Sukses

Berkaca Kasus Gagal Ginjal Akut, BPKP Harus Audit Menyeluruh Pengawasan Obat

Pemerintah harus segera menunjuk BPKP melakukan audit guna mencari fakta-fakta baru soal kasus gagal ginjal akut.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta ada audit menyeluruh yang dilakukan menyangkut kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Audit ini menyasar proses penggunaan obat hingga pengawasan peredaran di pasaran.

Ketua BPKN Rizal E Halim mengatakan, audit itu bisa dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dia meminta pemerintah segera menunjuk BPKP melakukan audit guna mencari fakta-fakta baru soal kasus gagal ginjal akut.

"BPKN meminta pemerintah menugaskan BPKP untuk melakukan audit secara menyeluruh dari terkait pengawasan dan peredaran obat-obatan, penggunaan bahan baku obat di sektor farmasi," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (14/12/2022).

Hal ini masuk dalam rekomendasi hasil Tim Pencari Fakta yang dibentuk BPKN. Hasil rekomendasi keseluruhan juga akan disetor kepada Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat.

"Besok juga akan kita sampaikan kepada DPR RI," sambungnya.

Rincian rekomendasi BPKN diantaranya, Pertama, Sebagai bentuk empati dan simpati GGAPA, idnustri farmasi dipandang perlu memberikan kompensasi bagi kroban yang dirawat di RS, korban pulang masih rawat, dan santunan bagi keluarga korban yang sudah meninggal.

Kedua, BPKN meminta pemerintah menugaskan BPKP untuk melakukan audit secara menyeluruh dari terkait pengawasan dan peredaran obat-obatan, penggunaan bahan baku obat di sektor farmasi.

"Ketiga, Kami minta pemeirntah melalaui kepolisian melakukan tindakan tegas ke seluruh pihak yang bertanggung jawab dan tentunya melakukan pengembangan kasus secara terang benderang," ujar dia.

Keempat, karena persoalan kesehatan menyangkut kepentingan dan keselamatan publik, untuk menjadi pemenuhan hak publik secara umum diperlukan penguatan lembaga konsumen secara mandiri.

 

2 dari 4 halaman

Kompensasi

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti soal kompensasi atau ganti rugi yang belum diberikan kepada korban kasus gagal ginjal akut. Kompensasi ini seharusnya diberikan oleh pemerintah dan industri farmasi yang terbukti melanggar.

Ketua Tim Pencari Fakta dari BPKN M Mufti Mubarok mengatakan pemerintah harus memberikan kompensasi. Termasuk membentuk tim untuk menentukan besaran kompensasi yang diberikan.

"Mengacu pada tragedi Kanjuruhan, (diberikan) antunan yang rata-rata Rp 60 juta lebih (per keluarga), tapi itu terserah pemerintah, kita gak punya otoritas disitu, apa diatas dari itu atau dibawah dari itu tentu itu kewenangan pemerintah," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (14/12/2022).

Dia meminta kompensasi ini bisa diberikan dalam jangka waktu singkat. Mengingat, tercatat sudah banyak korban, utamanya balita yang terjangkit kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).

"Batas waktunya sesegera mungkin, kalau bisa besok begitu. Tetapi ini kan tentu jadi di kementerian ada Kemenko PMK, komunikasi dengan Kemensos atau BPJS atau apapun dari segi otoritas untuk bisa memberikan santunan," bebernya.

Hal ini juga masuk dalam temuan TPF BPKN soal kasus gagal ginjal akut. Yakni, pada poin ke-lima dan poin ke-enam. Dsana disebutkan, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah. Serta belum adanya ganti rugi kepada kroban GGAPA dari pihak industri Farmasi.

 

3 dari 4 halaman

Bentuk Tim Khusus

Pada kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut kalau formulasi besaran kompensasi bisa keluar dari korban atau keluarga korban. Ini sejalan dengan aturan mengenai besaran kerugian materil maupun immateril sesuai dalam regulasi perdata.

Namun, dia juga menyarankan, dalam penentuan besaran kompensasi, pemerintah membentuk tim khusus. Nantinya, tim ini akan menentukan standar besaran yang sesuai.

"Kalau di luar negeri dalam menangani masalah ini, maka ganti rugi idealnya dibentuk komite tim khusus penghitungan ganti rugi," ujarnya.

"Sangat mungkin pemerintah untuk membentuk komite penghitung ganti rugi terhadap korban. Hitung kerugiannya secara materil berapa, (kerugian) immaterilnya berapa," sambung Tulus.

 

4 dari 4 halaman

Hasil Temuan

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah emndapatkan 8 fakta terbaru mengenai kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Termasuk adanya ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga di pemerintah.

Hal ini diungkap bersasar temuan dari Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh BPKN dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. Ketua TPF Mufti Mubarok menyampaikan pihaknya telah melakukan sejumlah investigasi untuk mendalami fakta.

"Sebagian besar korban tidak memiliki komorbid, berdasarkan data Kemenkes, ada 74 persen dari 324 korban adalah balita. Hampir semuanya dari kalangan menengah bawah atau skala ekonomi dibawah," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (13/12/2022).

Dia menuturkan, ada 8 temuan yang jadi konsentrasi. Pertama, ketidak harmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan kefarmasian dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA.

Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat. Ketiga, ketidaktransparanan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada induatri farmasi.

Keempat, tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA. Kelima, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah.

Keenam, belum adanya ganti rugi kepada kroban GGAPA dari pihak industri Farmasi. Ketujuh, Bahan kimia EG dan DEG merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan dan memerlukan pengaturan khusus.

"Kedelapan, belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan dan kefarmasian. Keterlibatan BPKN dan YLKI ini tentu hal penting ketika menangani kasus ini," bebernya.