Liputan6.com, Jakarta Banyak pihak menyebut Indonesia mampu menjadi lentera di saat ekonomi global mengalami resesi atau gelap di 2023 mendatang. Bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi yang tetap baik menjadi salah satu faktornya.
Pengamat sekaligus Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko mengamini hal itu. Dia juga sepakat kalau resesi global tak akan berdampak banyak pada Indonesia.
Baca Juga
"Jelas sekali Indonesia termasuk sedikit negara yang tegoncang resesi, jelas kita dengan beberapa negara lain resiliensi ini memberi harapan. Meskipun risiko resesi tak bisa dihindarkan tapi disitu tetap bisa bertahan. Saya kira ini bisa jadi harapan," kata dia dalam Inspirato Sharing Session Liputan6.com bertajuk 'Jadikan G20 Bali Declaration Pijakan Ekonomi Bangkit', Jumat (9/12/2022).
Advertisement
"Indonesia tidak masuk resesi jadi simbol lentera yang sekali lagi ini jadi peluang Indonesia di masa depan tak hanya tahun depan. Mungkin tak kembali dalam sejarah kita," sambung pria yang karib disapa Pras ini.
Pras tak memungkiri resesi global akan berdampak ke beberapa negara termasuk negara maju. Dia menyebut, Amerika Serikat jadi contoh yang akan mengalami resesi di 2023 mendatang.
Selain itu, pelemahan ekonomi di Uni Eropa dan China juga akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi global. Imbasnya, negata lain akan ikut terdampak pelemahan tersebut.
Indonesia masuk radar pelemahan tersebut. Hanya saja, kata Pras, dampaknya tidak akan signifikan dan cenderung lemah. Alasannya, Indonesia punya banyak modal untuk mengembangkan ekonomi domestiknya.
"Kalau kita akan terdampak negatif itu tak signifikan, terpengaruh negatif itu tapi relatif lemah, sedikit. Jadi diskusi ekonomi Indonesia bukan lagi soal (kemungkinan) resesi, tidak, tapi apakah kita bisa resillience dan menemukan peluang baru dalam mengelola ekonomi ke depan," ujarnya.
Bos Kadin: Peluang Indonesia Resesi Hanya 3 Persen
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid melihat potensi Indonesia masuk ke jurang resesi masih sangat kecil. Dia mengatakan, kalau potensi resesi hanya berada di 3 persen.
Ini juga sejalan dengan beberapa prediksi dari lembaga internasional. Sebut saja Bloomberg pada pertengahan tahun 2022 yang mencatatkan angka yang sama.
"Risiko resesi Indonesia hanya 3 persen. Kita boleh dikatakan di dunia memiliki chance risiko resesi kecil sekali. Pertumbuhan ekonomi juga yang harus diapresiasi bisa bertahan tumbuh 5,72 persen di kuartal III-2022," ujarnya dalam Inspirato Sharing Session Liputan6.com bertajuk 'Jadikan G20 Bali Declaration Pijakan Ekonomi Bangkit', Jumat (9/12/2022).
Mengingat berbagai tantangan di dunia usaha, Arsjad mengaku telah memiliki sejumlah strategi. Salah satunya dengan mengoptimalkan pangsa pasar dalam negeri. Tujuannya, meminimalisasi dampak pelemahan ekonomi global atas permintaan yang menurun.
"Dunia usaha bisa maksimalkan pangsa pasar domestik untuk kembangkan gejolak ekonomi global, termasuk dengan transaksi digital dan penggunaan bahan baku lokal untuk kurangi ketegantungan," bebernya.
Pada saat yang sama, Kadin Indonesia juga mengimbau para pengusaha untuk melirik nilai environmental, governance, dan social (ESG). Pada sisi ini menitikberatkan pada tata kelola perusahaan yang merujuk pada nilai lingkungan dan sosial.
"Di sisi lain perlu dukungan proteksi untuk menaga pasar dalam negeri dari serangan produk impor dan memberikan kemudahan bagi industri domestik," sambung Arsjad.
Advertisement
Tantangan
Arsjad juga menuturkan sejumlah tantangan bagi dunia usaha. Paling tidak, ada 2 tantangan utama, yakni potensi resesi dan pasar domestik.
Dari sisi eksternal, Arsjad melihat ada fenomena berkurangnya permintaan global terhadap produk Indonesia. Dalam jangka pendek, tentunya ini mempengaruhi kinerja perusahaan.
"Lari-larinya, perusahaan harus mengurangi biaya operasi, misalnya dengan PHK (pemutusan hubungan kerja), yang kita juga tak ingin PHK ini terus meluas," terangnya.
Tingginya tingkat inflasi juga ternyata menjadi ancaman bagi perusahaan salah satunya akan berpengaruh pada besarnya biaya operasional perusahaan. Kendati begitu, inflasi Indonesia masih bisa dijaga di bawah 6 persen.
Menurut Arsjad, inflasi yang disikapi bank sentral dengan menaikkan suku bunga akan berdampak pada pengusaha properti di dalam negeri. "(Kemudian) Ada ancaman pelemahan nilai tukar, dan ini berdampak dunia usaha domestik," pungkasnya.