Sukses

Sejumlah Ritel di AS Terancam Tak Selamat dari Resesi, Berjuang dari Kebangkrutan

Perusahaan ritel di Amerika Serikat dilaporkan menghadapi risiko penutupan dan kebangkrutan, ketika proyeksi resesi membayangi negara itu.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan ritel di Amerika Serikat bertahan dengan kuat selama pandemi Covid-19. Tetapi ekonomi yang melambat, yang dibaerengi dengan risiko resesi diperkirakan dapat membawa gelombang baru penutupan toko dan kebangkrutan.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (18/10/2022) sejumlah ritel di AS, di antaranya Bed Bath & Beyond, Rite Aid, Party City, Joann dan lainnya dilaporkan menghadapi risiko kebangkrutan yang tinggi.

Ritel ternama lainnya, seperti Gap juga dilaporkan akan terpaksa menutup ratusan tokonya, kata para analis. Dan perusahaan e-commerce seperti Wayfair dan Stitch Fix yang telah memangkas pekerjanya dalam beberapa bulan terakhir mungkin akan melakukan pemangkasan lainnya.

"Perusahaan yang skating di tepi sebelum Covid mendapat penangguhan hukuman singkat ini. Sekarang kita kembali ke aturan lama,” kata Berna Barshay, analis ritel independen.

Diketahui, perusahaan-perusahaan ritel ini tengah berjuang dengan dampak lonjakan harga yang tinggi, dan pelanggan yang mengurangi pengeluaran karena lonjakan inflasi beberapa waktu lalu.

Kemudian saat inflasi menurun, terjadi penurunan kepercayaan konsumen dan kemunduran di toko-toko seperti furnitur dan pakaian jadi.

"Kami percaya banyak yang akan beralih ke diskon agresif untuk memecahkan masalah inventaris mereka, yang kemungkinan akan memicu 'perlombaan,'" kata analis Morgan Stanley dalam sebuah laporan,

"Dinamika ini akan sangat membebani margin dan memicu perlambatan pendapatan," ungkapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Eks Menkeu AS: Sejarah Menunjukkan Sulit Redam Inflasi tanpa Resesi

Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers mengatakan bahwa dirinya melihat kemungkinan Amerika memasuki resesi.

Pernyataan Summers datang menyusul peringatan resiko resesi dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.

"Pengalaman historis menunjukkan bahwa jenis inflasi yang kita hadapi jarang kembali ke tingkat normal, di target sekitar 2 persen tanpa mendorong resesi," kata Summers, dikutip dari CNN Business, Jumat (7/10/2022). 

Namun, Summers mengatakan dia tidak melihat ekonomi AS akan kembali ke situasi krisis keuangan tahun 2008, meski ancaman resesi kian dekat.

"Sekarang, saya tidak berpikir kita akan melihat situasi seperti yang dialami setelah Covid-19 atau selama krisis keuangan (2008), tetapi saya pikir kita memiliki periode stimulus yang sangat substansial dan kemungkinan akan terjadi penurunan," ujarnya, kepada Wolf Blitzer CNN dalam segmen The Situation Room.

Sebelumnya, konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperingatkan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga The Fed dapat mendorong resesi dan stagnasi global.

Tetapi, Gubernur Federal Reserve atau The Fed, Lisa Cook mengatakan bahwa Amerika Serikat masih memerlukan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mendinginkan inflasi.

"Inflasi tetap tinggi dan tidak dapat diterima, dan data selama beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa tekanan inflasi tetap berbasis luas," kata Cook dalam pidato pertamanya sebagai anggota dewan bank sentral AS, dikutip dari Channel News Asia.

"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan akan membutuhkan kenaikan suku bunga berkelanjutan dan kemudian menjaga kebijakan tetap ketat untuk beberapa waktu sampai kami yakin bahwa inflasi berada di jalur yang tepat menuju tujuan dua persen kami," beber Cook di Peterson Institute for International Economics.

3 dari 3 halaman

Terkuak, Para CEO di AS Mulai Bersiap-siap Hadapi Resesi Ekonomi di Negaranya

Sejumlah CEO di Amerika Serikat mulai meyakini bahwa ekonomi negara tidak bisa mencapai soft landing menyusul serangkaian kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve untuk meredam inflasi.

Menurut survei terhadap 400 pemimpin perusahaan besar di AS oleh perusahaan konsultan KPMG, 91 persen memperkirakan resesi di AS bakal terjadi dalam 12 bulan ke depan.

KPMG juga menemukan bahwa hanya 34% persen dari CEO yang disurvei melihat resesi akan berlangsung secara ringan dan singkat.

"Ada ketidakpastian yang luar biasa selama dua setengah tahun terakhir," kata Paul Knopp, ketua dan CEO KPMG, merujuk pada dampak ekonomi imbas pandemi Covid-19 dan kekhawatiran tentang inflasi, dikutip dari CNN Business, Selasa (4/10/2022).

"Sekarang, kita menghadapi resesi lain yang membayangi," ungkapnya. 

KPMG menyebut, lebih dari separuh CEO yang disurveinya sedang mempertimbangkan pemangkasan tenaga kerja untuk bersiap enghadapi resesi. Tetapi nasih ada sedikit tanda harapan.

Meskipun mayoritas CEO berpikir bahwa resesi akan datang, masih banyak eksekutif bisnis percaya bahwa mereka dalam kondisi yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi yang begitu keras daripada di tahun 2008 silam.

"Ada optimisme untuk jangka panjang tentang ekonomi AS dan prospek untuk organisasi mereka sendiri," sebut Knopp.

"Perusahaan merasa mereka lebih tangguh dan lebih siap (menghadapi resesi)," pungkasnya. 

Tetapi Knopp menambahkan bahwa para CEO juga memperhatikan prospek jangka pendek ekonomi sehingga mereka berniat untuk merubah rencana pengeluaran jangka panjang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.