Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa kawasan Asia-Pasifik dapat menghadapi lebih banyak kerugian daripada kawasan lain jika sistem perdagangan global terpecah setelah ketegangan geopolitik.
Dilansir dari CNBC International, Senin (31/10/2022) IMF dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Jumat (28/10) menyebutkan bahwa negara-negara Asia dan Pasifik dapat kehilangan lebih dari 3 persen dalam produk domestik bruto jika perdagangan terputus di sektor-sektor yang terkena sanksi chip AS baru-baru ini terhadap China.
Baca Juga
Angka itu bahkan dua kali lipat dari jumlah kerugian tahunan global yang diproyeksikan.
Advertisement
IMF menambahkan, sektor-sektor ekonomi di negara-negara Asia yang terpaksa berkontraksi karena perdagangan yang berkurang dapat menderita kehilangan pekerjaan rata-rata setinggi 7 persen.
"Ketika kita berbicara tentang perkembangan dari meningkatnya ketidakpastian perdagangan dan langkah-langkah yang lebih ketat, hal itu pada akhirnya akan meningkat menjadi fragmentasi di mana dunia terpecah," ungkap direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF, Krishna Srinivasan pada konferensi pers di Singapura.
“Asia berisiko kehilangan banyak karena kawasan ini merupakan pemain kunci dalam rantai pasokan global dan di dunia yang terfragmentasi, mereka berisiko kehilangan lebih dari kawasan manapun," sebutnya.
Selain itu, ada kekhawatiran atas arus modal keluar dari Asia karena suku bunga di kawasan ini tertinggal dari Amerika Serikat. "Namun sejauh ini, masalah tersebut "masih dapat diatur," karena situasi ekonomi di Asia yang beragam, kata Srinivasan.
"Misalnya, kita melihat banyak aliran modal untuk India, dan aliran modal untuk Taiwan, China, dan aliran moderat dari Indonesia, serta Malaysia, tetapi kita melihat beberapa aliran masuk bersih ke Thailand. Dan baru-baru ini, kita melihat arus kembali ke India. Jadi gambarnya agak campur aduk," bebernya.
Besarnya Kerugian dari Fragmentasi Perdagangan
IMF melanjutkan, bahwa tanda-tanda fragmentasi global muncul selama perang dagang antara AS dan China pada tahun 2018.
Namun, tanda-tanda yang lebih mengkhawatirkan, muncul salah satunya dampak dari perang Rusia-Ukraina. Ditambah lagi, sanksi terhadap Rusia telah menambah lebih banyak ketidakpastian seputar hubungan perdagangan.
Ketidakpastian kebijakan seputar perdagangan, bukan hanya pembatasan itu sendiri, dapat menghambat aktivitas ekonomi karena perusahaan menghentikan perekrutan dan investasi dan perusahaan baru menunda masuk ke pasar, kata IMF.
Misalnya, IMF menemukan bahwa ketegangan perdagangan AS-China 2018 mengurangi investasi sekitar 3,5 persen setelah dua tahun.
IMF menyebut, dampak dari fragmentasi perdagangan lebih besar untuk pasar negara berkembang di Asia dan untuk perusahaan dengan utang tinggi.
IMF mengatakan, sementara penelitiannya berfokus pada dampak fragmentasi pada perdagangan, mungkin ada kerugian lain yang lebih dalam, seperti terurainya ikatan keuangan.
"Fragmentasi keuangan dapat menyebabkan biaya jangka pendek dari pelepasan posisi keuangan yang cepat, dan biaya jangka panjang dari diversifikasi yang lebih rendah dan pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat karena berkurangnya investasi asing langsung," beber IMF.
Dengan demikian, IMF mendesak negara-negara di dunia untuk menghentikan pembatasan perdagangan yang dapat merusak dan mengurangi ketidakpastian melalui komunikasi agar kebijakan lebih jelas.
"Penekanan yang lebih besar dapat ditempatkan pada digitalisasi, investasi dalam pendidikan … tetapi yang paling penting, kerja sama internasional, karena kami ingin menghindari risiko perpecahan … penting bahwa kita semua bertindak sekarang, bertindak bersama-sama," kata Srinivasan.
Advertisement
Wamenkeu AS Pede Ekonomi Asia Cerah Meski Dibayangi Resesi
Departemen Keuangan Amerika Serikat mengatakan, ekonomi Asia bakal berjalan dengan baik dalam menghadapi tantangan resesi ekonomi tahun depan.
Hal itu disampaikan Departemen Keuangan AS setelah Pertemuan Menteri Keuangan APEC di Thailand pekan lalu.
Dikutip dari CNBC International, Senin (24/10/2022) Wakil Menteri Keuangan AS Wally Adeyemo menyebutkan, terlepas dari kelesuan ekonomi di China dan negara ekonomi terbesar, Asia berada dalam posisi yang baik untuk mengatasi penurunan.
Seperti diketahui, sejumlah mata uang Asia telah jatuh terhadap dolar AS karena Federal Reserve terus menaikkan suku bunga dalam upaya meredam inflasi.
Pekan lalu, yen Jepang melemah melewati 150 terhadap dolar AS, menandai penurunan rendah pertama sejak Agustus 1990.
"Pada akhirnya, saya keluar dari APEC dengan perasaan bahwa ekonomi di kawasan ini memiliki alat untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi," kata Adeyemo dalam konferensi pers di Singapura pada Jumat (22/10).
"Menghabiskan waktu di Asia adalah pengingat terbaik dari vitalitas ekonomi kawasan serta meningkatnya sentralitasnya," sambungnya.
Sejalan dengan pertemuan Indo-Pacific Economic Framework, Ademoyo menghabiskan waktunya di Asia untuk bergerak memenuhi target AS yang lebih terintegrasi secara ekonomi dengan Asia.
Dia menambahkan bahwa undang-undang AS seperti CHIPS Act dapat membantu kawasan itu menghasilkan kegiatan ekonomi.
"Sederhananya, kami memposisikan AS untuk menjadi mitra ekonomi pilihan bagi negara-negara seperti Singapura dan lainnya yang telah bergabung dengan IPEF serta untuk ekonomi lain di dunia," pungkasnya.
Sebagai informasi, IPEF merupakan inisiatif kerja sama yang dipimpin AS terkait isu ekonomi dan perdagangan di kawasan Indo-Pasifik.
Adeyemo mengatakan dia telah berdiskusi dengan berbagai negara yang telah setuju untuk berpartisipasi dalam empat modul di antaranya adalah perdagangan, rantai pasokan, ekonomi bersih dan ekonomi yang adil.