekonomi Indonesia: Tetap Jadi Titik terang Saat Ekonomi Global Memburuk

Untuk diketahui, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva ikut menyoroti kondisi ekonomi Indonesia.

Tersirat jika dari unggahannya, dia menilai ekonomi Indonesia masih dalam keadaan cukup baik, di tengah ancaman resesi global.

Seperti diketahui ekonomi global tengah memburuk antata lain disebabkan berbagai hal seperti lonjakan harga pangan/energi, perang Rusia Ukraina dan lainnya.

Hal tersebut disampaikan Georgieva setelah menghadiri pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela IMF Annual Meetings 2022 di Washington DC, Amerika Serikat pada Selasa (11/10/2022).

Ekonomi “"#Indonesia tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang memburuk! Diskusi yang sangat baik dengan Menteri Keuangan @smindrawati selama Pertemuan Tahunan, menjelang KTT #G20 pada bulan November," tulis Georgieva dalam unggahannya di laman Instagram resmi @rkristalina.georgieva seperti dikutip Rabu, (12/11/2022).

Sebelumnya, IMF mengeluarkan prediksi terbaru pertumbuhan ekonomi global, yang diperkirakan akan melambat menjadi 2,7 persen tahun depan, 0,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan IMF sebelumnya pada Juli 2022.

IMF juga memperkirakan resesi akan mulai terasa pada ekonomi global di 2023 mendatang.

Sementara itu, perkiraan IMF untuk PDB global tahun ini tetap stabil di angka 3,2 persen, namun turun dari 6 persen yang terlihat pada 2021.

Adapun ekonomi tiga negara besar, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa dan China - yang diprediksi akan terus melambat.

“Selain krisis keuangan global dan puncak pandemi Covid-19, ini adalah "profil pertumbuhan terlemah sejak 2001," kata IMF dalam laporan World Economic Outlook, dikutip dari CNBC International.