Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi digital di Asia Tenggara tumbuh lebih cepat dari perkiraan di tahun 2022 ini. Hal itu diungkapkan dalam laporan baru oleh Google, Temasek dan Bain & Company, berjudul e-Conomy SEA.
Dilansir dari CNBC International, Jumat (28/10/2022) total nilai transanksi ekonomi digital di Asia Tenggara tahun ini juga diperkirakan mencapai USD 200 miliar atau sekitar Rp 3,1 kuadriliun.
Pencapaian ini datang tiga tahun lebih cepat dari proyeksi sebelumnya dan menandai peningkatan 20 persen dari tahun lalu senilai USD 161 miliar (Rp 2,4 kuadriliun) dalam nilai barang dagangan bruto (GMV).
Advertisement
Laporan sebelumnya pada tahun 2016 memperkirakan, ekonomi digital di enam negara besar di Asia Tenggara akan mendekati USD 200 miliar dalam GMV pada tahun 2025.
Enam ekonomi utama yang tercakup dalam laporan tersebut adalah: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Sementara itu, laporan bersama yang disusun 3 perusahaan besar tersebut tidak membahas ekonomi digital di Brunei, Kamboja, Laos dan Myanmar, serta Timor Timur dan Papua Nugini.
"Setelah bertahun-tahun berakselerasi, pertumbuhan adopsi digital menjadi normal," tulis laporan Google, Temasek dan Bain & Company.
Asia Tenggara terus melihat pertumbuhan jumlah pengguna internet — dengan penambahan 20 juta pengguna baru pada tahun 2022, meningkatkan total pengguna menjadi 460 juta.
Namun, pertumbuhan itu mulai melambat, dan hanya 4 persen pada tahun 2022 dibandingkan tahun lalu, dibandingkan dengan peningkatan 10 persen year-on-year pada 2021 lalu dan pertumbuhan 11 persen pada tahun 2020.
E-Commerce sebagai Pemicu Pertumbuhan
Laporan e-Conomy SEA juga menemukan bahwa e-commerce di Asia Tenggara terus mendorong pertumbuhan di wilayah tersebut meskipun dimulainya kembali belanja offline saat lockdown Covid-19 dicabut.
Nilai barang dagangan di sektor ini pun tumbuh 16 persen menjadi USD 131 miliar pada tahun 2022.
Laporan itu memproyeksikan pertumbuhan di sektor e-commerce Asia Tenggara tumbuh pada 17 persen dari 2022 hingga 2025.
"E-commerce terus berakselerasi, pengiriman makanan dan media online kembali ke tingkat pertumbuhan pra-pandemi, sementara perjalanan dan pemulihan transportasi ke tingkat pra-Covid-19 akan memakan waktu," kata laporan e-Conomy SEA.
Sementara aktivitas lainnya, yaitu layanan keuangan digital, yang mencakup pembayaran, pengiriman uang, pinjaman, investasi, dan asuransi, telah mengalami pertumbuhan yang sehat dari tahun 2021 hingga 2022.
Pertumbuhan itu didukung oleh pergeseran transaksi offline-ke-online pasca-pandemi.
Di antara layanan ini, asuransi mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 31 persen year-on-year sementara pinjaman tumbuh 25 persen year-on-year .
"Karena kami telah membuka kembali pasca-pandemi, mobilitas di tempat-tempat ritel sebenarnya telah melampaui (tingkat) pra-pandemi di banyak negara. Namun, ekonomi digital masih tumbuh sebesar 20 persen year-on-year. Dan itu menandakan bahwa banyak adopsi yang terjadi selama pandemi akan tetap ada. Beberapa kebiasaan baru telah terbentuk," ungkap Stephanie Davis, wakil presiden di Google Asia Tenggara, dalam segmen CNBC Street Signs Asia.
Advertisement
Konsumen Kembali Belanja Offline Pasca Pandemi, Ekonomi Digital Asia Tenggara Masih Bisa Untung ?
Setelah bertahun-tahun berakselerasi, pertumbuhan adopsi digital menjadi normal, tulis laporan e-Conomy SEA. Ini terjadi ketika Asia Tenggara membuka kembali perbatasan mereka di 2022 setelah lockdown yang berkepanjangan dan konsumen melanjutkan belanja offline mereka.
Selain itu, kondisi makroekonomi saat ini seperti melonjaknya tingkat inflasi telah berdampak pada konsumen Asia Tenggara dan ekonomi digital.
Laporan e-Conomy SEA mengutip kenaikan harga, pendapatan yang dapat dibelanjakan lebih rendah karena perlambatan, serta konsumen yang memiliki lebih sedikit akses ke produk karena rantai pasokan terganggu, yang sebagian karena dampak kebijakan nol-Covid-19 di China.
Namun kabar baiknya, ekonomi online Asia Tenggara masih berada di jalur untuk mencapai USD 1 triliun pada tahun 2030 karena belanja online menjadi normal.
Secara keseluruhan, ekonomi online di enam negara Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai USD 330 miliar pada tahun 2025 jika perusahaan lebih fokus pada profitabilitas selama tiga tahun ke depan.
Tetapi beberapa unicorn terbesar di Asia Tenggara seperti Grab dan Sea Limited belum mencatat keuntungan, karena sempat mengumpulkan kerugian hingga miliaran pada 2021 lalu.
"Lingkungan tingkat kenaikan telah membuat kami menyimpulkan bahwa menargetkan pertumbuhan dengan segala biaya tidak lagi menjadi strategi yang layak. Investor terus berputar menuju profitabilitas, arus kas bebas, dan margin keuntungan yang dinormalisasi. Menemukan keseimbangan dan kalibrasi yang tepat antara optimalisasi biaya dan pertumbuhan lini atas adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh semua perusahaan," kata Fock Wai Hoong, wakil kepala teknologi dan konsumen di Temasek, kepada Street Signs Asia CNBC.