Sukses

Kampanye Negatif Bikin Serapan Sawit Petani Lesu

Aksi kampanye negatif terhadap komoditas sawit turut memengaruhi serapan panen para petani.

Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa dilepaskan dari sejumlah komoditas strategis, dengan petani sebagai garda terdepan pertumbuhan. Sayangnya banyak gerakan kampanye negatif dan intervensi lembaga-lembaga asing terhadap komoditas tersebut sehingga membuat petani yang juga merupakan pahlawan ekonomi ini tertekan.

Beberapa komoditas tersebut di antaranya adalah sawit dan tembakau.

Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung bilang meski tak secara langsung, aksi kampanye negatif terhadap komoditas sawit turut memengaruhi serapan panen para petani.

"Kampanye negatif terhadap sawit yang dilakukan LSM itu mengakibatkan citra minyak kelapa sawit mentah/crude palm oil (CPO) negatif di mata dunia. Itu kan bisa bikin negara lain membatalkan pesanan, dan akhirnya penyerapan pabrik dari petani juga pasti akan berkurang," papar Gulat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (23/11/2022).

Gulat menambahkan, sejatinya aksi kampanye negatif ini memiliki motif perdagangan internasional. Menurutnya terdapat pihak yang ingin merebut pasar minyak sawit Indonesia mengingat Indonesia menguasai 52 persen pasar minyak sawit dunia

Tekanan terhadap industri sawit, pasti akan berdampak pada kesejahteraan petani, sebab di Indonesia mayoritas perkebunan sawit dimiliki oleh petani swadaya.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Pertanian, jumlah petani sawit di Indonesia mencapai 2,74 juta kepala keluarga. Sementara kontribusi industri ini mencapai 13,50 persen terhadap kinerja ekspor nonmigas. Adapun tahun 2021 Indonesia berhasil mengekspor 34,2 juta ton sawit.

“Serapan dari industri selama 3 bulan terakhir sudah bagus karena ekspor sudah kembali normal. Artinya stok dalam negeri dengan serapan untuk ekspor sudah berada pada titik normal. Akibatnya tentu serapan TBS petani kan bagus,” ujar Gulat.

 

 

2 dari 3 halaman

Sumbang Pendapatan

Serupa dengan dengan petani sawit, petani tembakau juga kerap dihantui oleh kampanye negatif. Padahal sektor ini juga tak kalah besar kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar keempat di dunia.

Tembakau juga menyumbang pendapatan yang tinggi berupa cukai hasil tembakau yang pada tahun lalu tercatat senilai Rp 188,81 triliun. Angka ini menjadikan CHT menyumbang sebesar 96,52 persen terhadap total penerimaan cukai.

“Kampanye negatif soal tembakau akan mempengaruhi kebijakan pemerintah sehingga menjadi tidak adil bagi petani. Tujuan kampanye negatif mereka adalah agar pemerintah membuat kebijakan yang berpotensi mematikan pertanian tembakau,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji.

Agus mencontohkan kebijakan di sektor pertanian tembakau turut didorong oleh sejumlah pihak mengatasnamakan kesehatan yang disokong oleh lembaga asing. Seperti halnya kebijakan kenaikan cukai tinggi yang justru mengancam serapan tembakau petani dan menyebabkan maraknya rokok illegal.

“Yang berkedok kesehatan berusaha untuk menghentikan aktivitas tembakau dari hulu ke hilir dengan mempengaruhi kebijakan pusat. Padahal sebenarnya tujuan lembaga asing adalah menguasai nikotin di Indonesia,” tegas Agus.

 

3 dari 3 halaman

Intervensi Kebijakan

Upaya kampanye negatif ditambah intervensi kebijakan sejatinya tak hanya menekan para petani, melainkan juga turut mengeliminasi kedaulatan negara. Apalagi jika aksi-aksi tersebut justru dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi. Persaingan ekonomi harapannya harus dilakukan dengan adil dan proporsional.

Sebelumnya, pada KTT APEC di Thailand, Minggu, 20 November 2022 yang lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar setiap negara diberikan kesempatan untuk melakukan hilirisasi.

"Setiap negara harus diberikan kesempatan untuk melakukan industrialisasi agar nilai tambahnya dapat membantu perekonomian dan kesejahteraan negara tersebut dan ujungnya pertumbuhan ekonomi global bersama," jelasnya.

Hal ini disampaikan menyikapi perlakuan WTO terhadap berkembang yang memberikan kendala untuk negara-negara berkembang yang tengah berupaya untuk melakukan berbagai hilirisasi komoditas-komoditas strategisnya.