Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menggungat Permenaker 18 Tahun 2022 yang mengatur tentang penetapan upah minimum atau UMP 2023. Namun, langkah ini dinilai tak akan mengganggu iklim usaha pada biasanya.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita memandang hal tersebut. Hanya saja, ada syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Dalam hal gugatan yang dilayangkan ini, Ronny memandang kalau itu persoalan yang biasa terjadi. Alasannya, ini jadi satu upaya yang diatur oleh aturan yang sah.
Advertisement
"Dalam konteks relasi pengusaha dan pemerintah, soal gugat menggugat sebenarnya biasa aja, karena gugatan adalah salah satu mekanisme resmi yang ada untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (27/11/2022).
Aturan yang digugat adalah Permenaker 18/2023 tentang penetapan upah minimum 2023. Gugatan ini tak akan mengganggu iklim usaha dengan catatan, keputusan gugatan kedepannya bisa diterima oleh semua pihak.
"Selama semua pihak bersedia menerima apapun hasilnya nanti, tentu tak ada masalah dan saya yakin tak akan berpengaruh pada iklim usaha di satu sisi dan relasi buruh-pengusaha di sisi lain," terangnya.
Ronny menduga kalau gugatan ini berkaitan dengan besaran 10 persen yang disebut dalam beleid tersebut. Menurut aturan itu, kenaikan upah minimum 2023 dibatasi tak boleh lebih dari 10 persen.
"Ketetapan tersebut membuka peluang dua pihak, yakni pihak pemerintah dan pihak pekerja, untuk bersepakat di angka mendekati 10 persen, yang boleh jadi dianggap terlalu tinggi oleh pihak pengusaha," tuturnya.
Â
Dikecam Buruh
Kelompok buruh mengecam langkah pengusaha yang menggugat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum 2023. Buruh menilai kalau gugatan ini tidak berdasar.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dengan tegas menentang gugatan tersebut. Dia menekankan kalau gugatan yang dilayangkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) itu tidak tepat.
"Kami mengecam keras Apindo yang tetap ingin menggunakan PP 36 tahun 2021 dan tidak mau menggunakan Permenaker 18/2022," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (25/11/2022).
Â
Advertisement
Bukan Langkah Keliru
Menurutnya, langkah pemerintah yang menerbitkan Permenaker 18/2022 tidak lah salah. Alasannya, hanya ada 1 pasal dalam PP 36 yang rincian pengaturannya itu diatur Permenaker 18/2022.
"Sikap pemerintah yang mengeluarkan Permenaker 18/2022 tak bertentangan yang menganulir PP 36. Hanya 1 pasal di PP 36 Tahun 2021 yang diturunkan menjadi Permenaker 18 tahun 2022. Pasal kenaikan upah minimum. Sedangkan pasal-pasal lainnya tak ada yang diubah," bebernya.
"Dengan demikian keinginan Apindo dan Kadin uji materiil terhadap Permenaker 18 2022 sumir, tidak jelas tujuannya apa, jadi pasal yang ditentang terhadap PP 36/2021 tidak ada," sambungnya.
Bahkan, Said Iqbal menilai kalau gugatan ini sarat kepentingan politis. Dia juga mengacu pada posisi Apindo dan Kadin soal penetapan upah minimum 2022 lalu. Dimana, Apindo melakukan gugatan atas penetapan upah tidak sesuai dengan rata-rata nasional.
"Kami melihat ini politis," pungkasnya
Â
Gugatan Pengusaha
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bersama dengan Asosiasi Pengusaha dan Seluruh Perusahaan Anggota Kadin akan melakukan uji materiil terhadap peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menjelaskan, kebijakan Penetapan Upah Minimum (UMP) 2023 melalui jalan yang terjal. Hal ini menyusul sejumlah pertanyaan mendasar yang dialamatkan pada kebijakan yang diundangkan pada 17 November 2022.
Dari perspektif pelaku usaha, kebijakan tersebut seyogyanya dapat dirumuskan secara tepat sasar, komprehensif, dan sesuai koridor hukum yang berlaku sehingga dapat diimplementasikan demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.
Ancaman resesi ekonomi global yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan, perlindungan hukum terhadap iklim usaha yang kondusif dan rasa keadilan perlu dikedepankan agar pelaku usaha dapat tetap survive memberikan nilai tambah dari mata rantai ekonomi yang dihasilkan.
Arsjad mengungkapkan, pelaku usaha pada dasarnya sepakat bahwa kondisi ekonomi nasional yang dinamis akibat resesi ekonomi global imbas dari konflik geopolitik perlu disikapi dengan cermat. Salah satunya adalah dengan menjaga daya beli masyarakat, yang terefleksi dari kenaikan upah minimum.
"Namun, pada sisi lain, kemampuan pelaku usaha merespon kondisi ekonomi saat ini juga harus diperhatikan agar tidak memberatkan pelaku usaha dan mengganggu iklim usaha," jelas dia dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).
Advertisement