Sukses

Hadi Poernomo: SIN Pajak Banyak Manfaat, Cegah Korupsi hingga Dongkrak Tax Ratio

Payung hukum yang mendasari SIN Pajak mencakup Pasal 35a UU KUP, UU No.11/2016 tentang Tax Amnesty, dan UU No.9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) periode 2001-2005 Hadi Poernomo mengatakan, wacana Single Identity Number (SIN) Pajak telah digagas lebih dari satu dekade. Sayangnya, ide tersebut sampai saat ini belum juga terwujud.

SIN adalah identitas unik yang dimiliki oleh individual. Identitas unik ini berisi bermacam informasi terkait dengan individu seperti informasi diri, data keluarga, kepemilikan aset dan lain-lainnya. Dalam kaitan pajak, SIN sebagai sistem yang mengintegrasikan seluruh data agar terpusat dan terbuka bagi Ditjen Pajak (DJP). 

Hadi mengatakan, SIN Pajak sudah ada dalam cetak biru atau blue print kebijakan jangka panjang DJP. Dokumen itu berisi kerangka kebijakan, regulasi, visi, misi dan tujuan telah disusun pada periode 2001-2010.

Hadi meyakini SIN Pajak berguna untuk meningkatkan tax ratio sampai memberantas korupsi. Selain itu, tujuan akhir dari penerapan SIN Pajak adalah mencapai kehidupan berbangsa yang sejahtera.

“Indonesia sejahtera itu ada 3 hal intinya, penerimaan negara yang naik, yang tinggi, korupsi kecil, kredit macet kecil,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Senin (24/2022). 

Hadi Poernomo menjelaskan SIN mengintegrasikan semua data untuk dipegang DJP. Dengan kata lain, tidak ada satu pihak pun yang merahasiakan informasi kepada otoritas pajak dan itu adalah kewajiban.

Adapun payung hukum yang mendasari SIN mencakup Pasal 35a UU KUP, UU No.11/2016 tentang Tax Amnesty, dan UU No.9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

 

2 dari 2 halaman

Wajib Menyerahkan Data

Hadi menuturkan semua pihak lain wajib menyerahkan data informasi ke DJP. Dirjen Pajak memiliki wewenang untuk meminta data tambahan dan pihak-pihak yang tidak memberikannya dapat dipidana.

Dengan begitu, sambungnya, kondisi keterbukaan itu memaksa orang-orang, perusahaan, perbankan, bahkan jajaran pemerintah untuk jujur. Jujur untuk memberi data, informasi, laporan keuangan, SPT Tahunan

“Kalau sudah terpaksa jujur, tentu tax ratio naik. Kalau tax ratio naik, pasti penerimaan negara naik, kredit macet kurang, korupsi kurang. Apa terbitnya? Ya, Indonesia sejahtera,” ungkap Hadi.

Mantan Ketua BPK itu menambahkan keterbukaan yang menyeluruh itu dapat dijalankan dengan menyingkirkan amandemen undang-undang penghambat pajak.

Seperti halnya, aturan kerahasiaan perbankan dalam Pasal 40 dan 41 UU No.10/1998, lalu lintas devisa dan transaksi keuangannya, serta mengembangkan sistem perpajakan yang terintegrasi dan online.