Sukses

Menlu Retno Sebut Presidensi G20 Indonesia Jadi yang Tersulit Sepanjang Sejarah

Retno Marsudi mengaku bersyukur, Indonesia sebagai Presidensi dapat melaksanakan puncak KTT G20 pada pertengahan November lalu secara baik. Bahkan, mendapatkan pengakuan dari negara-negara anggota G20.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyebut, KTT G20  Indonesia yang berlangsung di Bali pada pertengahan November 2022 menjadi yang tersulit sepanjang sejarah berdirinya G20.  Beberapa kondisi menjadi penyebab hal ini. Seperti penyebaran Covid-19 hingga perang Rusia dan Ukraina.
 
"Presidensi G20 Indonesia adalah Presidensi tersulit sepanjang sejarah G20," kata Retno dalam webinar bertajuk Perempuan Menginspirasi Tegakkan Antikorupsi di Jakarta, Jumat (25/11).
 
Retno beralasan, sebelum pelaksanaan puncak KTT G20 di Bali dunia dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19. Akibat, penyebaran virus Corona jenis baru tersebut laju perekonomian global menjadi terhambat dan mengancam penyelenggaraan KTT G20. 
 
"Di awal Presidensi (G20), dunia sudah menghadapi tantangan yang sangat besar yaitu pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi dunia," ujarnya.
 
Kemudian, situasi ini diperparah oleh konflik antara Rusia dan Ukraina yang berlangsung pada awal Februari 2022. Akibatnya, Indonesia selaku Presidensi G20 memperoleh sejumlah tekanan besar untuk  tidak mengundang hingga mengeluarkan Rusia dari negara anggota G20. 
 
"Saya ingat sekali perang mulai Februari (2022). Kemudian, Maret ini tekanan kepada Indonesia agar Rusia tidak diundang dalam pertemuan, bahkan Rusia dikeluarkan dari G20," ujarnya. 
 
Dia pun mengaku bersyukur, Indonesia sebagai Presidensi dapat melaksanakan puncak KTT G20 pada pertengahan November lalu secara baik. Bahkan, mendapatkan pengakuan dari negara-negara anggota G20.  "Kita baru saja menyelesaikan KTT G20, Alhamdulillah dengan hasil yang baik," ucapnya. 
 
Reporter: Sulaeman
 
Sumber: Merdeka.com
 
2 dari 3 halaman

Efek G20, Indonesia Aman dari Krisis Ekonomi 2023?

Pasca perhelatan Group of Twenty atau G20 di Bali, Indonesia, yang berlangsung pada 15-16 November 2022 lalu. Banyak pihak yang mengapresiasi kesuksesan Indonesia karena telah berhasil menyelenggarakan pertemuan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia ini. Tak hanya itu, hasil yang dicapai dalam agenda tersebut dinilai memiliki kesepakatan penting dan positif bagi perekonomian domestik.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 telah berhasil mengesahkan Deklarasi Pemimpin G20 yang menitikberatkan kepada kolaborasi untuk semua pihak dalam menghadapi tantangan krisis ekonomi global yang terjadi. Karena itu diperlukan komitmen semua pihak dalam melakukan kerja sama kebijakan makro dengan agenda utama pemulihan global yang dapat menghasilkan pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan membuka lapangan pekerjaan.

Meski begitu, tantangan krisis ekonomi global masih melanda akibat dari berbagai faktor, terutama perang yang tak berkesudahan antara Rusia dan Ukraina, konflik geo-ekonomi para negara adikuasa, hingga pada persoalan supply and demand yang menimbulkan tekanan pada perekonomian dunia. Karena persoalan tersebut, timbul gejolak yang bisa berdampak pada gejala resesi ekonomi global dan berpotensi menjadi lebih parah pada kurun waktu 2023.

Menanggapi isu global pada perekonomian nasional, Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan, optimistis ekonomi dalam negeri akan aman dari tekanan ekonomi global pada 2023. Menurutnya, terdapat faktor internal yang membuat pilar ekonomi domestik Tanah Air kuat.

“Ekonomi kita ditopang lebih dari 50 persen oleh konsumsi rumah tangga. Pasca pandemi, kita bisa lihat, masyarakat membelanjakan uangnya baik untuk konsumsi dan investasi, dari yang sebelumnya selama pandemi tertahan,” ujar Fajar Hirawan, dalam diskusi mengangkat tema "Efek Ekonomi G20 di Indonesia: Melihat Opportunity Investasi", Jumat (25/11/2022).

 

3 dari 3 halaman

Harga Komoditas Masih Tinggi

Di sisi lain, menurut Fajar, ekonomi nasional masih beruntung karena ditopang harga komoditas yang saat ini sedang berada pada level tinggi di dunia.

“Indonesia masih aktif mengekspor barang-barang yang sifatnya ekstraktif, seperti kelapa sawit, batu bara dan lainya, yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat dunia,” katanya.

Dampak penyelenggaraan KTT G20 yang telah menghasilkan beberapa kesepakatan, menurut Fajar, dinilai menguntungkan bagi Indonesia.

“Kita turut mengapresiasi. Poin penting lainnya dari pertemuan G20 ini ialah fokus menciptakan stabilitas di kawasan atau di dunia secara umum, itu kemudian akan berpengaruh pada stabilitas ekonomi di masing-masing negara, dan Indonesia berhasil dalam konteks menggaungkan pentingnya kerja sama ekonomi di dunia internasional,” ujarnya.