Liputan6.com, Jakarta Para Pelaku industri hasil tembakau (IHT) di tanah air, yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti Gaprindo (Gabungan produsen rokok putih Indonesia) dan Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan cukai rokok tahun 2023 dan 2024 rata rata sebesar 10 persen lebih.
Selain kondisi ekonomi masyarakat masih sangat berat sebagai dampak dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM), dan pendemik Covid 19 yang belum reda, juga karena saat ini sudah masuk resesi ekonomi dunia akibat situasi politik global yang terus memanas. Sementara masa depan perekonomian di tanah air dan dunia juga masih dilanda ketidakpastian.
Baca Juga
Dalam situasi seperti ini, harusnya ada kelonggaran dari pemerintah. Bukan justru semakin dipersulit dengan kenaikan cukai sebesar 10 persen lebih.
Advertisement
Sekiranya pemerintah sedang membutuhkan dana untuk pembangunan, sehingga harus menaikan cukai, maka kenaikannya tidak lebih dari 7 persen. Selain itu kenaikan cukai juga harus diikuti pemberantasan rokok illegal.
Hal tersebut disampaikan Ketua Gaprindo, Benny Wahyudi dan Ketua Formasi Heri Susianto.
“Saat ini situasinya berat dengan adanya berbagai kenaikan biaya di industri. Situasi ini sangat beda dari yang normal, jadi situasinya sangat tidak normal. Pandemi pun belum selesai, masih ada saja kasus baru (terinfeksi Covid 19 yang jumlahnya mencapai) 6000-7000 kasus," kata Benny, dikutip Sabtu (25/11/2022).
"Saya benar-benar tidak tahu, apakah memang IHT ini sudah tidak diperhatikan (pemerintah)? Yang jelas, kalau tidak diperhatikan, kontribusi IHT kepada perekonomian atau penerimaan negara itu kan lebih dari 10 persen. Cukainya saja tahun ini diperkirakan lebih dari 200 trilyun," lanjut dia.
Bagi Gaprindo, menurut Benny Wachjudi kenaikan cukai rokok tahun ini terlalu tinggi. Karena kenaikan ini sudah dari tahun ke tahun naiknya dari tahun 2020, 2021, 2022 dan selalu tinggi kenaikannya. Ini mengakibatkan produksi kita menurun.
.
Produksi Rokok Bisa Turun
Lebih lanjut Benny menjelaskan, dengan adanya kebijakan kenaikan cukai rokok di atas 10 persen yang kembali akan diberlakukan Pemerintah di tahun 2023 dan 2024, kemungkinan besar akan semakin menurunkan jumlah produksi rokok putih. Jika dilihat produksinya dari tahun 2017, year on year Oktober 2017, kira-kira jumlah produksinya mencapai 17,4 miliar batang.
Saat ini tahun 2022 year on year, tinggal 10,4 miliar batang. Dalam waktu 5 tahun penurunan jumlah produksi mencapai 7 milyar. Karena itu, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok, kemungkinan besar akan kembali menurunkan jumlah produksi rokok putih.
“Kenaikan cukai rokok pengaruhnya sangat berat bagi kami. Karena kita mengalami kemunduran dari segi produksi saja turun. Mungkin di tahun depan juga turun antara 8-9 persen lagi. Jelas (Kenaikan cukai rokok) itu berdampak (pada penurunan produksi dan penjualan). Kalau tahun sebelumnya di tahun 2017 masih 17 miliar. Kalau tahun ini dengan pemberian cukai kesatu saja itu kira-kira penjualannya hanya 10,4 miliar. Jadi jelas ada penurunan penjualannya,” papar Beny.
Lebih lanjut dia menjelaskan, menurut informasi yang diterima pihaknya, kenaikan cukai rokok di tahun 2023 mendatang, sigaret putih mesin (SPM) kenaikan cukai rokoknya paling tinggi. Bahkan lebih tinggi dari sigaret kretek tangan (SKT). Meskipun pangsa pasar SPM terus mengalami penurunan.
