Sukses

HEADLINE: Penetapan UMP 2023 Didemo, Ditolak hingga Digugat, Apa Upaya Win-Win Solution?

Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi 2023 tak lebih dari 10 persen. Ketetapan pemerintah ini ditolak oleh para buruh sekaligus akan digugat oleh Pengusaha.

Liputan6.com, Jakarta - Tok, akhirnya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah merilis Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023. Aturan ini telah diundangkan pada 17 November 2022.

Dalam Pasal 7 beleid ini tertulis bahwa upah minimum tidak boleh melebihi 10 persen. Jika dalam hitungan sesuai rumus yang ditentukan ternyata hasilnya di atas 10 persen maka kepala daerah dalam hal ini gubernur harus menentukan upah minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen.

Menaker Ida Fauziyah meminta kepada semua pihak yaitu pemerintah daerah, pengusaha dan pekerja atau buruh untuk memperkuat dialog sosial agar implementasi UMP 2023 berjalan dengan baik dan kondusif.

"Kami ingin menekankan lagi bahwa formula yang diatur dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 merupakan jalan tengah baik bagi pekerja atau buruh maupun pengusaha. Karena selain daya beli, pada formula tersebut juga terkandung kontribusi ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi," katanya dikutip pada Selasa (29/11/2022).

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri, selaku Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) menambahkan, periode penetapan dan pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 yang sebelumnya paling lambat 21 November 2022 diperpanjang menjadi paling lambat 28 November 2022.

Sedangkan Upah Minimim Kabupaten/Kota (UMK) yang sebelumnya paling lambat 30 November 2022 menjadi paling lambat 7 Desember 2022. 

Menurut Putri, alasan perubahan ini untuk memberikan kesempatan dan waktu yang cukup bagi Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) dalam menghitung Upah Minimum 2023 sesuai dengan formula baru. 

"Oleh karena itu kami meminta Depeda untuk mematuhi ketentuan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini dalam menyusun rekomendasi UM tahun 2023, yang akan ditetapkan oleh masing-masing Gubernur," kata Putri pada 21 November 2022. 

Putri menambahkan, dalam Permenaker tersebut juga diatur formula penghitungan UM tahun 2023 yang mencakup variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel α (alfa). Variabel alfa merupakan kontribusi tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi yang bentuknya berupa suatu nilai tertentu dari rentang nilai yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat yaitu antara 0,10 s.d 0,30. 

 

Dipatuhi Para Gubernur

Sampai dengan 29 November 2022, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tersebut sudah diimplementasikan oleh hampir seluruh pemerintah provinsi. Tercatat, sudah ada 33 Gubernur yang menetapkan UMP tahun 2023 berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.

Daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Jawa Tengah, Banten, Bali, NTB, dan NTT.

Selain itu juga Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Hanya tinggal Papua Barat dan 3 provinsi baru hasil pemekaran yang belum menentukan UMP 2023. Tiga provinsi tersebut adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan.

Menaker Ida mengatakan, berdasarkan data UMP yang telah dilaporkan ke Kemnaker, Provinsi Sumatera Barat mengalami kenaikan UMP tertinggi yang mencapai 9,15 persen, di mana UMP 2022 sebesar Rp 2.512.539,00 naik menjadi Rp 2.742.476,00 di 2023.

Sedangkan kenaikan terendah terjadi pada UMP Maluku Utara sebesar 4 persen, di mana UMP Maluku Utara tahun 2022 sebesar Rp 2.862.231,00 naik menjadi Rp 2.976.720,00 di 2023.

Penghitungan UMP tahun 2023 berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 telah berhasil menghadirkan jalan tengah bagi pengusaha dan pekerja dan buruh. Hal ini terlihat dari rata-rata kenaikan UMP mencapai 7,50 persen di rentang Alpha 0,20 (tengah-tengah).

"Dengan demikian, maka maksud pengaturan mengenai penghitungan dan tata cara penetapan upah minimum tahun 2023 yang diatur dalam Permenaker ini, yaitu sebagai jalan tengah bagi semua pihak yang berkepentingan yang terlibat dalam penetapan upah minimum benar-benar tercapai," kata Ida.

2 dari 4 halaman

Pengusaha Tak Terima

Namun ketetapan UMP 2023 yang naik rata-rata 7,5 persen di seluruh Indonesia ini ditentang oleh pengusaha. Bukan soal angka kenaikan tetapi landasan hukum yang dipermasalahkan.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bersama dengan Asosiasi Pengusaha dan Seluruh Perusahaan Anggota Kadin pun mengajukan gugatan atau uji materiil terhadap Permenaker 18/2022.

Dalam kajian para pengusaha, Permenaker 18/2022 menjadikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menjadi salah satu acuan hukum. Karena PP 36/2021 tersebut merupakan salah satu aturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja yang diterbitkan sebelum adanya putusan inkonstitusional bersyarat, maka Permenaker 18/2022 memiliki kaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Sehingga dengan dikeluarkannya Permenaker 18/2022 ini menimbulkan dualisme dan ketidakpastian hukum. Untuk itu diperlukan putusan yudikatif untuk menjawab keambiguan yang muncul.

