Liputan6.com, Jakarta Managing Director of Development Policy and Partnership Bank Dunia, Mari Elka Pangestu, menilai pandemi Covid-19 telah melemahkan posisi kaum perempuan di dunia kerja. Hal itu disampaikannya dalam B20 Summit Indonesia 2022 yang digelar jelang KTT G20 Bali, Senin (14/11/2022)
Mantan Menteri Perdagangan tersebut mengatakan, di samping kehilangan pekerjaan, pandemi Covid-19 memang lebih berdampak terhadap perempuan dibanding laki-laki untuk sejumlah alasan.
Baca Juga
"Pertama, kebanyakan pekerja di bidang kesehatan adalah perempuan. Jadi mereka yang paling terkena dampak," kata Mari Elka Pangestu.
Advertisement
Alasan lainnya, ia menjabarkan, banyak perempuan pekerja di bidang kesehatan dari negara berkembang tidak turut dilindungi layanan kesehatan. Di sisi lain, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan disebutnya meningkat.
"Keempat, perempuan lebih mungkin kehilangan pekerjaan karena mereka harus berdiam di rumah, mengasuh anaknya yang tidak pergi ke sekolah atau orang tuanya yang lanjut usia," papar Mari.
Mari mengklaim paparannya tersebut seluruhnya berbasis data. Dia pun memaparkan indikator berikutnya, dimana pekerja perempuan lebih banyak terkena PHK ketika pandemi.
Tak Bisa Beradaptasi dengan Teknologi
Salah satu alasannya, ia menambahkan, karena banyak perusahaan yang bisa bertahan selama pandemi lantaran mereka bisa banyak beradaptasi terhadap teknologi digital.
"Tapi berdasarkan hasil temuan kami, banyak perempuan di dunia kerja kurang mampu beradaptasi terhadap teknologi digital," imbuh Mari.
Menurut dia, meskipun data tersebut didapat kala masa pandemi, hasil tersebut bisa merefleksikan isu apa yang harus dihadapi oleh kaum perempuan di dunia kerja ke depannya.
"Ada hal lain yang saya temukan cukup menyayat hati. Perempuan, karena pendapatanmu jatuh, Anda makan lebih sedikit. Dan memang, perempuan makan lebih sedikit karena mereka lebih memberikan makannya kepada keluarga dibanding diri sendiri," tuturnya.
Advertisement
Menaker Ungkap 3 Kebijakan Pemerintah Ciptakan Kesetaraan Gender bagi Pekerja Perempuan
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, Indonesia memiliki regulasi yang memadai dalam memberikan perlindungan dan memastikan kesetaraan gender pada perempuan, khususnya para perempuan yang bekerja. Payung hukumnya mulai dari konstitusi-konvensi PBB hingga konvensi ILO.
Ida Fauziyah menjelaskan, terdapat tiga kebijakan pemerintah dalam menciptakan dan keadilan, perlindungan serta kesetaraan gender bagi pekerja perempuan Indonesia. Antara lain kebijakan yang bersifat protektif, korektif dan non diskriminatif.
"Pertama kebijakan yang bersifat protektif, yaitu kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan terkait fungsi reproduksinya," ungkap dia dalam keterangan tertulis, Selasa (12/4/2022).
Seperti istirahat haid, istirahat satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan, istirahat gugur kandungan, kesempatan menyusui, dan larangan mempekerjakan perempuan yang hamil pada shift malam yang membahayakan keselamatan dan kesehatan," paparnya.
Sementara kebijakan yang bersifat korektif yakni dalam melarang perusahaan melakukan Pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pekerja perempuan karena alasan menikah, hamil atau melahirkan.
Selain itu, kebijakan korektif ini juga mewajibkan perusahaan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari dan perlindungan bagi yang bekerja di luar negeri.
"Kemudian ada kebijakan yang bersifat non-diskriminatif. Kebijakan ini berupa perlindungan bagi pekerja perempuan terhadap praktek diskriminasi dan ketidakadilan gender di tempat kerja," kata Ida.
"Mulai dari proses perekrutan sampai dengan pelaksanaan kerja di tempat kerja, pelatihan dan promosi kerja, perlindungan jaminan kerja dan ketenagakerjaan serta jaminan pensiun," tandasnya.
Pekerja Perempuan Banyak Terima Ketidakadilan saat Pandemi
Sebelumnya, percepatan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan, menjadi salah satu isu prioritas yang dibahas dalam Group of Twenty (G20) EMPOWER Presidensi Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diadopsi dari pertemuan Beijing Declaration and Platform for Action (BDPfA) 1995 dan Brisbane Goals 2014.
Untuk membahas isu tersebut, G20 Empower menggelar 1st Side Event dengan tema "Creating Safer Workplace for Women Post Covid-19 Pandemic”.
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziyah mengatakan, khususnya di masa pandemi dan disrupsi digital, membuat perempuan berisiko lebih tinggi terhadap upah rendah dari pekerjaan di sektor informal dengan bentuk pekerjaan non-standar yang berisiko dan tidak aman.
"Indonesia percaya dengan memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, khususnya untuk perkembangan perekonomian G20," ujar Menaker Ida Fauziyah, Rabu (30/3/2022).
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N. Rosalin, mengungkap fakta bahwa kekerasan juga meningkat berkali lipat pada masa pandemi.
Lenny mengutip data global yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan telah bertambah sebanyak 31 juta kasus pada 6 bulan pertama pandemi dan semakin bertambah sampai pada angka 15 juta kasus per tiap 3 bulan selanjutnya.
“Ini menjadi tantangan bersama mengingat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada angka yang rendah, bahkan sebelum pandemi. Data global menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada pada angka rata-rata 47 persen jauh di bawah laki-laki yang berada pada angka 72 persen,” jelas Lenny.
Lebih lanjut, Lenny menambahkan, kekerasan terjadi secara massif di tempat kerja selama pandemi baik kepada perempuan yang bekerja offline maupun online. Pelaku kekerasan bisa berasal dari konsumen dan pengguna jasa yang merasa tidak nyaman akibat layanan yang terganggu akibat pandemi, juga marak dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.
Advertisement