Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menindak sejumlah entitas terkait pinjaman online dan entitas investasi ilegal alias bodong. Telah ditindak 88 pinjaman online ilegal dan 9 entitas investasi bodong.
Penindakan tersebut selama kurun Oktober tahun ini. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, langkah tersebut diharapkan bisa membawa sektor jasa keuangan tanah air menjadi lebih berdaya tahan tinggi dalam menghadapi kondisi ketidakpastian perekonomian global.
Dalam rangka pemberantasan pinjaman yang dilakukan secara ilegal melalui online dan investasi ilegal, OJK aktif berkolaborasi dengan asosiasi, Kemenkominfo, dan Kementerian atau Lembaga lain serta aparat penegak hukum yang tergabung dalam wadah Satgas Waspada Investasi (SWI).
Advertisement
“Pada Oktober tahun ini telah dilakukan penindakan terhadap 88 pinjaman ilegal yang dilakukan secara online dan 9 entitas investasi ilegal,” ungkap Mahendra dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Oktober, Kamis (3/11/2022).
Angka ini lebih kecil dibanding bulan sebelumnya. Berdasarkan data SWI, terdapat 18 entitas yang melakukan penawaran investasi tanpa izin alias investasi bodong pada September 2022.
Selain itu, Satgas Waspada Investasi juga menemukan 105 platform pinjaman online ilegal (pinjol ilegal) yang berpotensi merugikan masyarakat pada periode yang sama.
Lebih lanjut, Mahendra mengatakan OJK senantiasa proaktif dan memperkuat kolaborasi dengan para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan.
Khususnya dalam mengantisipasi peningkatan risiko eksternal serta turut menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ekonomi Dunia Memburuk, OJK Ketatkan Aturan
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menilai, stabilitas sektor jasa keuangan Tanah Air cenderung masih terjaga. Meskipun, ia tetap mewaspadai dampak dari pemburukan ekonomi dunia.
Ekonomi dunia yang memburuk ditandai dengan adanya pengetatan kebijakan moneter global yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena strong dolar AS. Itu berpotensi menaikan cost of fund dan mempengaruhi ketersediaan likuiditas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi.
"Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar potensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portofolio lembaga jasa keuangan. Selain itu, risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi," ujarnya dalam sesi Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis (3/11/2022).
Dalam upaya mencegah kerugian tersebut, pihak otoritas mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Salah satunya mempertimbangkan untuk melakukan normalisasi beberapa kebijakan relaksasi secara bertahap. Khususnya yang bersifat administratif yang dikeluarkan pada masa pandemi Covid-19.
"Seperti, pencabutan relaksasi batas waktu penyampaian pelaporan lembaga jasa keuangan. Hal ini mencermati perkembangan pandemi dan aktivitas ekonomi, dimana lembaga jasa keuangan dinilai telah dapat beradaptasi dengan kondisi new normal," terang Mirza.
Advertisement
Fungsi Intermediasi
Kedua, Mirza melanjutkan, OJK pun mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam rangka mengatasi scarring effect yang ditimbulkan akibat pandemi, serta menjaga kinerja fungsi intermediasi.
"Dalam waktu dekat, OJK menyiapkan respon kebijakan yang bersifat targeted dan sektoral," imbuh dia.
Namun demikian, ia menambahkan, OJK akan terus melakukan penyelarasan kebijakan dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global dan domestik, yang diperkirakan masih akan terus berubah, terutama di 2023.
"Dibutuhkan dukungan kolaborasi kebijakan, baik fiskal dan moneter untuk mengatasi scarring effect pada sektor-sektor tertentu agar tidak berlangsung berkepanjangan," kata Mirza.