Liputan6.com, Jakarta Hasil survei elit bertajuk Koperasi, RUU P2SK dan Implikasinya dilakukan oleh Trias Politika Strategis (TPS) menemukan bahwa masyarakat koperasi dan pengamat perkoperasian menolak pengawasan koperasi di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebanyak mayoritas 93 persen masyarakat koperasi menolak atau tidak setuju jika koperasi diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perinciannya sebanyak 71 persen menyatakan sangat tidak setuju, dan 22 persen menyatakan tidak setuju.
Baca Juga
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan bahwa survei elit ini penting dilakukan dengan responden masyarakat praktisi atau pelaku koperasi dan para pengamat perkoperasian karena responden ini memiliki pengetahuan yang memadai untuk menilai soal isu perkoperasian yang sedang perkembang. Diantaranya adalah tentang perkembangan regulasi koperasi dalam RUU P2SK (Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan).
Advertisement
“Survei ini dilakukan dengan responden praktisi koperasi dan pengamat perkoperasian karena responden memiliki pengetahuan dan kapasitas memadai untuk merespon isu-isu koperasi juga menimbang unsur partisipatoris untuk menanggapi kebijakan tentang perkoperasian di Indonesia” Jelas Agung pada acara rilis hasil survei tersebut dikutip Jumat (2/12/2022)
Temuan menarik lain dalam survei opini elit ini ditemukan bahwa masyarakat koperasi dan pengamat perkoperasian menilai koperasi lebih cocok diawasi oleh KemenkopUKM sebesar 86 persen, sedang yang menilai koperasi cocok diawasi OJK hanya 5 persen saja.
Dalam acara rilis hasil riset ini, anggota DPR RI Achmad Baidowi mengatakan bahwa masalah pengawasan koperasi dalam RUU OJK masih terbuka masukan dari masyarakat luas terutama masyarakat koperasi.
“Soal pengawasan koperasi di RUU P2SK ini, terutama pembahasan soal pasal 44A karena menyangkut pengawasan koperasi oleh OJK dan masih menjadi kontroversi maka pembahasan pasal itu dipending” jelasnya.
Tak Cocok Awasi Koperasi
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan bahwa OJK memang tidak cocok mengawasi koperasi.
Ekosistem OJK yang bertugas mengawasi Lembaga keuangan komersial skala besar seperti perbankan tidak cocok mengawasi koperasi yang merupakan usaha ekonomi kerakyatan.
“Hasil riset ini seperti juga sikap saya, bahwa tidak cocok OJK mengawasi koperasi. Kayak kerja OJK ini sudah bener saja. Mengawasi asuransi, kripto currency, tarif karbon saja udah kewalahan ini kok mau ditambah mengawasi ratusan ribu koperasi ya tidak tepat sama sekali. Koperasi ya lebih tepat diawasi oleh KemenkopUMKM tinggal pengaturan soal kelembagaan, peningkatan SDM, dan penambahan anggaran” tegasnya menanggapi hasil survei ini.
Trias Politika Strategis (TPS) melaksanakan survei opini elit ini dengan metode purposive sampling dengan sampel praktisi koperasi dan pengamat perkoperasian sebanyak 155 orang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Alasan pengambilan kategori sampel masyarakat koperasi karena kelompok ini dianggap paling mewakili isu dan memiliki pengetahuan tentang perkoperasian di Indonesi. Survei dilakukan dengan wawancara terstruktur dengan bantuan kuisioner dan dilaksanakan pada 22 – 28 November 2022.
Advertisement
DPR Tolak Keras Koperasi Diawasi OJK
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fathan Subchi, menolak keras bila koperasi harus diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Wacana penambahan tugas bagi pihak otoritas tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Adapun dalam aturan tersebut, OJK nantinya tidak hanya mengawasi kinerja perbankan dan investasi, namun juga akan mengawasi koperasi simpan pinjam dan transaksi kripto.
Fathan menilai, rencana pengawasan koperasi oleh OJK dinilai tidak akan efektif dan hanya akan menambah beban pihak otoritas.
"Jumlah koperasi di Indonesia itu kurang lebih sekitar 127 ribu. Jika semua diawasi oleh OJK, maka bisa dibayangkan beban kerja dari lembaga ini akan semakin berat. Sehingga bisa dipastikan jika langkah tersebut tidak akan efektif," tegas Fathan dikutip dari keterangan resminya, Rabu (30/11/2022).
Dikatakan Fathan, beban OJK saat ini sudah cukup berat dalam mengawasi kinerja perbankan dan investasi. Terlebih, saat ini banyak kasus yang membutuhkan gerak cepat dari OJK, mulai dari kasus pinjaman daring atau pinjol ilegal, hingga kasus-kasus di bidang investasi asuransi.
"Kami khawatir kinerja OJK akan kian kedodoran jika diberi kewenangan baru mengawasi koperasi hingga investasi digital seperti kripto," imbuhnya.
Perlindungan Konsumen
Politikus PKB ini sepakat, OJK harus memperkuat peran dalam perlindungan konsumen. Namun, tetap harus dipertimbangkan kemampuan lembaga sehingga tidak menciptakan polemik dan masalah baru.
"Alih-alih menyehatkan koperasi, OJK akan makin kedodoran dalam mengawasi micro prudential di sektor jasa keuangan," tegas Fathan.
Menurut dia, koperasi pada dasarnya sudah diawasi oleh para anggotanya yang memegang otoritas tertinggi. Pun bila memang dibutuhkan, maka solusi untuk pengawasan koperasi yang tersebar di berbagai daerah sebaiknya diserahkan kepada Kementerian Koperasi dan UKM.
"Kemenkop dan UKM sudah memiliki jaringan di berbagai daerah, tinggal bagaimana meningkatkan kapasitas pegawainya, sistem pengawasannya tinggal meniru seperti OJK mengawasi lembaga keuangan, dan kalau perlu kementerian ini mendirikan direktorat jenderal khusus untuk mengawasi koperasi," tutur Fathan.
Advertisement