Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah perusahaan besar di China masih mengalami hambatan memulihkan operasional bisnis mereka ketika lonjakan kasus Covid-19 masih membayangi negara itu. Beberapa dari mereka bahkan sampai rela mengeluarkan dana besar dalam memfasilitasi alat tes Covid-19 untuk karyawan.
"Lebih dari separuh staf kami di mal dan hotel positif," kata Eksekutif Senior di sebuah perusahaan yang mengelola salah satu kompleks ritel terbesar di Beijing, dikutip dari US News, Rabu (14/12/2022).
Baca Juga
Eksekutif yang enggan disebutkan namanya itu mengatakan bahwa pusat perbelanjaan masih buka dengan staf yang tersisa dibagi menjadi dua tim dan hanya satu tim yang bekerja pada shift tertentu.
Advertisement
Pemberlakuan shift secara terpisah juga dilakukan oleh perusahaan lain di China, termasuk regulator dan bank.
Raksasa e-commerce JD.com, yang berkantor pusat di Beijing dan mempekerjakan lebih dari 540.000 orang, telah mengirimkan alat tes antigen kepada stafnya dan meminta mereka yang sakit untuk tinggal di rumah, menurut keterangan sumber di perusahaan itu.
Adapun toko kosmetik Sephora, yang memiliki 321 toko di 89 kota di China, memberikan cuti kepada karyawan mereka yang dites positif Covid-19 dan izin bekerja dari rumah, menurut keterangan dari juru bicara LVMH.
"Ini sangat membuat frustrasi. Bisnis harus tutup karena staf sakit, meskipun secara legal toko bisa buka," kata Noah Fraser, direktur pelaksana Dewan Bisnis Kanada-China yang berbasis di Beijing.
Sementara itu, perusahaan mobil Volkswagen menjalani produksi yang stabil di China tetapi masih mengurangi kehadiran pekerjanya di kantor dan memberlakukan aturan batasan jaga jarak 1,5 meter.
Pembuat kendaraan listrik asal China, Nio juga mengatakan produksinya normal, meski bersiap untuk risiko penularan di lingkungan produksinya.
"Kami telah mengirim truk obat-obatan dan peralatan ke pabrik untuk dipersiapkan dengan baik," kata presiden Nio, Qin Lihong, kepada media pada Senin (12/12).
Batasan Covid-19 Melonggar, IMF Ramal Lagi Ekonomi China Melambat di 2023
Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperkirakan ada kemungkinan China mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah untuk tahun ini dan berikutnya. Hal itu dikarenakan pelonggaran Covid-19 diperkirakan akan mendorong lonjakan infeksi sehingga masih menyulitkan pemulihan.
Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/12/2022) sementara kebijakan nol Covid-19 di China telah mengguncang ekonominya, Georgieva menyebut, pelonggaran pembatasan juga akan menimbulkan beberapa kesulitan selama beberapa bulan ke depan.
"Tetapi kemungkinan karena China mengatasi ini pada paruh kedua tahun ini, mungkin ada beberapa perbaikan dalam prospek pertumbuhan," kata Georgieva.
Pernyataan Georgieva tersebut disampaikan di sela-sela panel tentang dana baru IMF ketika China bergulat dengan melonjaknya kasus virus corona, karena melonggarkan kebijakan Covid-19 setelah hampir tiga tahun.
IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini, yang merupakan angka terendah dalam beberapa dekade.
Namun IMF juga masih melihat pertumbuhan ekonomi China akan menyentuh 4,4 persen tahun depan. "Sangat mungkin, kami akan menurunkan proyeksi pertumbuhan kami untuk China, baik untuk tahun 2022 maupun 2023", ungkap Georgieva.
Dia menyarakan, negara itu perlu menyesuaikan kebijakan Covid-19nya, salah satunya menggenjot vaksinasi, terutama untuk populasi lanjut usia. Ada juga kebutuhan untuk menggunakan lebih banyak pengobatan antivirus.
"Dengan kata lain, memperlengkap kembali sistem kesehatan untuk merawat pasien daripada mengisolasi, yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir," pungkas Georgieva.
Dengan 2023 yang ditetapkan sebagai tahun yang sangat sulit, Georgieva menegaskan kembali bahwa kemungkinan penurunan lebih lanjut dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan "tinggi".
Selain tantangan di China, ekonomi AS dan Uni Eropa juga diperkirakan akan melambat secara bersamaan, dengan proyeksi setengah dari Eropa akan mengalami resesi tahun depan, sebutnya.
Advertisement
Nomura : Dampak Lockdown Covid-19 ke Ekonomi China Mulai Mengecil
Bank asal Jepang, Nomura menyebutkan bahwa lockdown untuk meredakan penyebaran Covid-19 di China tidak berdampak besar pada ekonomi negara itu untuk pertama kalinya sejak awal Oktober 2022.Â
Namun, analis di Nomura memperingatkan bahwa kedepanya ekonomi China akan mengalami tantangan karena lonjakan infeksi Covid-19 di negara itu.
Dilansir dari CNBC International, Selasa (6/12/2022) Kepala Ekonom China di Nomura, yakni Ting Lu mengatakan dalam sebuah laporan per Senin (5/12) bahwa dampak negatif dari kebijakan Covid-19 di China terhadap ekonominya turun menjadi 19,3 persen dari total PDB.
Itu menandai penurunan dar 25,1 persen yang terhitung sepekan lalu. Angka 25,1 pekan lalu juga lebih tinggi dari yang terlihat selama dua bulan lockdown di Shanghai di musim semi, menurut model Nomura.
"China tampaknya tidak siap menghadapi gelombang besar infeksi Covid-19, dan mungkin harus membayar penundaannya dengan pendekatan 'hidup dengan Covid-19," kata Nomura.
“Mengakhiri kebijakan nol Covid-19 sangat menggembirakan dan seharusnya cukup positif untuk pasar, tetapi kami mengingatkan bahwa jalan menuju pembukaan kembali mungkin bertahap, menyakitkan, dan bergelombang," jelas analis Nomura.
Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah daerah di China telah melonggarkan beberapa kebijakan tes Covid-19, memungkinkan masyarakat di kota-kota seperti Beijing dan Zhengzhou menggunakan transportasi umum tanpa harus menunjukkan bukti hasil tes negatif.
Namun, hasil tes negatif Covid-19 dalam dua atau tiga hari masih diperlukan di Beijing dan beberapa kota lainnya di China sebagai ketentuan untuk memasuki area publik seperti mal.