Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai, keputusan mundurnya Perdana Menteri Inggris Liz Truss semakin menambah ketidakpastian global. Hal itu disampaikan Menkeu dalam Konferensi Pers APBN KITA Edisi Oktober 2022, secara virtual, Jumat (21/10/2022).
“Kita semua mengikuti politik Inggris dimana mulai dari Menteri keuangan diganti dan sekarang perdana menteri turun. Ini menggambarkan bahwa yang terjadi baik dari sisi ekonomi dan keuangan juga berimbas pada politik,” kata Sri Mulyani.
Sebagai informasi, PM Inggris Liz Truss mengumumkan ia mundur dari jabatannya pada Kamis 20 Oktober 2022. Padahal, ia baru menjabat selama 45 hari.
Advertisement
Hal ini membuat Liz Truss menjadi Perdana Menteri Inggris dengan masa jabatan paling singkat dalam sejarah. Rekor itu sebelumnya dipegang George Canning yang meninggal pada 1827 ketika baru menjabat 119 hari.
Lebih lanjut Menkeu menjelaskan, krisis atau risiko sekarang beralih dari pandemi ke risiko ekonomi dan keuangan, terutama lingkungan global yang makin bergejolak, terutama dari sisi komoditas.
Harga dari komoditas-komoditas utama dunia yang sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi di berbagai negara masih relatif dalam posisi namun volatilitasnya juga cukup tinggi atau sangat tinggi dalam hal ini.
Hal ini yang kemudian menyebabkan inflasi yaitu kenaikan dari harga-harga umum di berbagai negara. Misalnya, di inggris bahkan baru saja dipublikasikan inflasi di atas 10 persen yaitu 10,1 persen dan ini masih diperkirakan bertahan di level tinggi ke depannya.
“Amerika Serikat inflasi headline di 8,2 persen dan core inflation masih tinggi, sehingga makin membulatkan tekad dan dari determinasi dari Federal reserve untuk menaikkan suku bunga. Diperkirakan sampai akhir tahun mencapai 4,5 persen,” ujarnya.
Eropa Pun Begitu
Kemudian untuk Eropa, kata Menkeu, dalam pertemuan G20 semuanya bertukar pikiran dan melihat kondisi yang dihadapi perekonomiannya makin tertekan karena harga-harga yang meningkat, sekarang inflasinya merambat di level 10 persen, terutama harga energi yang juga menyebabkan gejolak dan tekanan sosial.
“Kemudian negara emerging market seperti Brazil yang mengalami kenaikan inflasi dan agak mengalami penurunan, dan Meksiko juga pada level 8 persen, dan India meningkat diatas 7 persen, dan Indonesia saat ini ada di level 6 persen,” ujarnya.
Menurut Menkeu, kondisi seperti itu dihadapi seluruh negara-negara baik negara maju, negara emerging, maupun negara developing. Dengan inflasi yang tinggi dan harga-harga yang cenderung tinggi dan bergejolak maka respons kebijakan moneter juga mencoba untuk menstabilkan harga caranya dengan menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas,” pungkas Menkeu.
Advertisement
Inflasi Inggris Sentuh 10,1 Persen, Rekor Tertinggi dalam 40 Tahun
Sebelumnya, indeks harga konsumen atau inflasi Inggris kembali naik menjadi 10,1 persen pada September 2022, tertinggi dalam 40 tahun. Angka tersebut diterbitkan pada Rabu oleh Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris pada Rabu (19/10/202).
Dilansir dari CNBC International, Rabu (19/10/2022) inflasi Inggris sempat berada di angka 9,9 persen di bulan Agustus 2022, turun dari 10,1 persen di bulan Juli, didukung oleh penurunan harga BBM.
ONS mengatakan bahwa kenaikan harga pangan, transportasi dan energi merupakan faktor terbesar terhadap inflasi Inggris saat ini.
Harga pangan di Inggris naik 14,6 persen year-on-year, biaya transportasi juga naik 10,9 persen dibandingkan tahun lalu, sementara harga furnitur dan barang-barang rumah tangga naik 10,8 persen.
Nilai Pound Sterling jatuh terhadap dolar setelah berita tersebut, diperdagangkan pada 1,1289 dolar AS, turun dari 1,1330 dolar AS.
Seperti diketahui, angka inflasi juga akan berdampak pada pendekatan Bank of England dalam waktu dekat. Bank Sentral Inggris tersebut juga sempat menyebutkan bahwa inflasi bisa menyentuh 11 persen tahun ini.
Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "bantuan ekonomi untuk yang paling rentan" akan menjadi prioritas karena Inggris menghadapi tingkat inflasi yang tinggi, bersama dengan "mengupayakan stabilitas ekonomi yang lebih luas serta mendorong pertumbuhan jangka panjang yang akan membantu masyarakat."