Kalau tahun 2017 pangsa pasar SPM masih di atas 5 persen, year on year Oktober 2022 masih 5,11 persen. Saat ini pangsa pasarnya dibandingkan rokok kretek mesin atau tangan, SPM ini pangsa pasarnya tinggal 3,07 persen. Produksi dan pangsa pasar mengalami penurunan karena pembebanan kenaikan cukainya paling besar.
“Sayangnya kita (Gaprindo) belum punya (menerima) PMK (peraturan menteri keuangan)nya. Kalau kita lihat dan bandingkan dengan sigaret kretek tangan atau sigaret kretek mesin,” keluh Benny Wahyudi.
Advertisement
Terjadi PHK
Benny Wahyudi juga membantah statement yang menyebutkan kenaikan cukai rokok dua tahun ke depan secara berturut turut tidak akan berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di lingkungan IHT. Menurutnya, kemungkinan pengurangan pegawai atau PHK akibat kenaikan cukai rokok di dua tahun berturut turut tidak tertutup dilakukan IHT.
“Pengurangan pegawai mungkin saja bisa terjadi, namanya juga efisiensi. Karena pastinya pendapatan menurun, pasti akan ada efisiensi. Seberapa besar dan di level mana saya juga kurang paham. Tapi yang jelas kalau pengurangan itu bisa saja, misalnya mengurangi shift kerja dari 3 shift menjadi 2 shift, karena memang yang dijual tidak ada,” papar Benny Wahyudi.
Hal senada disampaikan Ketua Formasi Heri Susianto. Menurutnya, anggotanya tidak menutup kemungkinan terjadinya PHK karyawan, demi melakukan efisiensi akibat kenaikan cukai rokok yang terus menerus.
Menurut Benny Wahyudi, pihak produsen rokok juga tidak ingin terjadi PHK karyawan atau pegawai. Sebab, industri rokok juga sangat bergantung pada pegawai. Namun, tak ada pilihan lain, demi efisien, jika pemerintah terus menaikan cukai rokok yang membuat harga rokok menjadi jauh lebih mahal dan pembelian rokok oleh masyarakat semakn berkurang, pihaknya harus melakukan PHK.
“Makanya kita berupaya agar masih bisa bertahan. Kita pasti akan melakukan penghematan-penghematan, misalnya mengurangi shift, mencari penjualan lain seperti ekspor. Meski hal ini tidaklah mudah karena negara tujuan ekspor juga menerapkan pembatasan terhadap IHT ini,” ujar Benny Wahyudi.
Tembakau
Selain pengurangan pegawai, pihak industri rokok juga dipastikan akan mengurangi pembelian tembakau dari para petani di tanah air.
Hal ini karena pihak produsen rokok juga mengurangi produksi rokoknya. Pengurangan produksi rokok disebabkan, menurunya penjualan rokok. Penjualan rokok menurun karena harganya meningkat. Peningakatan harga disebabkan karena cukai yang dikenakan pemerintah semakin tinggi.
“Otomatis pembelian bahan baku (tembakau dari petani) juga jadi berkurang, karena (rokok) yang dijual juga kurang. Berapa persen besar penurunan pembelian bahan baku ini biasanya besarnya proporsional dengan produksinya. Jadi seperti itu. Kalau kita rata-ratakan penurunan dari tahun 2017 sampai tahun 2022 minus terus 9,79 persen. Kira-kira seperti itulah penurunannya,” papar Benny Wahyudi.
Agar tidak terjadi pengurangan pegawai dan pembelian tembakau dari para petani, Gaprindo berharap pemerintah memberikan kemudahan sekaligus memfasilitasi untuk program dan proses eksport produk rokok tanah air ke berbagai negara. Dengan eksport industri hasil tembakau di tanah air masih bisa bertahan.
Advertisement