Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyoroti isu pemanasan global (global warming) akibat banyaknya sektor industri yang tidak memperhatikan produksi CO2 (karbon dioksida). Dalam hal ini, APBN siap jadi penyelamat saat terjadi fenomena kegagalan pasar (market failure), dimana pasar tidak bisa mengendalikan kenaikan harga yang terjadi.
Berbicara soal mekanisme transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM), Sri Mulyani menilai, tantangan perubahan iklim (climate change) tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme market.
Baca Juga
Pasalnya, climate change terjadi karena banyak orang tak sadar, produksi CO2 melalui kegiatan ekonomi bakal membuaat dunia semakin menghangat, sehingga terjadi global warming.
Advertisement
"Kalau perekonomian dan kegiatan manusia memproduksi CO2 terlalu banyak dan nobody cares, itu yang disebut sebagai market failure. Nyatanya, ini bisa membahayakan dunia, namun enggak ada yang bisa mengoreksi," keluhnya, Jumat (28/10/2022).
"Di situlah letak APBN sebagai alokatif, mengoreksi supaya tingkah laku manusia memasukan risiko ancaman global tersebut," ujar Sri Mulyani.
Implementasinya, sang Bendahara Negara melanjutkan, bisa melalui pengenaan pajak karbon (carbon tax) hingga alokasi subsidi untuk sektor tertentu. Menurut dia, target penurunan karbon dioksida hanya bisa terjadi jika didukung kebijakan fiskal.
Dalam hal ini, APBN bersifat sebagai penyerap kejutan (shock absorber) ketika harga-harga komoditas meninggi, imbas dari terjadinya kegagalan pasar.
"Sebagian shock begitu besar itu ditampung APBN, masyarakat dapat sedikit vibrasinya. Seperti kemarin, inflasi sempat meningkat untuk beberapa harga, harga minyak goreng, kemudian kita menaikan harga BBM untuk Pertalite dan Solar," paparnya.
"Itu baru sedikitnya, karena the biggest shock itu ditampung oleh APBN, di-absorb. Kalau terjadi market failure APBN masuk untuk bisa meng-address issue," pungkas Sri Mulyani.
Hadapi Perubahan Iklim, Risiko Indonesia Lebih Tinggi Dibanding Negara Lain
Seluruh negara di dunia harus bersiap menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim. Persiapan Indonesia harus lebih baik dibanding negara lain karena risiko yang dihadapi Indonesia dari perubahan iklim ini lebih besar daripada negara lain.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Akbar Fadzkurrahman mengatakan menjelaskan, biaya akibat cuaca ekstrem dapat mencapai 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam bentuk hilangnya peluang investasi, hambatan ekspor, impor wajib produk hijau dan terbatasnya akses pembiayaan global pada tahun 2050.
Kendati begitu, Kata Akbar biaya tersebut dapat dikurangi secara signifikan menjadi 4 persen dari PDB selama tindakan mitigasi tersebut memenuhi target yang disepakati dalam Paris Agreement.
"Risiko krisis iklim global tak mungkin terhindarkan, oleh karena itu transisi menuju ekonomi hijau menjadi sangat urgen untuk segera diimplementasikan," ujar Akbar, di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan transisi dari batubara menjadi salah satu langkah paling tepat uang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.
Tetapi hingga saat ini batubara masih menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia. Melalui Pemabngkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), batubara menykokong kapasitas hingga 36,98 Gigawatt (GW) yang setara dengan 50 persen dari total energi pembangkit listrik.
“Selain risiko keuangan, risiko yang dapat dialami investor adalah penurunan peringkat utang PLN mengingat semakin intensnya komitmen terhadap implementasi ESG (Environment, Social, Governance) secara global," tutur Akbar.
Intensitas tersebut ditunjukkan dengan beberapa industri yang telah mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk meningkatkan ESG. Lebih dari 90 persen perusahaan S&P 500 dan sekitar 70 persen dari perusahaan Russell 1000 telah menerbitkan laporan ESG.
Advertisement
Rekomendasi untuk PLN
Adapun JP Morgan telah memiliki komitmen untuk mendukung praktik sustainable financing melalui pengembangan Carbon Compass sebagai sebuah metode yang bertujuan mengurangi intensitas karbon di proporsi portofolio. Jadi, PLN perlu lebih memperhatikan penerapan ESG.
“Sayangnya, karena komitmen pemerintah untuk membantu PLN apabila terjadi kesulitan likuiditas, sebagian pemegang obligasi tidak menyadari adanya risiko ini. Investor di pasar surat utang juga memiliki kontradiksi dengan komitmen untuk mendukung percepatan pensiun dini PLTU”, lanjut dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memberikan rekomendasi kepada PLN berdasarkan kondisi yang terjadi.
Pertama, menahan pembangunan PLTU baru dalam rangka mengurangi risiko finansial dan nonfinansial yang muncul. Kedua, PLN diharapkan dapat melakukan komunikasi efektif dengan bondholders (pemegang obligasi) untuk mencegah penurunan peringkat utang PLN yang cukup vital bagi kelangsungan usaha PLN.
"Ketiga, mengintensifkan gerakan transisi energi bersih untuk mengakomodasi eksternalitas negatif dan risiko atas pembangunan PLTU baru yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama," terang Bhima.