Sukses

Kalah Gugat Nikel di WTO, Pengamat: Indonesia Harus Gencar Diplomasi

Usai kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), Indonesia akan mengajukan banding.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah akan mengajukan banding jika kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Ternyata hasil akhir dari gugatan tersebut dimenangkan oleh Uni Eropa. Alhasil Indonesia akan mengajukan banding terkait kasus gugatan larangan ekspor nikel.

Menanggapi, Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, menilai masalah menang atau kalah itu merupakan hasil yang perlu diperhatikan kembali, yang terpenting Pemerintah terus berupaya.

"Saya kira menang atau kalah itu adalah hasil akhir yang kita lihat nanti. Tapi, yang diperlukan saat ini adalah segala upaya dilakukan dalam rangka banding tersebut," kata Mamit kepada Liputan6.com, Senin (5/12/2022).

Menurutnya, Pemerintah harus berkomunikasi dengan semua pihak termasuk Uni Eropa terkait dengan gugatan yang mereka lakukan. Diplomasi harus terus dilakukan termasuk kepada pihak-pihak yang diuntungkan dengan kebijakan hilirisasi ini.

"Dengan adanya banyak dukungan,maka akan semakin membuat keyakinan untuk menang semakin besar. Selain itu, Pemerintah perlu mencari pengacara yang paham dan handal dalam melakukan banding tersebut," ujarnya.

Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Indonesia sedang menghadapi gugatan Uni Eropa soal kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Larangan ekspor nikel mentah memang menjadi perhatian serius pemerintah, tujuannya melipatgandakan nilai tambah ke dalam negeri.

Sesuai prediksi Presiden Joko Widodo, dia mengungkap ada kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan di WTO. Namun, ia menegaskan kalau hilirisasi dan industrialisasi nikel sudah berjalan.

Adapun substansi gugatan yang dilayangkan Uni Eropa di WTO adalah pemakaiam diksi 'melarang'. Artinya, bukan pada kegiatan ekspor sesuai dengan syarat sesuai ketentuan hilirisasi yang digadang di Indonesia. 

2 dari 3 halaman

Usai Nikel, Jokowi Pastikan Bakal Larang Ekspor Bauksit

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak akan berhenti menjalankan kebijakan hilirisasi bahan tambang meskipun saat ini Indonesia kalah gugatan di WTO terkait ekspor nikel. Bahkan Jokowi meminta agar penghentian ekspor dalam bentuk bahan mentah tidak hanya berhenti pada komoditas nikel saja.

"Enggak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, enggak. Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh," ujar Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Kepala Negara mencontohkan, beberapa tahun lalu Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang nilainya hanya mencapai USD 1,1 miliar. Setelah pemerintah memiliki smelter dan menghentikan ekspor dalam bentuk bahan mentah, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi USD 20,8 milia atau Rp 300 triliun lebih.

Akibat kebijakan tersebut, Indonesia digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meski Indonesia kalah dalam kasus tersebut,  Jokowi mengingatkan jajarannya agar melakukan banding dan terus melakukan hilirisasi untuk bahan-bahan tambang lainnya seperti bauksit.

"Enggak apa-apa kalah, saya sampaikan ke menteri, banding. Nanti babak yang kedua hilirisasi lagi bauksit. Artinya bahan mentah bauksit harus diolah di dalam negeri agar kita mendapatkan nilai tambah. Setelah itu bahan-bahan yang lainnya, termasuk hal-hal yang kecil-kecil, urusan kopi, usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah. Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Stop, cari investor, investasi agar masuk ke sana sehingga nilai tambahnya ada," tegasnya.

"Seperti kasus nikel ini, dari Rp 20 triliun melompat ke lebih dari Rp 300 triliun sehingga neraca perdagangan kita sudah 29 bulan selalu surplus yang sebelumnya selalu negatif, selalu defisit neraca berpuluh-puluh tahun. Baru 29 bulan yang lalu kita selalu surplus. Ini yang kita arah," lanjutnya.

Jokowi menegaskan bahwa gugatan tersebut merupakan hak negara lain yang merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah Indonesia. Bagi Uni Eropa misalnya, jika nikel diolah di Indonesia, maka industri di sana akan banyak yang tutup dan pengangguran akan meningkat. Namun, dia menegaskan bahwa Indonesia juga memiliki hak untuk menjadi negara maju.

"Negara kita ingin menjadi negara maju, kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju. Saya sampaikan kepada menteri 'Terus, tidak boleh berhenti'. Tidak hanya berhenti di nikel tetapi terus yang lain," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Didukung Hadapi Kebijakan Global soal Nikel

Putusan panel World Trade Organization (WTO) menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor nikel. Sebelumnya hal itu sempat disengketakan oleh Uni Eropa melalui Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB).

Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Fajar Hasan mengatakan, putusan WTO tersebut harus dilawan. Sebab, putusan WTO berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.

“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali Kran ekspor nikel. Ini berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara ini, melalui keterangan tertulis, Senin(28/11/2022).

Fajar meyakini, hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat, efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah. Misalnya, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat.

“Ini fakta statistik dan empirik bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO," ungkap Fajar Hasan.