Liputan6.com, Jakarta - Menjelang KTT G20, sejumlah negara maju, salah satunya Amerika Serikat dan Jepang dilaporkan akan menawarkan bantuan dana setidaknya USD 15 miliar atau sekitar Rp 232,1 triliun untuk membantu Indonesia mentransformasi jaringan listrik yang didominasi batu bara.
Dilansir dari Bloomberg, Jumat (11/11/2022) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Marves Luhut Binsar Panjaitan mengkonfirmasi bahwa rincian kesepakatan program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership atau JETP), bakal diumumkan segera pada Selasa (15/11/2022) selama pertemuan G20 di Bali.
Baca Juga
Kesepakatan Just Energy Transition Partnership, yang berjalan hingga setahun negosiasi, akan diumumkan setelah pembicaraan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Advertisement
Kesepakatan tersebut akan memungkinkan Indonesia untuk mempercepat upaya mengurangi pembangkit listrik batu bara, juga membatasi pipa proyek pembangkit listrik batu bara, faktor-faktor yang saat ini menghambat pengembangan energi terbarukan.
Tak hanya Menko Luhut, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati juga mengisyaratkan kesepakatan pembiayaan JETP akan diumumkan pekan depan.
"Saya berharap jumlahnya akan cukup besar untuk menciptakan kepercayaan dalam hal memberikan transisi energi,” katanya, di sela-sela Forum CEO Bloomberg di Bali.
Sementara itu, juru bicara Departemen Keuangan AS masih enggan mengomentari kabar rampungnya kesepakatan JETP, juga Kementerian luar negeri Jepang dan perwakilan dari Kementerian Keuangan yang belum menanggapi permintaan komentar.
Dalam sebuah wawancara pada September 2022, Menteri BUMN Erick Thohir megungkapkan bahwa Indonesia, yang merupakan negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara akan membutuhkan biaya sekitar USD 600 miliar untuk menghentikan pembangkitan batu bara.
Sejauh ini, belum diketahui jelas berapa banyak pembangkit batu bara yang ada yang akan ditutup PLN lebih awal menyusul kesepakatan JETP, meskipun eksekutif perusahaan sebelumnya telah mengidentifikasi 6,7 gigawatt untuk kemungkinan pemangkasan.
Menko Luhut: Emisi Karbon per Kapita Indonesia Lebih Rendah dari Negara Maju
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, bahwa ketika dia dan timnya berdiskusi dengan Utusan Khusus Bidang Iklim Amerika Serikat John Kerry dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen, dia mengatakan Indonesia bisa mengikuti saran mereka terkait transformasi energi bersih.
"Tapi dengan satu syarat, asal jangan ganggu pertumbuhan ekonomi kita. Jadi harus dilakukan secara bertahap. Kedua, diperlukan biaya yang terjangkau dan ketiga, teknologinya," ujar Luhut, dalam acara Seminar Internasional yang digelar LPS di Nusa Dua, Bali pada Rabu (9/11/2022).
"Tim saya melewati diskusi yang sangat sulit dengan mereka, tapi saya pikir itu sudah teratasi," lanjutnya.
Luhut mencatat, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi tantangan lain karena masalah lingkungan dan sosial, termasuk polusi, degradasi hutan dan deforestasi, serta ketimpangan pendapatan.
"Indonesia juga masih berjuang dengan masalah ketimpangan ekonomi yang sedang booming ini," papar Luhut.
Dalam presentasinya, disebutkan bahwa sejak tahun 2000 ketimpangan pendapatan di Indonesia telah meningkat pesat, di mana Indeks Gini meningkat dari 28,5 pada tahun 2000 menjadi 38,1 pada tahun 2022.
Luhut selanjutnya mengutip data dari Bank Dunia yang menunjukkan bahwa emisi karbon per kapita di Indonesia hanya 2.3 ton per kapita,di bawah rata-rata global sebesar 4,5 ton per kapita.
Angka itu jauh lebih kecil dari yang ditampung negara-negara maju, dengan Kanada yang menyumbang emisi karbon per kapita terbesar hingga 15,4 ton, Arab Saudi 14,3 ton, Australia 15,2 ton dan AS 14,7 ton.
Advertisement
Luhut pede Indonesia jadi Negara Maju di 2030
Dalam kesempatan itu, Luhut juga menyampaikan optimis Indonesia bisa menjadi negara maju dengan rata-rata pendapatan per-kapita USD 10 ribu per tahun pada 2030.
"Pendapatan per kapita kami hari ini mencapai USD 4 ribu per tahun, dan kami berharap bisa meningkat menjadi sekitar USD 10 ribu per tahun pada 2030 mendatang," terangnya.
Menurut Luhut, untuk mencapai target ini, Indonesia harus membendung pandemi dan memulihkan perekonomian di tengah berbagai tantangan global.
Selain itu, Indonesia juga perlu mengubah ekonomi dari berbasis komoditas menjadi berbasis industri.
"(Serta) meningkatkan efisiensi melalui digitalisasi, memperkuat ketahanan ekonomi melalui peningkatan dana desa, dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui dekarbonisasi dan transisi energi," demikian paparan Luhut.
Luhut pun memuji pencapaian ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh diatas 5 persen sejak kuartal IV 2021.
Bahkan, ekonomi Indonesia memiliki kinerja yang solid di antara negara-negara anggota G20.
Presentasi Luhut menunjukkan, ekonomi Indonesia berada di urutan ketiga dengan pertumbuhan paling solid di antara negara-negara G20, tumbuh 5,72 persen di kuartal III 2022 - setelah Vietnam yang Arab Saudi yang masing-masing mencatat pertumbuhan 13,67 persen dan 8,57 persen.