Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah menguat dipicu isu bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed), akan memperlambat kenaikan suku bunga acuan.
Kurs rupiah pagi ini menguat 42 poin atau 0,27 persen ke posisi 15.590 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.632 per dolar AS.
Baca Juga
"Dolar mengalami pelemahan tertekan isu yang menyatakan beberapa pejabat The Fed yang mengatakan laju kenaikan suku bunga harus diperlambat," kata Analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama dikutip dari Antara, Senin (24/10/2022).
Advertisement
Beberapa pejabat bank sentral mulai menyuarakan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga segera, menurut laporan Wall Street Journal, dan bagaimana memberi sinyal rencana untuk menyetujui kenaikan yang lebih kecil pada Desember.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly menggemakan sentimen itu dan mengatakan sudah waktunya untuk mulai berbicara tentang memperlambat laju kenaikan biaya pinjaman dan melakukannya harus menghindari mengirim ekonomi ke "penurunan paksa" dengan menaikkan suku bunga terlalu tajam.
Â
Â
Selain itu, Presiden The Fed Chicago Charles Evans menegaskan kembali sikapnya bahwa The Fed harus membuat kebijakan "sedikit di atas" 4,5 persen pada awal tahun depan dan kemudian menahannya di sana.
Analis secara luas memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin untuk pertemuan keempat berturut-turut pada November.
"Hal ini meredakan ekspektasi kenaikan suku bunga sesaat sehingga memberi tekanan untuk dolar AS dan memberi peluang rupiah untuk menguat," ujar Revandra.
Pada Jumat (21/10) rupiah ditutup melemah 60 poin atau 0,39 persen ke posisi 15.632 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.572 per dolar AS.
Gubernur BI: Kami Intervensi, Pelemahan Rupiah Masih Baik Dibanding Malaysia dan India
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan dalam beberapa pekan terakhir. Pada Kamis ini bahkan rupiah sempat tembus 15.500 per dolar AS. Jika dihitung Sampai dengan 19 Oktober 2022 rupiah terDepresiasi 8,03 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021.Â
"Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yaitu sebesar 8,03 persen (ytd) dibandingkan penguatan dolar 18,1 persen (ytd)," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Meski begitu, Perry menyebut nilai mata uang rupiah masih lebih dari beberapa negara. India misalnya yang mengalami pelemahan 10,42 persen, Malaysia 11,5 persen dan Thailand 12,55 persen.
"Pelemahan rupiah ini kami lakukan dari intervensi (inflasi) tapi ini lebih baik dari negara lain seperti India, Malaysia dan Thailand," kata Perry.
Dia menjelaskan depresiasi tersebut sejalan dengan menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Ini sebagai akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara.
Terutama di AS untuk merespons tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global yang terjadi di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.
"Semua negara melakukan stabilisasi untuk memitigasi imported inflation ini," kata dia.
Tak terkecuali Indonesia yang juga melakukan stabilisasi ekonomi makro demi menghindari dampaknya. Bukan hanya mengatasi kenaikan inflasi tetapi juga potensinya terhadap sektor perbankan dan korporasi.
Namun begitu, Perry menegaskan sekarang ini sektor perbankan dan korporasi di Indonesia tidak terdampak. Â "Tingkat pelemahan ini tidak berdampak ke perbankan dan korporasi," pungkasnya.
Advertisement
Rupiah Melemah Tembus 15.575 per Dolar AS Dampak Ketakutan Pengetatan Moneter
Nilai tukar rupiahterhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis pagi bergerak melemah. Pelemahan nilai tukar rupiah masih dipicu kekhawatiran terjadinya resesi global akibat pengetatan moneter yang agresif oleh bank sentral.
Pada Kamis (20/10/2022), rupiah  melemah 77 poin atau 0,5 persen ke posisi 15.575 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.498 per dolar AS.
"Ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve (Fed) lebih banyak mendorong imbal hasil obligasi AS," tulis Tim Riset Monex Investindo Futures dikutip dari Antara.Â
Imbal hasil obligasi AS melonjak di tengah data dan prospek perusahaan yang suram, yang menekan selera risiko investor. Imbal hasil obligasi AS saat ini berada di level tertinggi sejak krisis keuangan 2008 yaitu 4,136 persen, karena prospek kenaikan suku bunga lebih banyak membuat investor membuang obligasi. Hal itu juga mendorong kenaikan dolar AS.
Sementara itu komentar hawkish dari pejabat The Fed mengguncang pasar minggu ini. Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari memperingatkan bahwa inflasi yang terlalu panas dapat memacu The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan di atas 4,75 persen, level tertinggi sejak 2007.
Komentar tersebut datang hanya beberapa hari setelah data menunjukkan inflasi AS tetap keras di dekat level tertinggi 40 tahun meskipun serangkaian kenaikan suku bunga tajam tahun ini.
Sedangkan Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic juga menekankan perlunya mengendalikan inflasi, mengutip tekanan pada pasar tenaga kerja dari kenaikan suku bunga dan harga.
Pelaku pasar mengkhawatirkan kenaikan suku bunga bank sentral untuk menahan inflasi dapat mendorong ekonomi global mengalami kontraksi.