Liputan6.com, Jakarta Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menduga ada ego sektoral dalam komunikasi dan koordinasi di pemerintahan. Ini menyangkut penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak.
Tulus mengacu pada temuan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Utamanya pada poin ketidakharmonisan soal komunikasi dan koordinasi di pemerintah.
Baca Juga
"Ini kita sesalkan ditengah krisis serius ada korban massal tapi koordinasi antar Kementerian/Lembaga di bidang kesehatan saling tumpang tindih. Ada semacam ego sektoral, dari ego sektoral ini jadi pencetus tingginya korban atau eskalasi korban (gagal ginjal akut)," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (14/12/2022).
Advertisement
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk memperbaiki pola komunikasi dan koordinasi. Dalam konteks ini, antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Harapannya bisa terjadi perbaikan dalam rangka pencegahan kasus serupa.
"Dalam temuan kami ada sikap ego sektoral yang memperlambat penyelesaian masalah sehingga korban jadi lebih banyak," tambah Tulus.
Pada kesempatan ini, Tulus juga menyinggung pentingnya kompensasi atau ganti rugi bagi korban dan keluarga korban gagal ginjal akut. Dia menyebut kalau formulasi besaran kompensasi bisa keluar dari korban atau keluarga korban. Ini sejalan dengan aturan mengenai besaran kerugian materil maupun immateril sesuai dalam regulasi perdata.
Namun, dia juga menyarankan, dalam penentuan besaran kompensasi, pemerintah membentuk tim khusus. Nantinya, tim ini akan menentukan standar besaran yang sesuai.
"Kalau di luar negeri dalam menangani masalah ini, maka ganti rugi idealnya dibentuk komite tim khusus penghitungan ganti rugi," ujarnya.
"Sangat mungkin pemerintah untuk membentuk komite penghitung ganti rugi terhadap korban. Hitung kerugiannya secara materil berapa, (kerugian) immaterilnya berapa," sambung Tulus.
Â
Pemerintah-Industri Farmasi Harus Ganti Rugi
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti soal kompensasi atau ganti rugi yang belum diberikan kepada korban kasus gagal ginjal akut. Kompensasi ini seharusnya diberikan oleh pemerintah dan industri farmasi yang terbukti melanggar.
Ketua Tim Pencari Fakta dari BPKN M Mufti Mubarok mengatakan pemerintah harus memberikan kompensasi. Termasuk membentuk tim untuk menentukan besaran kompensasi yang diberikan.
"Mengacu pada tragedi Kanjuruhan, (diberikan) antunan yang rata-rata Rp 60 juta lebih (per keluarga), tapi itu terserah pemerintah, kita gak punya otoritas disitu, apa diatas dari itu atau dibawah dari itu tentu itu kewenangan pemerintah," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (14/12/2022).
Dia meminta kompensasi ini bisa diberikan dalam jangka waktu singkat. Mengingat, tercatat sudah banyak korban, utamanya balita yang terjangkit kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA).
"Batas waktunya sesegera mungkin, kalau bisa besok begitu. Tetapi ini kan tentu jadi di kementerian ada Kemenko PMK, komunikasi dengan Kemensos atau BPJS atau apapun dari segi otoritas untuk bisa memberikan santunan," bebernya.
Hal ini juga masuk dalam temuan TPF BPKN soal kasus gagal ginjal akut. Yakni, pada poin ke-lima dan poin ke-enam. Dsana disebutkan, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah. Serta belum adanya ganti rugi kepada kroban GGAPA dari pihak industri Farmasi.
Â
Advertisement
Hasil Temuan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah emndapatkan 8 fakta terbaru mengenai kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Termasuk adanya ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga di pemerintah.
Hal ini diungkap bersasar temuan dari Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh BPKN dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. Ketua TPF Mufti Mubarok menyampaikan pihaknya telah melakukan sejumlah investigasi untuk mendalami fakta.
"Sebagian besar korban tidak memiliki komorbid, berdasarkan data Kemenkes, ada 74 persen dari 324 korban adalah balita. Hampir semuanya dari kalangan menengah bawah atau skala ekonomi dibawah," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (13/12/2022).
Â
Rincian
Dia menuturkan, ada 8 temuan yang jadi konsentrasi. Pertama, ketidak harmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan kefarmasian dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA.
Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat. Ketiga, ketidaktransparanan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada induatri farmasi.
Keempat, tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA. Kelima, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah.
Keenam, belum adanya ganti rugi kepada kroban GGAPA dari pihak industri Farmasi. Ketujuh, Bahan kimia EG dan DEG merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan dan memerlukan pengaturan khusus.
"Kedelapan, belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan dan kefarmasian. Keterlibatan BPKN dan YLKI ini tentu hal penting ketika menangani kasus ini," bebernya.
Advertisement