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menjelaskan, semangat yang ingin dikedepankan pelaku usaha adalah menjaga stabilitas investasi, kesejahteraan pekerja, dan keadilan bagi pengusaha.

Untuk memastikan agar kebijakan tersebut tidak kontraproduktif, maka Kadin bersama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Seluruh Perusahaan Anggota Kadin terpaksa akan melakukan uji materiil terhadap Permenaker 18/2022.

Langkah hukum terpaksa ditempuh karena dunia usaha perlu kepastian hukum. “Namun apapun hasilnya, pelaku usaha siap mematuhinya,” kata dia.

Bukan Gertakan

Pernyataan Arsjad ini bukan hanya gertakan semata. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersama 9 asosiasi pengusaha lain resmi menggugat aturan tentang upah minimum 2023 ke Mahkamah Agung.

Kuasa Hukum Apindo Denny Indrayana dari Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm menjelaskan, gugatan pembatalan Permenaker 18/2022 dilakukan pada Senin, 28 November 2022.

"Permohonan keberatan tersebut telah dibayarkan biaya perkaranya, dan tinggal menunggu proses administrasi di Mahkamah Agung, sebelum disidangkan," ujar Denny dalam keterangannya, Senin (28/11/2022).

Dalam permohonan uji materinya, yang setebal 42 halaman, disertai 82 alat bukti, Denny menguraikan secara rinci dalil-dalil uji materiil dan formil mengapa Permenaker 18 Tahun 2022 harus dibatalkan oleh MA. Ada enam peraturan perundangan termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi yang dilanggar oleh Permenaker 18 Tahun 2022.

Yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”), Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja.

Lalu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022.

"Para Pemohon meminta kepada Mahkamah Agung untuk menunda pelaksanaan Permenaker 18 Tahun 2022, agar mengurangi ketidakpastian, dan memohon MA segera memutuskan pengujian tersebut yang sangat penting bagi kelangsungan usaha di tanah air," ungkapnya.

Pembelaan Kemnaker

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker Indah Anggoro Putri pun langsung menampik pernyataan pengusaha tersebut.

"Tentu sudah memenuhi kaidah hukum dan sudah melalui proses harmonisasi regulasi," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (29/11/2022).

Dia menuturkan kalau Permenaker 18/2022 ini dikeluarkan dalam merespons berbagai keberatan yang disampaikan kelompok buruh. Terutama, terkait formula penghitungan besaran upah minimum provinsi atau UMP 2023.

"Niatan Permenaker 18/2022 diterbitkan adalah untuk menjaga daya beli pekerja/buruh sekaligus kerberlangsungan usaha. Lagi pula Permenaker ini adalah upaya Pemerintah dalam merespon aspirasi banyak pihak yang keberatan dengan formula Upah di PP 36/2021," tuturnya.

Indah menegaskan Kemnaker memastikan akan menghadapi gugatan tersebut, tak ada hal khusus yang dipersiapkan.

"Tidak ada persiapan khusus, kami belum menerima informasi apapun dari MA," kata dia.

Indah mengaku belum bisa berbicara banyak mengenai langkah gugatan yang disampaikan 10 asosiasi pengusaha tersebut. Kendati, dia tetap menghormati langkah permohonan uji materiil, karena sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Kami belum bisa menjawa detail, kalau Kemnaker, menghargai langkah hukum yang telah dilakukan oleh pihak Apindo melalui uji materi ke MA sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 tentang Pembentukan UU," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Buruh Juga Menolak

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal menjelaskan, kenaikan UMP 2023 yang sudah diketok 33 provinsi ini belum cukup untuk menjangkau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi.

Sebab kenaikan UMP 2023 masih berada di dibawah nilai inflasi Januari-Desember 2022 yaitu sebesar 6,5 persen plus pertumbuhan ekonomi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 5 persen.

"Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kabupaten dan kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau Year on Year," kata Said, Selasa (29/11/2022).

Jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, maka hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi, Sebab, kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.

Said mengambil contoh kenaikan UMP DKI tahun 2023 yang diketok sebesar 5,6%. Menurut dia, angka itu tidak relevan karena ada di dibawah angka inflasi sebesar 6,5 persen.

"Kenaikan UMP DKI 5,6 persen tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI," tegas Said.

Seharusnya kenaikan UMP DKI tahun 2023 bisa mencapai 10,55 persen. Hal itu sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh.

Suara Pekerja

Apa yang disebut oleh Said Iqbal ini dirasakan oleh seorang sekuriti yang bertugas di salah satu bank plat merah. Nasuki menyebut, nominal segitu mungkin cukup untuk pekerja yang masih sendiri. "Tapi untuk pekerja yang sudah bekeluarga pas-pasan, malah banyak kurangnya," kata dia, Selasa (29/11/2022).

Nasuki menerangkan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) berimbas pada harga kebutuhan pokok. Beberapa barang-barang menjadi mahal. "Jelas, pengeluaran semakin tinggi. Dengan angka segitu dibilang cukup ya cukup-cukupin sajalah," ucap dia.

