Liputan6.com, Jakarta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan, pembawaan uang tunai ke luar negeri maupun masuk ke Indonesia lebih dari Rp 100 juta wajib lapor ke Bea Cukai. Jika tidak lapor maka akan dikenakan sanksi.
Hal itu diungkapkan Koordinator Kelompok Pengelolaan Pelaporan PPATK, Susi Retno Candrakirana, dalam Livestreaming "Jadi Tahu" Liputan6.com dan PPATK, Rabu (23/11/2022).
Baca Juga
Apabila seseorang terbukti melanggar aturan pembawaan uang tunai dari dan ke luar daerah pabean Indonesia, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif sebesar 10 persen dari jumlah nominal uang yang dibawa, atau maksimum Rp 300 juta.
Advertisement
“Jika melanggar itu di UU nomor 8 Tahun 2010 pasal 35 ada dua macam pelanggarannya. Pertama, apabila seseorang tidak memberitahukan membawa uang ekuivalen lebih dari Rp 100 juta tapi tidak mendeklarasikan akan dikenakan sanksi administratif sebesar 10 persen dari uang yang dibawa atau maksimum Rp 300 juta,” kata Susi Retno Candrakirana.
Jenis pelanggaran kedua, apabila seseorang itu membawa uang tunai lebih Rp 100 juta namun sudah mendeklarasikan ke Bea Cukai tapi tidak mencantumkan jumlah yang sebenarnya, maka juga dikenakan sanksi 10 persen dari jumlah uang yang dibawa.
“Contoh ekuivalen Rp 300 juta tapi yang dicantumkan hanya Rp 150 juta, itu kena sanksi juga sebesar 10 persen,” tambahnya.
Susi mengungkapkan faktanya banyak orang yang melakukan pelanggaran. Namun dia tidak menyebutkan data rincinya, tapi yang pasti PPATK mengajak agar masyarakat berperan aktif wajib mentaati aturan ini
“Faktanya banyak pembawaan uang tunai ke daerah pabeanan ini dilanggar. Contoh, Bea Cukai yang menjaga di Bandara sering menemukan orang-orang yang dengan sengaja uang yang dibawa, dari tas yang diselip-selipin,” ujarnya.
Pengecualian
Kecuali bagi pebisnis diperbolehkan membawa uang tunai dari dan ke luar daerah pabean Indonesia lebih dari Rp 100 juta. Namun, harus memenuhi persyaratan dari Bank Indonesia.
“Terkait pembawaan uang tunai kalau bisnis itu Bank Indonesia yang mengatur, bahwa diperkenankan sebagai Badan Usaha membawa uang kertas asing ke dalam maupun ke luar daerah pabean Indonesia yang diatur oleh Bank Indonesia yang terkini nomor 20 tahun 2018,” ujarnya.
“Karena keperluan bisnis boleh membawa uang, tapi harus dengan syarat tertentu yakni badan yang berizin itu bisa Bank tapi harus bank devisa, kemudian bisa juga money changer. Tapi money changer pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu, bank Indonesia sudah mengatur itu,” pungkasnya.
Advertisement
PPATK: Jangan Sembarangan Pinjamkan Rekening ke Orang Lain, Bahaya!
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) mengungkap bahaya jika seseorang meminjamkan rekeningnya kepada orang lain. Salah satunya bisa terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Plt Direktur Analisis dan Pemeriksaan III PPATK Agus Mulyana menerangkan kalau orang yang meminjaman rekening juga berisiko terlibat jika ada tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan peminjam. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
"Rekening ini kan sama seperti identitas pribadi kita, seperti KTP, Paspor atau NPWP yang bila terjadi sesuatu yang tidak benar atas identitas kita, pastinya pemilik tanda identitas ini akan terkena imbasnya," kata dia dalam program Jadi Tahu Liputan6.com bertajuk Pembekuan Rekening dan Bahaya Meminjanmkan Rekening Bank, Rabu (9/11/2022).
Menurut pengalaman Agus, ada beberapa kasus yang mengindikasikan adanya peminjaman rekening. Misalnya, dia menemukan rekening yang ditelusuri oleh PPATK tidak sesuai profilnya dengan pihak yang diduga melakukan tindak pidana.
"Contoh, ada rekening milik katakanlah disitu ditulisnya swasta, ternyata kita lihat itu asisten rumah tangganya, tapi transaksinya kok besar, tak sesuai dengan pendapatannya, itu kan kita pertanyakan," ungkapnya.
Agus menerangkan kalau paling banyak peminjaman rekening terjadi pada kasus korupsi. Dia mengisahkan, dalam beberapa temannya, rekening koruptor ditemukan tidak bermasalah, namun rekening orang sekitarnya ternyata kedapatan banyak kejanggalan.
Hal ini yang menurutnya perlu diwaspadai oleh banyak pihak utamanya masyarakat. Bahwa ada risiko yang melekat ketika meminjamkan rekening apalagi dengan tujuan yang tidak jelas.
"Karena bagaimanapun kita akan menanggung apabila kita tak tahu risikonya. Kita tak boleh mempercayakan identitas pribadi milik kita kepada orang lain," tegasnya.
Konsekuensi
Pada kesempatan itu, dia juga menerangkan kalau orang yang rekeningnya dipinjam untuk tindak pidana akan ikut terseret. Apalagi jika pemilik rekening asli mendapat keuntungan dari tindak pidana tersebut.
Hal ini juga diatur dalam UU Nomor 8/2010 tentang Pencucian Uang. Ada beberapa kategori, yakni peran yang aktif hingga yang pasif dalam tindak pidana pencucian uang. Masing-masing akan mendapatkan konsekuensi hukumnya sendiri.
"Kalau misalkan ktia melihat ternyata dari indikasi-indikasinya orang yang meminjamkan rekening ini juga dia beritikad tidak baik, dia menikmati peminjaman rekeningnya, tentu ktia masukkan ke laporan ke aparat penegak hukum sebagai pelaku indikasi kejahatan," kata dia.
"Tapi kalau misalkan dari petunjuk-petunjuk yang kita lihaat bahwa orang yang meminjamkan rekenin ini tidak punya itikad jelek, memang dia tidak tahu apa-apa, polos-polos aja gitu, tanpa dia dapatkan keuntungan dari (tindak pidana) itu, kita akan clear-kan ke penegak hukum. Memang orang ini hanya digunakan oleh si pelaku untuk melakukan transaksi keuangan di rekeningnya," bebernya menjelaskan.
Advertisement