Sukses

Jokowi Pamer Geliat Industri Logam Indonesia, Kini Hasilkan Rp 37 Triliun

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebut perkembangan industri logam sudah mulai terasa geliatnya. Industri ini dulu hanya menghasilkan Rp 9,8 triliun, kini sudah melonjak hingga Rp 37 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebut perkembangan industri logam sudah mulai terasa geliatnya. Industri ini dulu hanya menghasilkan Rp 9,8 triliun, kini sudah melonjak hingga Rp 37 triliun.

"Jadi kita lihat 2014 di industri logam itu hanya Rp 9,8 triliun, meloncat sudah Rp 37 triliun," kata Jokowi pada acara Kompas 100 CEO Forum 2022 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12).

Besarnya perkembangan di industri logam tersebut artinya pendapatan negara bisa bertambah dari sisi penerimaan pajak nasional. Jika pada tahun 2014 lalu hanya mendapatkan Rp 985 miliar, kini angkanya sudah mencapai Rp 1,44 triliun.

"Naiknya 50 persen, tapi ini baru mulai. Ini belum akhir sebuah cerita, baru mulai," kata dia.

Ekosistem ini pun akan semakin besar dan kas negara terus bertambah. Artinya anggaran belanja pemerintah juga bisa bertambah untuk dana desa. Sehingga manfaat industri logam bukan hanya dirasakan bagi orang-orang yang berada di ekosistem tersebut.

"Artinya apa, masyarakat desa juga menikmati dari ekosistem yang kita bangun ini. Bukan berhenti di situ saja," kata dia.

Dia melanjutkan, dana desa yang diberikan pemerintah telah banyak dirasakan manfaatnya. Jokowi menyebut selama 6 tahun telah mengeluarkan anggaran Rp 468 triliun untuk dana desa kepada 78.400 desa.

Dari dana desa tersebut, uang berputar semakin banyak di desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa langsung digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Inilah saya kira yang namanya keadilan. Bapak ibu semuanya bayar pajak dan pajak itu dialirkan lagi ke desa," kata dia.

"(Kemudian) dialirkan lagi kepada masyarakat-masyarakat yang rentan lewat bansos. Dari mana itu, ya tadi dari pajak, dari PNBP, dari royalti, dari deviden," pungkasnya.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 3 halaman

Jokowi Tak Ingin Indonesia Senasib dengan Amerika Latin, Kenapa?

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan Indonesia sudah lama menyatakan sebagai negara dengan ekonomi terbuka. Namun terbukanya ekonomi Indonesia tidak boleh disalah artikan.

Sebab dia tak ingin Indonesia bernasib sama dengan Amerika Latin yang terjebak puluhan tahun menjadi negara berkembang.

"Sudah lebih dari 50, 60, 70 tahun negara mereka berkembang terus. Bukan berkembang terus, tapi menjadi negara berkembang terus," kata Jokowi pada acara Kompas 100 CEO Forum 2022 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12).

Negara-negara Amerika Latin kata Jokowi di tahun 1950 dan 1960 telah menjadi negara berkembang. Mereka juga membuka ekonominya dan menjadi negara berpendapatan menengah dalam beberapa waktu kemudian.

Hanya saja, mereka sangat membuka pintu yang lebar bagi para investornya. Cara ini memang benar tetapi perlu diwaspadai.

"Problemnya mengartikan keterbukaan itu membuka seluas-luasnya untuk investor. Ini bener. Ini betul. Tapi hati-hati, beda yang saya lihat di Taiwan dan Korea. Ini yang harus betul-betul di design secara konsisten dan harus kita lakukan terus," tutur Jokowi.

Caranya, dengan membuat negara lain bergantung kepada Indonesia. Beberapa kali Indonesia telah berhasil melakukannya. Ada beberapa negara yang memang sangat tergantung dengan komoditas unggulan Indonesia.

"Ini sudah beberapa kali saya cek. Siapa sih yang bergantung kepada kita. Ternyata banyak sekali. Begitu batubara kita stop dua minggu saja, yang telpon ke saya banyak sekali kepala negara, perdana menteri, presiden," tuturnya.

"Oh ini tergantung, tergantung, tergantung, kok banyak sekali. Saya kaget juga," sambungnya.

3 dari 3 halaman

CPO Indonesia

Rupanya kata Jokowi, tidak hanya batu bara. Banyak negara yang juga sangat tergantung dengan CPO dari Indonesia. Bahkan ketika Indonesia melarang ekspor CPO, banyak pihak yang mempertanyakan kebijakan tersebut.

"Begitu juga minyak, CPO. Begitu kita stop, ya karena saya harus stop. Banyak pertanyaan dari luar dari IMF dari Bank Dunia, kenapa stop," kata dia.

"Ya karena dalam negerinya ilang barangnya. Saya harus utamakan rakyat saya dulu," imbuhnya.

Kepada dunia, Jokowi menegaskan, Indonesia tidak bisa dengan mudahnya memberikan hasil produksinya ke negara lain sementara di negara sendiri kekurangan. Keputusan ini pun dianggap banyak pihak sebagai kekeliruan.

"Banyak yang menyatakan itu keliru, ya terserah enggak apa-apa, pendapat orang berbeda-beda. Saya utamakan rakyat saya," ungkapnya.

Hasilnya, lanjut Jokowi, kebijakan itu pun tidak salah langkah. Sebaliknya, hingga kini harga minyak goreng di dalam negeri sangat stabil dan terjangkau bagi masyarakat.

"Bisa saya cek kemarin di dua pasar, baru sehari dua hari kemarin masih di Rp 14.000 dan sebagian di bawah Rp 14.000," kata dia.