Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mematok harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode 16—31 Oktober 2022 tercatat sebesar USD 713,89 per metrik ton (MT).
Besaran harga referensi ini turun 9,88 persen atau USD 78,30 dibandingkan periode 1—15 Oktober 2022.
Penurunan tersebut berdampak pada turunnya Bea Keluar CPO periode 16—31 Oktober 2022 menjadi sebesar USD 3 per MT, sesuai Kolom 2 Lampiran Huruf C pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor123/PMK.010/2022.
Advertisement
Harga Referensi tersebut sebagaimana tercantum dalam Keputusan MenteriPerdagangan Nomor 1436 Tahun 2022 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan BeaKeluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Saat ini harga referensi CPO mengalami penurunan yang semakin mendekati ambang batas sebesarUSD 680/MT. Pemerintah mengenakan BK CPO sebesar USD 3/MT untuk periode 16—31 Oktober2022,” kata Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Veri Anggrijono.
Penurunan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, antara lain adanya kekhawatiran resesi global, melimpahnya stok CPO di Indonesia dan Malaysia, serta menurunnya harga minyak nabatilainnya terutama harga minyak kedelai pada akhir September 2022.
Ekspor Produk Sawit Melonjak Rp 13,7 Triliun per Agustus 2022
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan, ekspor produk sawit per Agustus 2022 mengalami lonjakan yang sangat signifikan dibandingkan Juli 2022 sebesar 1.629 ribu ton, dari 2.705 ribu ton menjadi 4.334 ribu ton.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengungkapkan, kenaikan ekspor tertinggi terjadi pada jenis olahan minyak sawit mentah (CPO), dari 1.923 ribu ton menjadi 2.971 ribu ton.
"Lonjakan ekspor yang terjadi pada bulan Agustus dikarenakan pemerintah memberikan relaksasi berupa zero levy yang diperpanjang sampai Oktober 2022, dan rencananya pemerintah (melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian) akan memperpanjang sampai akhir tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (12/10/2022).
"Relaksasi zero levy sangat membantu eksportir, sehingga daya saing produk minyak sawit Indonesia makin baik di pasar global di tengah persaingan yang tinggi dengan minyak nabati lain," beber Mukti.
Adapun kenaikan ekspor ini diikuti dengan lonjakan nilai ekspor sebesar USD 900 juta, atau setara Rp 13,77 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS), dari USD 3.800 juta pada Juli 2022 menjadi USD 4.791 pada Agustus 2022. Meskipun di sisi lain harga CPO Cif Rotterdam turun dari USD 1.203 per ton pada Juli menjadi USD 1.095 per ton pada Agustus.
Kenaikan ekspor terbesar dari Juli ke Agustus terjadi untuk tujuan India yang naik 193 persen, dari 370,8 ribu ton menjadi 1.086,0 ribu ton. Diikuti China yang naik 68 persen (355,7 ribu ton) dari 524,0 ribu ton menjadi 879,7 ribu ton, dan Uni Eropa yang naik 51,7 persen (172,8 ribu ton) dari 334,0 ribu ton menjadi 506,8 ribu ton.
Advertisement
Peningkatan Produksi
Peningkatan ekspor didukung oleh kenaikan produksi sebesar 503 ribu ton menjadi 4,3 juta ton dari sebelumnya 3,8 juta ton juta ton. Kenaikan produksi ini selain disebabkan oleh faktor musiman juga karena perjanjian kerja sama (PKS) sudah beroperasi secara normal.
Namun, Mukti melanjutkan, secara tahunan atau year on year (YoY) sampai dengan Agustus, produksi 2022 sebesar 31,6 juta ton lebih rendah dari produksi 2021 sebesar 33,6 juta ton.
Konsumsi dalam negeri per Agustus 2022 sebesar 1.841 ribu ton, sedikit turun (-2,2 persen) dibandingkan dengan konsumsi Juli sebesar 1.881 ribu ton, tetapi lebih tinggi dari Agustus 2021 sebesar 1.465 ribu ton.
Secara YoY konsumsi sampai dengan Agustus 2022 sebesar 13.299 ribu ton, 8,5 persen lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 12.253 ribu ton.
"Berdasarkan perkembangan tersebut, stok minyak sawit turun dari 5.905 ribu ton pada bulan Juli menjadi 4.036 ribu ton pada bulan Agustus," pungkas Mukti.