Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyebut akar masalah penyebab inflasi adalah rantai pasokan. Oleh sebab itu, Pemerintah saat ini sedang berupaya mengatasi inflasi tersebut.
Dengan usaha Presiden @Jokowi, Indonesia mencoba mengatasi inflasi dari akar masalahnya, yaitu rantai pasokan," kata Sri Mulyani dikutip dari Instagram pribadinya @smindrawati, Kamis (20/10/2022).
Baca Juga
Adapun upaya itu melalui kolaborasi tim pengendalian inflasi nasional dan daerah, volatilitas harga pangan Indonesia kini menurun ke angka 9 persen. Ini yang menyebabkan inflasi Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara lain.
Advertisement
"@Kemenkeuri pun turut menggunakan instrumen fiskal untuk mendukung upaya tersebut. Kita memberikan reward dalam bentuk insentif kepada setiap daerah yang inflasinya rebih rendah dari inflasi nasional," ujarnya .
Menurutnya, APBN yang sehat dan kuat juga menjadi kunci penting dalam hal ini. Dari berbagai pertemuan bilateral yang dirinta lakukan di US kemarin, banyak stakeholder melihat pengelolaan APBN secara prudent dan hati-hati.
Hal itu juga menjadi salah satu pilar yang menyebabkan ekonomi Indonesia bisa tetap terjaga, tanpa mengurangi kredibilitas dan keberlanjutan APBN.
Adapun kata Menkeu, di tengah proyeksi perekonomian dunia tahun depan, Indonesia dianggap sebagai "The bright spot", Tentu capaian ini juga tak lepas dari kerja sama yang baik antara pemerintah dengan DPR RI dalam mengeksekusi desain kebijakan fiskal yang baik dan tepat.
""The bright spot" ini harus tetap kita jaga bersama, baik pemerintah, @dpr_ri, dan seluruh lapisan masyarakat. Tahun 2023, kita akan tetap optimis, namun juga waspada," pungkas Sri Mulyani.
Di Depan Pengusaha, Jokowi Curhat Inflasi RI Tembus 5,9 Persen Gara-Gara Harga BBM
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan pembukaan Trade Expo Indonesia ke-37 tahun 2022. Kepala negara menyinggung, inflasi Indonesia mengalami peningkatan akibat adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM).
“Inflasi pada bulan Agustus masih bisa kita kendalikan di 4,6, Kuartal kedua 4,9 persen. Tapi karena kenaikan BBM kemarin, inflasi naik sedikit di angka 5,9 persen,” kata Jokowi dalam acara tersebut, seperti dikutip dari siaran daring, Rabu (19/10/2022).
Meski angkanya naik, Jokowi memastikan negara masih bisa mengendalikan hal itu. Dia pun memerintahkan untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain. Sebab, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi paling tinggi di antara negara-negara G20.
“Kita patut bersyukur bahwa di tengah krisis di tengah resesi, Indonesia di kuartal kedua masih tumbuh 5,44 persen. Ini wajib kita syukuri. Kita termasuk negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi paling tinggi di antara negara G20 maupun negara lainnya,” bangga presiden.
Selain itu, Jokowi juga bersyukur atas dukungan semua pihak maka selama 29 bulan. Indonesia mencatatkan kita surplus neraca perdagangan. Bahkan pada tahun ini, sejak Januari sampai September, surplus neraca dagang Indonesia mencapai USD 39,8 miliar.
“Ini jumlah tidak sedikit. Ini juga berkat kerja keras bapak ibu sekalian. Jadi kita semuanya harus tetap optimis,” Jokowi memungkasi.
Advertisement
IMF Puji Ekonomi Indonesia, Pemerintah Jangan Jumawa
International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional menilai ekonomi Indonesia masih dalam keadaan cukup baik, di tengah ancaman resesi global.
Namun, Ekonom Indef Nailul Huda meminta kepada pemerintah agar tidak jumawa. Ia mengatakan, Pemerintah tetap harus waspada meskipun ekonomi Indonesia masih dalam kondisi yang cukup bagus.
“Tentu harus waspada, walaupun ya memang ekonomi kita masih cukup bagus karena ekonomi domestik kita masih cukup kuat,”kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Kamis (13/10/2022).
Ekonomi domestik yang masih bagus tersebut terlihat dari konsumsi rumah tangga, yang menjadi 50 persen lebih komponen pembentuk PDB masih positif. Oleh karena itu, dia menekankan jangan sampai mengganggu daya beli masyarakat, inflasi harus dikendalikan.
“Kalo konsumsi rumah tangga melemah ya kita bisa mengalami perlambatan ekonomi bahkan resesi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Nailul Huda menyebut jika terjadi kondisi inflasi tinggi, rupiah melemah, dan sebagainya, maka yang harus bermain adalah instrumen fiskal.