Sukses

Ekonomi Kontraksi 0,3 Persen, Inggris Sudah di Tepi Jurang Resesi

Ekonomi Inggris berkontraksi sebesar 0,3 persen selama tiga bulan karena melonjaknya biaya hidup membebeani bisnis dan rumah tangga.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Inggris menyusut selama Agustus hingga Oktober atau Kuartal II dan kuartal III 2022. Inggris berada dalam jalur resesi yang sebelumnya memang sudah diperkirakan.

Mengutip BBC, Senin (12/12/2022) ekonomi Inggris berkontraksi sebesar 0,3 persen selama tiga bulan karena melonjaknya biaya hidup membebeani bisnis dan rumah tangga.

Selama tiga bulan, aktivitas ekonomi di Inggris melambat di semua sektor utama termasuk produksi, konstruksi, dan jasa.

Sebelum kontraksi ekonomi diumumkan, Inggris secara luas sudah diperkirakan akan berada dalam resesi pada akhir tahun ini. Bank of England baru-baru ini mengatakan negara itu sedang menghadapi resesi terpanjang dalam sejarah.

Namun pada Oktober 2022, ada jeda singkat di mana ekonomi Inggris sempat tumbuh 0,5 persen, menurut Office for National Statistics (ONS), dibandingkan dengan bulan September ketika output turun karena hari libur dalam rangka penghormatan terakhir saat pemakaman Ratu Elizabeth II.

"Sementara angka hari ini menunjukkan beberapa pertumbuhan, saya ingin jujur bahwa ada jalan yang sulit untuk ke depannya. Seperti negara Eropa lainnya, kita tidak kebal dari gempa susulan Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan harga gas global yang tinggi," kata Menteri Keuangan Inggris, Jeremy Hunt.

Adapun direktur statistik ekonomi ONS, Darren Morgan mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan di Inggris menghadapi aksi mogok yang mempengaruhi bisnis mereka.

"Kami berbicara dengan sekitar 40.000 bisnis setiap dua pekan dan satu dari delapan dari mereka memberi tahu kami bahwa mereka terpengaruh oleh aksi industri pada bulan Oktober," ungkap Morgan kepada program BBC's Today.

"Mereka memberi tahu kami bahwa dampak paling umum adalah mereka tidak bisa mendapatkan barang atau jasa yang diperlukan dan tidak bisa beroperasi penuh," jelasnya.

2 dari 3 halaman

Inggris Bakal Tambah Suku Bunga jadi 3,5 Persen Usai Inflasi Terbang Tertinggi 41 Tahun

Bank of England (BoE) atau Bank Sentral Inggris diperkirakan akan menaikkan suku bunga menjadi 3,5 persen poin persentase atau lebih pekan depan.

Tetapi pembuat kebijakan tampaknya masih berbeda pendapat tentang berapa banyak pengetatan yang diperlukan untuk menjinakkan inflasi karena ekonomi negara itu yang mendekati resesi.

Mengutip US News, Kamis (8/12/2022) pasar keuangan saat ini memiliki peluang 78 persen bahwa BoE akan menaikkan suku bunga setengah persentase poin menjadi 3,5 persen pada 15 Desember, dan peluang 22 persen untuk naik menjadi 3,75 persen.

Kekhawatiran langsung bank sentral adalah inflasi harga konsumen Inggris, yang telah mencapai 11,1 persen pada Oktober 2022, angka tertinggi sejak 1981 dan jauh melebihi target 2 persen BoE.

Bulan lalu, Gubernur BoE Andrew Bailey mengatakan kenaikan suku bunga lebih lanjut kemungkinan diperlukan, meskipun lebih sedikit dari harga pasar keuangan sebelum pertemuan itu, ketika investor memprediksi suku bunga Inggris akan mencapai 5,25 persen pada pertengahan 2023.

"Menurut kami, kenaikan 50 basis poin tampaknya mungkin terjadi," kata ekonom Investec Philip Shaw. "BoE telah memperjelas bahwa inflasi terlalu tinggi. Ini mengkhawatirkan ketatnya pasar tenaga kerja. Dan ada risiko besar pada proyeksinya."

Bailey mengatakan warga Inggris harus menerima penurunan standar hidup karena guncangan harga energi, tetapi negara itu berada di tengah gelombang aksi industri karena serikat pekerja berusaha membatasi dampak pada anggotanya.

Pada 3 November 2022, BoE memperkirakan Inggris telah memasuki resesi dan akan berlangsung hingga akhir tahun depan.

Pasar keuangan saat ini melihat suku bunga BoE akan memuncak di 4,75 persen pada pertengahan tahun depan, sementara HSBC meramal suku bunga bakal mematok di 3,75 persen pada Februari 2023 mendatang.

3 dari 3 halaman

Ramalan OECD, Ekonomi Inggris Paling Terpuruk di Antara Negara G7 di 2023

Badan internasional Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi bahwa ekonomi Inggris akan mengalami pukulan terbesar dari krisis energi global daripada negara-negara maju lainnya. 

Dilansir dari BBC, Rabu (23/11/2022) OECD meramal ekonomi Inggris akan berkontraksi lebih besar daripada negara lain di kelompok G7 (AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang) pada tahun 2023 mendatang.

OECD memperkirakan ekonomi Inggris bakal menyusut 0,4 persen pada 2023 diikuti oleh pertumbuhan yang hanya di 0,2 persen pada 2024.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi di AS dan zona euro akan melemah, tetapi Jerman adalah satu-satunya negara ekonomi utama lainnya yang diperkirakan akan menyusut. 

Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen

Sementara itu, laporan terbaru OECD memprediksi kekuatan negara-negara berkembang, ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 2,2 persen tahun depan.

Tetapi OECD memperingatkan, perang Rusia-Ukraina akan mempengaruhi ekonomi secara tidak merata, dengan negara-negara Eropa menanggung beban terberat dari dampak pada bisnis, perdagangan dan lonjakan harga energi.

Sebaliknya, Office for Budget Responsibility (OBR) pekan lalu memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut 1,4 persen tahun depan, meskipun juga memperkirakan pertumbuhan yang lebih kuat, sebesar 1,3 persen pada tahun 2024.

Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen

Dari kelompok negara-negara G20, Rusia, yang dikenai sanksi ekonomi oleh Barat, diprediksi bernasib lebih buruk daripada Inggris, sebut OECD.

"Penargetan yang lebih baik dari langkah-langkah untuk meredam dampak dari harga energi yang tinggi akan menurunkan biaya anggaran, mempertahankan insentif yang lebih baik untuk menghemat energi, dan mengurangi tekanan pada permintaan pada saat inflasi tinggi," kata badan itu.