Sukses

Omnibus Law hingga Reformasi Perpajakan Jadi Senjata RI Hadapi Ancaman Krisis

Dunia tengah dihadapkan dengan situasi ketidakpastian yang tinggi, bahkan ancaman krisis ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta Dunia tengah dihadapkan dengan situasi ketidakpastian yang tinggi, bahkan ancaman krisis ekonomi. Berbagai negara menggunakan kebijakan moneter untuk meredam laju inflasi yang terus meningkat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka merespon dampak perang antara Rusia dan Ukraina.

"Semua negara sekarang secara agresif menggunakan alat kebijakan mereka untuk menarik modal di bawah pergeseran geopolitik ini. Jadi ini benar-benar seperti satu saat dalam waktu," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Peluncuran Laporan Bank Dunia: Indonesia Economist Prospect (IEP) 2022 di Soehanna Hall, The Energy Building, Kawasan SCBD, Jakarta Pusat, Kamis (15/12/2022).

Sri Mulyani mengatakan Bank Dunia dalam setiap laporannya selalu menyebut Indonesia berbeda dengan negara lain. Dalam situasi yang tidak baik seperti sekarang, Indonesia masih bisa menghadapi masalah dengan baik.

"Negara lain menghadapi masalah yang jauh lebih buruk, tidak ada uang, tidak ada ide, tidak ada keamanan. Jadi kita harus membuat yang terbaik dari situasi kita," katanya.

Dalam kondisi ini pun pemerintah memanfaatkan momentum memperbaiki reformasi kebijakan fiskal hingga birokrasi dengan memberikan kepastian hukum. Termasuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk menyiapkan tenaga kerja yang lebih produktif.

"Itu sebabnya kami mengesahkan omnibus law tentang penciptaan lapangan kerja. Itu sebabnya kami mereformasi perpajakan kami dan mereformasi sektor keuangan kami," kata dia.

"Jadi itu adalah blok bangunan dari semua Undang-Undang ini. Dan juga reformasi struktural pada kerangka regulasi birokrasi yang sedang kita upayakan," sambung Sri Mulyani.

 

2 dari 4 halaman

Wajar

Dia menegaskan strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia merupakan hal wajar. Negara Amerika Serikat saja menggunakan fiskal untuk menarik kembali modal yang sempat kabur saat pertama kali terjadi pandemi.

"Dan itu membuat ketegangan dengan teman-teman mereka yang Eropa, subsidi sektor energi, harga energi, relokasi onshoring, France shoring, itu sudah biasa," kata dia.

Sehingga kondisi saat ini makin menjadi menarik dan perlu direspon juga dengan bijak. Laporan yang dibuat Bank Dunia pada akhirnya bukan sesuatu hal yang baru bagi Indonesia.

"Saya akan menyampaikan laporan ini di mana menggunakan kebijakan perdagangan dan industri untuk mengubah ekonomi Indonesia bukanlah hal baru," pungkasnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Bos OJK Sebut China Bakal Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Dunia di 2023

Pertumbuhan ekonomi global diprediksi akan melambat karena sejumlah tantangan yang dihadapi pada 2023 mendatang. Namun, China akan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi, sementara Amerika Serikat dan Eropa masih diprediksi melemah.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara. Mirza mengungkap alasan China mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi di 2023.

Salah satunya karena kebijakan zero covid sebagai pembatasa mobilitas masyarakat yang masih dilakukan. Maka, seiring dengan pembukaan mobilitas di akhir 2022, pertumbuhan ekonomi China akan membaik di tahun depan.

"Diantara negara-negara di dunia, negara besar yang pertumbuhan ekonominya meningkat di 2023 adalah China kenapa? Karena di tahun 2022, Tiongkok masih melakukan pengetatan pergerakan manusia, istilahnya zero covid policy," ujarnya dalam Bisnis Indonesia Business Challenge 2023, Kamis (15/12/2022).

Dengan pengetatan ini, China mengalami pelambatan ekonomi di 2022 dengan mencatatkan pertumbuhan 3,3 persen. Sebelumnya, pada 2021 ekonomi China tumbuh 8,1 persen.

"Nah tahun 2023, karena Tiongkok sekarang sudah melakukan pelonggaran pergerakan manusia, maka dari itu tahun 2023 diperkirakan bahwa Tiongkok akan meningkat pertumbuhan ekonominya ke 4,6 persen," beber Mirza.

Kendati begitu, Mirza mengatakan kalau peningkatan ekonomi ini masih lebih rendah dari pertumbuhan yang biasanya dicapai. Yakni, dalam kisaran 6-9 persen pada saat sebelum pandemi Covid-19.

4 dari 4 halaman

AS dan Eropa Melambat

Sementara itu, Mirza mengatakan kalau pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa masih akan melemah di 2023. Ini dipicu dari kenaikan suku bunga yang dilakukan.

Diketahui, Fed Fund Rate meningkat dari 0,25 menjadi sekitar 4 persen di 2022. Ini memicu kenaikan sejumlah suku bunga bank sentral di berbagai negara.

"Maka terjadi perlambatan ekonomi. Dan pada 2022 ini ekonomi AS diperkirakan hanya tumbuh 1,8 direvisi 0,7 persen dari forecast OECD sebelumnya dan 2023 menjadi 0,5 persen," sambung dia.

Kemudian, Eropa juga diprediksi akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Dari angka 3,3 persen di 2022, menjadi tumbuh hanya 0,5 persen di 2023.

"Kita ketahui Amerika menaikkan bunga Europe area menaikkan bunga, beberapa negara di dunia termasuk Indonesia juga menaikkan bunga," pungkas Mirza Adityaswara.