Sukses

Kenaikan Cukai Picu Rokok Murah, Prevalensi Perokok Sulit Turun

Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia.

Faktanya, masyarakat masih memiliki banyak pilihan produk rokok dengan berbagai variasi harga. Sekalipun terjadi kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai, perokok masih dapat berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Tidak heran jika perusahaan rokok pun akhirnya memilih menjual produk rokok murah dari golongan 2.

 Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan, kenaikan cukai belum cukup untuk mengatasi tingginya angka perokok di Indonesia.

“Opsi rokok murah juga masih sangat banyak sehingga masyarakat punya banyak pilihan. Fenomena downtrading dan maraknya rokok murah seharusnya menjadi dasar pemerintah menaikkan harga cukai,” ujarnya.

 Itulah sebabnya, lanjutnya, CISDI mendorong kebijakan kenaikan cukai yang optimal, yang ini masih menunggu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Apalagi, perusahaan rokok pun tampaknya terus berupaya menjual rokok dengan harga murah. Perusahaan kini berlomba-lomba memproduksi rokok kelas dua dengan tarif cukai yang lebih murah.

“Pengusaha juga masih bisa memilih atau mengakali agar bisa menggunakan tarif cukai yang lebih rendah,” ujarnya.

“Setiap golongan memiliki 2-3 tarif cukai yang berbeda. Dengan begitu, opsi rokok murah akan selalu ada. Simplifikasi tarif cukai itu kebijakan yang penting untuk memimalkan ketersediaan rokok murah di pasaran,” katanya. 

 

2 dari 4 halaman

Selisih Tarif Cukai Rokok

Senada, Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan bahwa selisih tarif cukai rokok antargolongan masih sangat lebar dan memicu masalah seperti downtrading. Dia mengatakan, selisih tarif ini memicu perusahaan rokok memainkan produksi di golongan lebih rendah dengan beragam merek. 

“Dari sisi pengendalian konsumsi, ini sangat merugikan karena adanya penurunan golongan sehingga menurunkan juga harga jual eceran terendahnya. Sehingga dengan HJE di golongan II harga transaksi pasarnya (HTP) nya lebih rendah dan mengganggu pengendalian konsumsi masyarakat,” kata Roosita. 

Dia menjelaskan bahwa perusahaan yang turun golongan ini memicu perpindahan preferensi juga di kalangan masyarakat, karena downtrading mempengaruhi HJE dan HTP. 

“Selisih tarif ini sebaiknya didekatkan, dijadikan satu saja tidak perlu ada golongan. Tahapannya dapat melalui PMK yang terbit tiap tahun tarif cukainya didekatkan, dan yang sudah selisih kecil dijadikan satu. Bahkan kalau bisa hanya sesuai jenisnya saja, tanpa ada golongan,” katanya.

3 dari 4 halaman

Khawatir Kena PHK, Serikat Pekerja Protes Cukai Naik 10 Persen

Keputusan Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024 menuai protes dari serikat pekerja. Pasalnya, para pekerja yang bergantung hidup pada industri hasil tembakau (IHT) terancam kehilangan pekerjaan akibat kenaikan cukai rokok yang angkanya di atas inflasi.

“Kami cukup terkejut dan prihatin atas keputusan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau. Padahal sebagaimana yang selama ini disampaikan pemerintah, kita harus waspada atas situasi pasca pandemi COVID-19 dan stabilitas international terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI Sudarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (11/11/2022).

Belum lagi, lanjutnya, pemerintah baru saja menetapkan kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Hal ini otomatis menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat.

FSP RTMM SPSI juga menyayangkan kenaikan cukai SKT yang dampaknya sangat terasa pada pekerja di sektor ini. ”Pekerja rokok SKT yang padat karya sesungguhnya sudah jadi korban bertahun-tahun, mulai dari turunnya penghasilan sampai PHK,” ucapnya.

Sudarto mengatakan, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai ini bukanlah langkah yang tepat. “Menurut kami, keputusan ini tidak bijaksana karena kami memiliki hak bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak. Dampak penurunan penghasilan dan PHK selama ini sudah terjadi. Terlebih di situasi saat ini, dapat dipastikan pekerja adalah korbannya,” katanya.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan cukai yang bakal berlaku dua tahun tersebut. “Karena yang kami tahu baru berupa pengumuman. Besar harapan kami, dalam dokumen (Peraturan Menteri Keuangan), keputusannya benar-benar mempertimbangkan dengan teliti imbas kenaikan cukai rokok terhadap industri dan pekerja,” katanya.

Sudarto menambahkan, cukai SKT idealnya tidak perlu naik, khususnya ketika pemerintah memahami bahwa sistem renumerasi dan hubungan pekerja SKT sangat dipengaruhi kebijakan cukai yang berlaku.

4 dari 4 halaman

Cukai Rokok Naik 2023 dan 2024, Pemerintah Jamin Tak Ada PHK

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.

Hal itu diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 3 November 2022 lalu.

Adanya kenaikan tarif CHT tersebut, kerap kali membuat tenaga kerja di industri rokok khawatir akan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kendati begitu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjamin tidak akan ada PHK setelah tarif cukai rokok di naikkan.

"Sudah dihitung, (industri rokok) nggak terancam. Kan ada DBH CHT Rp 6 triliun. Nggak mungkin lah PHK, " kata Febrio saat ditemui di Bogor, Jumat (4/11/2022). 

Disisi lain, Pemerintah menilai dinaikannya tarif cukai rokok ini bisa meningkatkan Dana Bagi Hasil (DBH) CHT, dari sebelumnya hanya Rp 3 triliun menjadi Rp 6 triliun. Nantinya, DBH CHT tersebut akan diprioritaskan guna meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah.

"Untuk kenaikan 10 persen kemarin kita melihat dampak bagi tenaga kerja itu minimal, dan bahkan kita sudah siapkan dari beberapa tahun terakhir yang namanya DBH CHT dengan daerah, biasanya itu 2 persen dengan HKPD kemarin DBH CHT itu naik menjadi 3 persen, biasanya itu sekitar Rp 3 triliun dalam 2 tahun terakhir, itu akan meningkat kita estimasi akan berada di sekitar Rp 6 triliunan," ujarnya.