Belum lagi, Nasuki menambahkan kebutuhan sekolah. Nasuki memiliki dua orang anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Nasuki mengatakan, seharusnya UMP di Jakarta naik menjadi Rp 5,2 juta. "Harus efek kenaikan BBM jadi pertimbangan dalam mengatur UMP DKI. Karena kan kalau BBM naik otomatis semua barang-barang ikut naik," ujar dia.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Jafra salah satu pegawai di PTIK. Jafra menyambut baik kenaikan UMP di DKI Jakarta. "Bagus sih, ada kemajuan," ujar dia.

Namun, Jafra merasa angka segitu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di DKI Jakarta yang serba mahal. Jafra mengatakan, idealnya UMP naik menjadi Rp 5,3 juta sampai Rp 5,5 juta.

"Di Jakarta rata-rata pekerja perantauan, dia harus bayar kost, makan sehari-hari, jadi gak cukup sih kalau segitu," ujar dia.

4 dari 4 halaman

Jalan Tengah

Dosen Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, penetapan UMP 2023 naik maksimal 10 persen ini memang meninggalkan sejumlah catatan dalam aturannya.

Khususnya terkait penerbitan Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, yang terkesan tumpang tindih dengan aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 soal Pengupahan.

"Secara aturan kan pemerintah mengeluarkan Permenaker 18/2022. Sebenarnya pemerintah itu tidak perlu Permenaker dulu, seharusnya sesuai dengan PP 36 saja, karena itu turunan dari UU Cipta Kerja," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Selasa (29/11/2022).

Menurut dia, penerbitan Permenaker 18/2021 terkesan cenderung dipaksakan, karena ada unsur kepentingan politik.

"Jadi permasalahannya itu dari Permenaker 18/2022 itu. Yang ideal harusnya, dasarnya PP 36/2021. Tinggal disesuaikan masing-masing daerah sesuai tingkat inflasi dan daya beli masyarakat, dan perluasan lapangan pekerjaan. Jadi itu saja harusnya," tegasnya.

Trubus menyebut, Permenaker 18/2022 juga tak bisa membaca situasi di lapangan. Terlebih kenaikan BBM pada September 2022 lalu juga masih terasa dampaknya kepada dunia usaha.

"Masalahnya, pemerintah sendiri inkosisten. Dia naikan BBM 30 persen, tapi terkait dengan upah dia tidak mau menyesuaikan," kata Trubus.

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita sangat memahami aspirasi buruh mengapa mereka menolak angka kenaikan UMP yang baru, karena rentang nilai kenaikannya sangat variatif, bahkan ada yang di bawah 5 persen. Sementara yang mendekati angka 10 persen sebagaimana ketetapan Permenaker nyaris tak ada.

"Artinya secara umum angka kenaikan UMP sangat jauh dari aspirasi buruh yang mengusulkan 13 persen. Jadi, sangat bisa dipahami mengapa muncup resistensi dari asosiasi buruh karena nyatanya nilai kenaiakan UMP secara umum kurang sensitif terhadap aspirasi buruh," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (29/11/2022).

Menurut dia, jalan tengahnya sebenarnya ada di tangan pemerintah. Masalahnya Pemerintah tidak menetapkan batas bawah, hanya menetapkan batas atas. Alhasil, banyak sekali daerah yang menetapkan kenaikan UMP sangat jauh dari usulan buruh.

"Karena buruh mengusulkan 13 persen, maka setidaknya jalan tengahnya adalah 50-60 persen ke atas dari 13 persen. Artinya, batas bawahnya semestinya ditetapkan, misalnya 7-8 persen dan batas atasnya 10 persen. Dengan demikian, secara politis aspirasi buruh masih bisa dianggap didengar," ujarnya.

Dia menjelaskan, soal perhitungan bisa sangat kontektual alias rumusnya bisa berbeda-beda, tergantung perkembangan ekonomi yang ada. Tapi sebenarnya variable perhitungan kenaikan yang paling krusial adalah inflasi, bukan pertumbuhan ekonomi. Karena tekanan pada pendapatan pekerja datang dari inflasi.

Variable inflasi tersebut adalah inflasi harga konsumen (IHK), inflasi komoditas pokok (makanan), inflasi pendapatan personal pekerja (personal consumer expenditures price inflation), dan inflasi produsen (producer inflation). Dan perhitungannya tentu harus dimulai dari tahun di mana UMP terakhir di naikan, apakah setahun lali atau dua tahun lalu.

"Karena itu, saya sering mengatakan angka ideal kenaikan UMP semestinya di atas 7 dan maksimum 10 persen. Untuk daerah-daerah tertentu yang inflasinya tinggi bisa mendekati 10 persen," jelasnya.

Maka dengan pengumuman kenaikan kemarin, dia mewajari mengapa buruh menolak. Karena, pertama nilai kenaikannya secara umum sangat kurang sensitif terhadap aspirasi buruh.

"Kedua, pemerintah tidak menetapkan batas bawahnya sehingga daerah-daerah dengan mudah menetapkan kenaikan jauh dadi aspirasi buruh, bahkan jauh dari setengah atas 13 persen permintaan buruh. Tentu buruh hasil tersebut menjadi tidak "win-win." pungkasnya.