Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat pengawasan sektor jasa keuangan melalui penerbitan ketentuan baru, yakni Peraturan OJK (POJK) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Perintah Tertulis.
POJK Perintah Tertulis ini diterbitkan dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f dan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).
Baca Juga
Melalui keterangan resminya, pihak otoritas menyampaikan, penerbitan POJK Perintah Tertulis yang berlaku untuk seluruh sektor jasa keuangan ini disusun sebagai protokol pelaksanaan tindakan pengawasan dalam pemberian perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan atau pihak tertentu.
Advertisement
"Dengan demikian, mekanisme serta tata cara pemberian dan pelaksanaan Perintah Tertulis kepada LJK dan atau Pihak Tertentu dapat berjalan secara lebih transparan dan lebih akuntabel," tulis OJK, Rabu (26/10/2022).
Dalam POJK ini, Perintah Tertulis didefinisikan sebagai perintah secara tertulis oleh OJK kepada LJK dan atau pihak tertentu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu.
Tujuannya, guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan. Sanksi pelanggaran Perintah Tertulis dari OJK ini berbentuk sanksi pidana sesuai UU OJK.
"OJK meyakini, dengan diterbitkannya POJK Perintah Tertulis ini diharapkan mampu meningkatkan fungsi pengawasan Sektor Jasa Keuangan (SJK). Sehingga terselenggara seluruh kegiatan di dalam SJK secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel," papar OJK.
Perubahan Kondisi
Namun demikian, pihak otoritas menyadari, tindak lanjut Perintah Tertulis oleh LJK dan atau pihak tertentu dapat berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Antara lain, sehubungan dengan adanya perubahan kondisi internal dan eksternal dalam pemenuhan Perintah Tertulis oleh LJK dan atau Pihak Tertentu.
Oleh karena itu, dalam hal LJK dan atau Pihak Tertentu telah memenuhi Perintah Tertulis namun kondisi LJK dan atau pihak tertentu tidak menunjukkan perbaikan dan/atau terdapat permasalahan lain, OJK dapat menetapkan tindakan pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"OJK akan terus berupaya sesuai kewenangannya untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta terlindunginya kepentingan konsumen dan masyarakat," tandas OJK.
Advertisement
Ekonomi 2023 Diprediksi Gelap, OJK: Literasi dan Inklusi Keuangan Harus Diperkuat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering dan berulang kali menyebutkan ekonomi dunia akan gelap di 2023. Tidak ada yang memprediksi apa yang akan terjadi tahun depan. Yang jelas, semuanya serba sulit. Hanya negara-negara tertentu yang bakal selamat dari kegelapan.
Menanggapi, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar tak menampik bahwa di tahun depan ekonomi global diprediksi mengalami pelemahan dan dipenuhi dengan ketidakpastian.
“Untuk menempatkan konteks 2023 itu dengan tepat bukan menjadi satu ketakutan, tapi memang tidak diharapkan bahwa 2023 di internasional ini akan ada kelesuan ekonomi yang luar biasa,” kata Mahendra Siregar dalam peluncuran SiMolek Edutainment di Karanganyar, Minggu (23/10/2022).
Kendati begitu, menurut dia, Pemerintah Indonesia harus fokus ke perekonomian dalam negeri, terutama melakukan penguatan terhadap perekonomian di daerah-daerah melalui pemberdayaan guna menjaga daya beli masyarakat.
Artinya, apa yang dikhawatirkan terkait kondisi global di masa mendatang, Indonesia sudah siap menghadapi ketidakpastian tersebut. Pasalnya, perekonomian dalam negerinya sudah kuat terutama dalam hal literasi dan inklusi keuangannya.
“Justru kita harus fokus ke perekonomian dalam negeri dan dalam konteks itu perekonomian dalam negeri adalah penguatan dari perekonomian di daerah-daerah, dan disitu adalah sama dengan pemberdayaan kekuatan ekonomi potensi dan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Mahendra, saat ini yang masih menjadi persoalan dalam sektor jasa keuangan adalah tingkat literasi dan inklusi keuangan yang masih rendah.
Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan oleh seluruh industri jasa keuangan masih kurang. Oleh karena itu, dalam hal ini OJK sebagai regulatornya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan lebih komprehensif.
“Akses keuangan dari industri jasa keuangan harus ditingkatkan Apakah itu melalui digital Tapi tidak semua paham penggunaan digital, maupun juga pendekatan langsung yang lebih masuk kedalam proses yang bisa diterima oleh masyarakat, bukan yang bisa diterima oleh perbankan semata,” pungkasnya.
OJK Ingin Santri Belajar Ekonomi Hijau, Kripto hingga Metaverse
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya memperluas edukasi atau sosialisasi seputar produk dan jasa keuangan. Salah satunya kepada para santri yang menuntut ilmu di pondok pesantren.
Salah satu langkah yang saat ini dijalankan adalah kegiatan Santri Cakap Literasi Keuangan Syariah (Sakinah), dalam rangka perayaan Hari Santri Nasional 2022 yang digelar di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (22/10/2022).
Pada kesempatan itu, Anggota Dewan Komisaris OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi, mengaku senang para pengurus pondok pesantren ingin lebih banyak belajar tentang tren keuangan yang ada saat ini, di luar keuangan syariah.
Termasuk ekonomi hijau (green economy) yang kini marak digencarkan, hingga produk-produk jasa keuangan berbalut teknologi digital semisal kripto hingga metaverse.
"Adek-adek harus belajar green economy, karena sebenarnya itu adalah sesuatu yang sedang tren, dan nanti saya yakin di zaman kalian itu akan booming dan harus dipelajari dari sekarang," ujar Friderica.
"Belajar tentang kripto, belajar tentang metaverse, jadi banyak sekali hal-hal baru yang bisa dipelajari melalui digital teknologi, digital ekonomi, dan saat ini banyak sekali yang bisa dipelajari," imbuhnya.
Di sisi lain, Friderica menyadari, tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat di Tanah Air masih tergolong rendah. Dimana tingkat literasi baru menyentuh 38 persen, sementara inklusi 76 persen.
"Kok lebih tinggi literasinya daripada inklusinya? Berarti masih banyak orang yang menggunakan produk dan jasa keuangan, tapi belum paham. Ini bahaya sekali," seru dia.
Oleh karenanya, OJK beritkad untuk terus bekerjasama dengan seluruh stakeholder dan pelaku industri jasa keuangan, guna semakin mengecilkan gap antara tingkat literasi dan inklusi keuangan.
"Jadi kalau orang pakai produk jasa keuangan harus paham juga. Angkanya sesuai target pak Presiden Joko Widodo, Insya Allah kita bisa mencapai inklusi keuangan 2024 sebesar 90 persen," tuturnya.
Advertisement