Liputan6.com, Jakarta Obat sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas diyakini berbahaya bagi kesehatan. EG dan DEG juga diduga menjadi biang kerok dari kasus gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI).
Sampai 2 November 2022 tercatat sebanyak 178 pasien anak gagal ginjal yang meninggal dunia, sementara jumlah kasus sebanyak 325 kasus.
Kasus ini pun menimbulkan tanya, mengapa obat sirup yang tidak aman bisa menyebar di pasaran, serta bagaimana tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)?
Advertisement
Perihal ini Kementerian dan Lembaga khususnya BPOM serta produsen saling tuduh terkait penyebaran sirup berbahaya tersebut. Lantas siapa yang salah disini?
Berikut rangkuman saling tuduh terkait penyebaran obat sirup yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas, yang dirangkum Liputan6.com, Kamis (3/11/2022).
1. BPOM sebut Bahan Baku obat Pemicu Gagal Ginjal masuk RI melalui Kemendag
Kepala BPOM Penny Lukito menyinggung Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait masuknya atau impor senyawa kimia propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) ke Indonesia.
Penny menyebut bahan baku tersebut masuk bukan melalui surat keterangan impor (SKI) BPOM melainkan SKI Kemendag, sehingga pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan.
"Bahan baku pada umumnya masuk melalui SKI BPOM. Khusus untuk pelarut PG dan PEG ini, masuknya tidak melalui SKI BPOM, tapi melalui Kementerian Perdagangan, non-lartas. BPOM tidak bisa melakukan pengawasan ke mutu dan keamanannya pada saat masuk ke Indonesia," kata Penny dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Rabu (2/11/2022).
Penny menyebut bahan baku PG dan PEG tidak termasuk dalam pharmaceutical grade melainkan technical grade, dan kedua hal tersebut memiliki perbedaan sangat besar.
"Ada perbedaan sangat besar antara bahan baku dalam bentuk pharmaceutical grade dengan bahan baku yang hanya untuk industri kimia lainnya. Tentunya perbedaan harga ini dapat dimanfaatkan oleh para penjahat itu," kata dia.
Ke depan, BPOM mengusulkan revisi SK importasi PG dan PEG juha harus melalui BPOM.
"BPOM mengusulkan agar terdapat revisi pada skema importasi PG dan PEG dengan menjadi kategori lartas. Sehingga nantinya, importasi kedua senyawa itu harus melalui persetujuan atau SKI BPOM," imbuhnya.
2. Pengawasan Obat Sirup di BPOM
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril menegaskan, pengawasan obat sirup terkait cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) termasuk ranahnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Sebetulnya ini adalah kewenangan dari Badan POM. Jadi, Badan POM itu kan melakukan registrasi, melakukan pengujian dan juga pengawasan. Itu kewenangan mereka," tegas Syahril saat Press Conference Update Penanganan Gangguan Ginjal Akut (AKI) yang disiarkan dari Gedung Kemenkes RI Jakarta pada Selasa, 1 November 2022.
"Nah tentu saja itu sudah dijelaskan oleh Ibu Kepala Badan POM (Penny K. Lukito) kemarin dalam rilis ya termasuk informasi tentang perusahaan-perusahaan yang sudah dianggap memang akan dikriminalkan (dipidanakan), tapi itu ranah hukumnya ya."
Cemaran EG dan DEG pada produk obat sirup berpotensi menyebabkan gagal ginjal akut apabila kadar kandungan melebihi batas aman. Di sisi lain, cemaran EG dan DEG dalam produk obat sirup sebenarnya diizinkan.
Namun, ada ambang batas EG dan DEG yang diperbolehkan, yakni tidak melebihi 0,1 mg/ml. Hasil pengujian BPOM yang diumumkan pada 31 Oktober 2022, ada tiga produsen farmasi yang produknya memiliki cemaran EG dan DEG sangat tinggi.
Jika dilihat dari daftar 102 produk obat sirup yang diberikan Kemenkes RI, terdapat dua industri yang produknya tercemar Etilen Glikol dan Dietilen Glikol Dua industri yang dimaksud adalah PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Afi Pharma. Kemudian ditemukan lagi satu, yaitu PT Yarindo Farmatama.
