Sukses

Harga Minyak Turun, Dibayangi Perlambatan Ekonomi Global

Harga minyak ditutup lebih rendah pada hari Selasa di tengah kekhawatiran pasokan AS yang lebih tinggi

Liputan6.com, Jakarta Harga minyak ditutup lebih rendah pada hari Selasa di tengah kekhawatiran pasokan AS yang lebih tinggi dikombinasikan dengan perlambatan ekonomi dan permintaan bahan bakar China yang lebih rendah.

Dikutip dari CNBC, Rabu (19/10/2022), harga minyak mentah berjangka Brent turun USD 1,59, atau 1,7 persen, menjadi USD 90,03 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 2,64, atau 3,1 persen, menjadi USD 82,82 per barel.

China, importir minyak mentah utama dunia, menunda tanpa batas waktu rilis indikator ekonomi yang semula dijadwalkan akan diterbitkan pada hari Selasa, menunjukkan kepada pasar bahwa permintaan bahan bakar tertekan secara signifikan di wilayah tersebut.

"Ini bukan pertanda baik ketika China memutuskan untuk tidak mempublikasikan angka ekonomi," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC di New York.

Kepatuhan China terhadap kebijakan nol-COVID terus meningkatkan ketidakpastian tentang pertumbuhan ekonomi negara itu, kata analis CMC Markets Tina Teng.

Harga minyak juga tertekan oleh laporan bahwa pemerintah AS akan terus melepaskan minyak mentah dari cadangan.

Pemerintahan Biden berencana untuk menjual minyak dari Cadangan Minyak Strategis dalam upaya untuk mendinginkan harga bahan bakar sebelum pemilihan kongres bulan depan, sumber mengatakan kepada Reuters, Senin.

 

2 dari 4 halaman

Stok Minyak AS

Selain itu, stok minyak mentah AS diperkirakan telah meningkat untuk minggu kedua berturut-turut, jajak pendapat awal Reuters menunjukkan pada hari Senin.

Produksi di Permian Basin Texas dan New Mexico, cekungan minyak serpih terbesar AS, diperkirakan akan meningkat sekitar 50.000 barel per hari (bph) ke rekor 5,453 juta bph bulan ini, kata Administrasi Informasi Energi.

Investor telah meningkatkan posisi beli di masa depan setelah OPEC+ setuju untuk menurunkan produksi sebesar 2 juta barel per hari, kata analis ANZ Research dalam sebuah catatan.

Beberapa anggota kelompok produsen minyak telah mendukung pemotongan tersebut setelah Gedung Putih menuduh Arab Saudi memaksa beberapa negara untuk mendukung langkah tersebut, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Riyadh.

3 dari 4 halaman

Harga Minyak Tinggi, Negara Kantongi Penerimaan Rp 214,8 Triliun

Pemangkasan produksi minyak menjadi 2 juta barel per hari, yang menyebabkan tren penurunan harga minyak dunia terhenti di level USD 90 per barel turut memberikan keuntungan pada pendapatan negara.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan, penerimaan hulu migas hingga kuartal III 2022 mencapai USD 13,95 miliar, atau sekitar Rp 214,83 triliun (kurs Rp 15.400 per dolar AS).

"Tingginya harga minyak dunia juga berdampak positif bagi negara. HIngga triwulan tahun ini penerimaan negara sudah mencapai USD 13,95 miliar, atau sekitar 140 persen dari target APBN 2022 dan sekitar 83 persen dari target APBN perubahan 2022," jelas Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto di Kantor SKK Migas, Jakarta, Senin (17/10/2022).

Atas dasar itu, Dwi Soetijpto mencium adanya kesempatan emas bagi Indonesia untuk menarik investasi di sektor hulu migas.

"Kalau buat Indonesia di hulu migas dia akan bagus, karena dengan demikian motivasi orang untuk berinvestasi akan baik, karena keekonomiannya lebih bagus," kata dia.

"Buat Indonesia sendiri juga sebenarnya akan jadi bagus, karena kita teman dari kedua-duanya, ke Amerika teman, ke Arab Saudi teman. Jadi kita tidak berada dalam konflik itu. Oleh karena itu, mustinya bagus, karena kita jadi alternatif untuk berinvestasi," tuturnya.

 

4 dari 4 halaman

Pekerjaan Rumah

Kendati begitu, para pelaku hulu migas masih punya PR untuk menghadirkan upaya-upaya transformasi dalam memperbaiki iklim investasi di Tanah Air.

Selain itu, dengan harga migas yang masih tinggi pun perlu dihitung lebih lanjut terkait ongkos impor minyak, termasuk untuk hasil produksinya sebagai bahan bakar minyak, alias BBM.

"Tentu saja menjadi costly, karena dengan harga crude yang lebih mahal. Di level manakah keseimbangan benefit yang diperoleh dari upstream dengan cost yang muncul untuk subsidi," ungkapnya.

"Tentu itu yang perlu dicari. Tapi kira-kira dari sisi upstream, maintaning kondisi harga sampai beberapa saat akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia," pungkas Dwi Soetjipto.