Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati menegaskan transisi energi tidak boleh mengakibatkan kemiskinan tetapi harus bisa meningkatkan kesejahteraan.
Nicke menjelaskan, saat ini, ada 1,5 juta orang yang bekerja dari sektor hulu sampai hilir.
Baca Juga
"Tentu saja, jangan sampai energi transisi ini menyebabkan kemiskinan tapi harus meningkatkan kesejahteraan," kata Nicke dalam Peringatan Hari Listrik Nasional Ke-77 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (29/11/2022).
Advertisement
Nicke menjelaskan dalam rangka transisi energi dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Dibutuhkan investasi yang tidak murah baik secara penggunaan teknologi maupun SDM dengan kompetensi yang sesuai.
Dia menyebut dari sektor hulu tercatat ada 23 ribu pekerja di sektor energi. Sementara jika dihitung secara keseluruhan dari hulu ke hilir ada 1,5 juta pekerja yang perlu ditingkatkan dan diperbaharui baik keahlian maupun kompetensinya.
"Ini harus dipersiapkan. Tenaga kerja ini harus bisa beradaptasi, memiliki kompetensi yang relevan dalam bentuk up skilling maupun knowledge transfer," kata Nicke.
Dua hal ini kata dia tidak mudah diwujudkan dalam satu waktu dan bekerja sendiri. Perlu kolaborasi dengan berbagai pihak di tingkat global.
"Ini tidak mudah dan butuh waktu, ini juga butuh kolaborasi secara global," kata dia.
Tak heran, lanjut Nicke sektor ini bisa membuka peluang baru dan pekerjaan baru. Maka investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) sangat besar.
"Kita sama-sama tahu investasi EBT ini besar, terbuka banyak, peluang, ada pekerjaan baru dan kompetensi baru," kata dia.
Forum B20 Bahas EBT, Energi Fosil Dilupakan?
Pelaksanaan B20 Summit Indonesia 2022 yang diselenggarakan pada 13-14 November 2022 turut mengangkat isu soal transformasi menuju energi baru terbarukan (EBT). Dalam hal ini, Pemerintah RI merayu investor top dunia untuk mau menanamkan modalnya di Tanah Air.
Upaya itu berbuah manis dengan adanya sejumlah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU), seperti kerjasama antara PLN dan Amazon untuk proyek EBT berkapasitas 210 megawatt (MW).
Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mencermati, pelaksanaan B20 Summit 2022 ini nampaknya melupakan satu hal yang kini justru jadi perdebatan sengit, soal energi fosil semisal minyak.
Menurut dia, pelaksanaan B20 Summit kali ini seakan mengulangi formalitas serupa pada pembahasan-pembahasan di tahun sebelumnya, yang berputar pada perkara transisi energi.
"Dengan demikian masa depan energi fosil sepertinya tidak dianggap dalam B20 ini. Padahal sampai saat ini energi fosil masih menjadi isu utama dalam perekonomian global," kecam Mamit seperti disampaikan kepada Liputan6.com, Selasa (15/11/2022).
"Runtuhnya ekonomi global saat ini karena tingginya harga minyak dan gas serta batubara yang notabene adalah energi fosil," tegas dia.
Â
Advertisement
Ekonomi Global
Seharusnya, ia menekankan, selain berbicara tentang energi bersih semustinya dipikirkan juga soal kondisi ekonomi global saat ini. Terlebih dengan adanya konflik geopolitik Rusia-Ukraina, yang menekan harga komoditas energi fosil, sehingga mengancam terjadinya gelombang resesi pada 2023 mendatang.
"Jadi, jangan dipinggirkanlah isu ini. Energi bersih adalah keniscayaan, tapi energi fosil masih menjadi pilihan utama saat ini. Selain itu, perlu di-highlight bahwa untuk menuju green energy butuh biaya besar. Perlu dukungan dan kerjasama semua pihak agar NZE bisa berjalan sesuai dengan rencana," ungkapnya.
"Komitmen negara maju untuk membantu negara berkembang termasuk kita dalam menuju NZE adalah keharusan. Jangan hanya menjadi wacana saja," pinta Mamit.
Mamit lantas coba mewajari, absennya pembahasan mengenai minyak dan energi fosil dalam forum B20 Indonesia jadi cara untuk meredakan tensi atas isu sensitif tersebut jelang KTT G20 yang bakal digelar 15 November 2022 besok.
"Padahal isu resesi sudah mereka gaungkan sendiri. Kenapa ini (minyak dan energi fosil) bukan jadi pembahasan utama," keluh Mamit.
Â
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com