Advertisement
3. Perusahaan Obat Sirup Klaim Selalu Diawasi BPOM Sebelum Mendapat Izin Edar
Enggan disalahkan usai dituduh memproduksi obat sirop penyebab gagal ginjal akut pada anak, PT Yarindo Farmatama sebagai produsen obat merk Flurin dan Unibabi, mengaku telah mengantongi izin edar dari BPOM. Seluruh proses produksi dan komposisi pembuatan obat, telah diawasi oleh badan pengawas obat dan makanan.
"Selama itu kita kan sudah tiga kali daftar ulang. Kalau katakanlah kami salah, kenapa NIE (nomor izin edar) kami keluar, NIE kami ini tahun 2020 sampai 2025. Artinya BPOM sendiri kan yang memberikan pengawasan untuk izin edar ini," ujar Vitalis Jebarus, Lebak Manajer PT Yarindo Farmatama, diperusahaannya, Senin (31/10/2022).
Vitalis berujar, perusahaan farmasi yang berlokasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten itu tidak pernah merubah komposisi obatnya. Sehingga mereka merasa aneh, jika dianggap sebagai penyebab gagal ginjal akut yang ramai belakangan ini.
Perusahaan juga mengklaim, seluruh bahan pembuat obat diperiksa dengan baik sesuai standar menjamin mutu.
Bahkan obat sirop yang mereka produksi, diklaim tidak pernah masuk ke dalam daftar obat penyebab gagal ginjal yang dikeluarkan oleh Kemenkes.
"Kita tidak pernah membeli bahan etilen itu. (Pergantian supplier) kita pernah, sekali tapi dilaporin kok, itu manufactory pembuatnya, bukan bahannya, itu dari Thailand," terangnya.
Kendati begitu, Perusahaan farmasi PT Yarindo Farmatama terkena sanksi administrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI berupa penarikan obat sirup Flurin yang tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Menurut Vitalis, pihaknya tidak mengubah komposisi obat. Jika ada kesalahan atau perubahan dalam kandungan obat sirup, semestinya BPOM tidak mengeluarkan izin edar untuk obat sirup PT Yarindo.
"Tidak ada perubahan komposisi obat. Nah, itu yang keliru. Kami juga sudah tiga kali daftar ulang (mendaftarkan ulang produk obat sirup ke BPOM)," terangnya.
Hasil penelusuran BPOM terhadap obat sirup produksi PT Yarindo, kandungan cemaran etilen glikol 480 kali lipat dari standar. Tak hanya itu saja, penggunaan bahan baku pelarut Propilen Glikol (PG) dari perusahaan farmasi tersebut juga dinilai melebih ambang batas.
Adanya sanksi dari BPOM, Vitalis Jebarus juga turut sedih. Ia berpendapat kemungkinan perusahaan farmasinya, PT Yarindo Farmatama menjadi korban pemalsuan.
Sebab, penggunaan bahan baku obat sudah diteliti dan sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) BPOM.
"Saya juga sedih karena kami sebenarnya korban dari pemalsuan dan penipuan, apakah dari supplier atau manufacturing penerbit," terang Vitalis.
"Tapi dari bahan-bahan yang dikirim ke kami, itu adalah bahan yang sudah diteliti dengan baik sesuai CPOB,” ujarnya.
4. BPOM: Sistem Jaminan Keamanan Mutu dari Obat Bukan Tanggung Jawab Bersama
Kepala BPOM, Penny K. Lukito dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis 27 Oktober 2022 menjelaskan bahwa sistem jaminan keamanan mutu dari obat bukan hanya tanggung jawab BPOM.
“Sistem jaminan keamanan mutu dari obat itu bukan hanya Badan POM saja, tapi ada industri, dia yang memproduksi. Dia memiliki kewajiban untuk quality control dari mulai bahan baku masuk kemudian dalam produksinya. Quality control dan quality assurance itu ada di industri,” kata Penny.
Jika industri obat tidak melakukan kontrol-kontrol tersebut maka mereka harus bertanggung jawab, kata Penny.
“Nah, Badan POM melakukan pengawasan, menetapkan standar, me-review mulai dari pre market, post market. Jadi kami sudah membangun sistem yang kuat dan melakukan pengawasan yang sangat ketat untuk obat ketimbang untuk kosmetik dan pangan.”
Ia menegaskan kembali bahwa tanggung jawab juga ada di produsen. Maka dari itu, pihaknya meminta pertanggungjawaban soal produk obat sirup yang mengandung cemaran yang melebihi batas.
Advertisement