Sukses

Bos IMF Minta 190 Negara Kencangkan Ikat Pinggang, Krisis Ekonomi Kian di Depan Mata

Managing Director IMF Kristalina Georgieva menghimbau 190 negara anggota untuk "mengecangkan ikat pinggang" menghadapi krisis ekonomi global yang sudah ada depan mata.

Liputan6.com, Jakarta - Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menghimbau 190 negara anggota untuk bersiap-siap "mengecangkan ikat pinggang" menghadapi krisis ekonomi  global yang sudah ada depan mata.

Pernyataan tersebut disampaikan Georgieva setelah sepekan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan para pemimpin ekonomi IMF Annual Meetings 2022 di Washington D.C. "Kencangkan ikat pinggang dan terus berjalan," ujar Georgieva , dikutip dari Bloomberg, Senin (17/10/2022).

Setelah pertemuan itu berakhir pada Sabtu (15/10/2022), para menteri keuangan dan gubernur bank sentral berusaha untuk mempertahankan pemulihan ekonomi dunia yang goyah dari pandemi, serta kekhawatiran perang Rusia-Ukraina terus mengganggu stabilitas di Eropa dan menghalangi upaya untuk mendorong pertumbuhan.

Doug Rediker, mantan anggota dewan eksekutif IMF, mencatat kurangnya keterlibatan dari China, ekonomi terbesar kedua dan kreditur utama ke negara-negara berkembang. "Ini adalah pekan yang cukup pesimistis secara keseluruhan," katanya.

Seperti diketahui, IMF pekan lalu kembali memangkas proyeksinya terkait pertumbuhan ekonomi global, yang akan melambat menjadi 2,7 persen tahun depan, 0,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada Juli 2022.

Badan itu juga memperkirakan resesi akan mulai terasa pada ekonomi global di 2023 mendatang, demikian menurut laporan World Economic Outlook IMF. Sementara itu, perkiraan IMF untuk PDB global tahun ini tetap stabil di angka 3,2 persen, namun turun dari 6 persen yang terlihat pada 2021.

2 dari 4 halaman

IMF: 31 Negara Masuk Jurang Resesi Tahun Depan

ana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan prospek ekonomi dunia atau World Economic Outlook (WEO) Oktober 2022. Dalam laporan ini tertulis bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun depan diprediksi terpangkas 0,2 persen dari 2,9 persen menjadi 2,7 persen. Selain itu, laporan ini juga menulis bahwa 31 negara dunia bakal jatuh ke lubang resesi.

"Sekitar 43 persen, atau 31 dari 72 negara pertumbuhan ekonominya akan terkontraksi selama dua kuartal beruntun (resesi), atau lebih dari 1/3 kekuatan ekonomi dunia," tulis IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2022, dikutip Rabu (12/10/2022).

Pertumbuhan ekonomi global terus menunjukan tren penurunan sejak 2021 di angka 5,2 persen ke 2,4 persen di 2022 dan hingga 2023 mendatang  di level 1,1 persen. Ini disebabkan pelemahan ekonomi Amerika Serikat dan negara Uni Eropa yang terjebak dalam konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

Berikut catatan kaki IMF terkait pelemahan ekonomi 2023 di sejumlah negara besar dunia:

Amerika Serikat

Pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam bakal terperosok dari 1,6 persen di 2022 menjadi 1,0 persen di 2023. Pada kuartal IV 2022, IMF pun memperkirakan ekonomi AS sama sekali tidak akan tumbuh.

Penyebabnya, penurunan pendapatan riil yang bisa dibelanjakan terus mengganggu permintaan konsumen. Lonjakan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral The Fed pun berpengaruh terhadap pengeluaran negara, khususnya untuk investasi di sektor perumahan.

3 dari 4 halaman

Uni Eropa

Ekonomi kelompok negara benua biru diproyeksikan merosot tajam dari 3,1 persen di 2022 menjadi 0,5 persen di 2023. Beberapa negara seperti Jerman dan Italia bahkan diramal bakal terkontraksi, masing-masing menjadi minus 0,3 persen dan minus 0,2 persen.

Inggris/Britania Raya

Inggris bakal mengalami kemerosotan pertumbuhan ekonomi, dari 3,6 persen di 2022 menjadi 0,3 persen di 2023. Inflasi tinggi yang dialami negara milik Raja Charles III ini akan mengurangi daya beli. Sementara pengetatan kebijakan moneter berdampak pada konsumsi dan investasi.

4 dari 4 halaman

Jepang

Pergerakan ekonomi di Negeri Matahari Terbit ini diperkirakan masih lebih stabil, meski turun dari 1,7 persen di 2022 menjadi 1,6 persen di 2023. Revisi pertumbuhan ekonomi ini disebabkan faktor eksternal, lantara defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor energi, selaras dengan inflasi harga yang melampaui kenaikan upah di sana.