Liputan6.com, Jakarta - Kepercayaan bisnis di China telah menurun ke level terendah sejak Januari 2013.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah survei oleh World Economics di lebih dari 2.300 perusahaan di China, menunjukkan dampak dari lonjakan kasus Covid-19 pada aktivitas ekonomi di negara itu.Â
Baca Juga
Melansir US News, Senin (19/12/2022) survei oleh World Economics yang dilakukan pada 1-16 Desember 2022, menunjukkan aktivitas bisnis di China turun tajam pada bulan Desember dengan indeks manajer penjualan di Sektor Manufaktur dan Jasa di bawah level 50.
Advertisement
Indeks manajer penjualan ini turun menjadi 48,1 pada Desember dari 51,8 pada November, dan merupakan yang terendah sejak survei pada 2013.
Hasil survei World Economics menjadi salah satu indikator tentang bagaimana sentimen bisnis menghantui negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu, setelah pelonggaran kebijakan Covid-19 memicu gelombang kasus baru.
"Persentase perusahaan yang mengklaim saat ini terkena dampak negatif Covid-19 telah meningkat ke survei tertinggi, dengan lebih dari separuh responden sekarang menyatakan operasi mereka dirugikan dengan satu atau lain cara," kata penyedia data yang berbasis di London itu.
Selain itu, World Economics juga memproyeksikan PDB China diperkirakan akan tumbuh hanya 3 persen tahun ini.
"Survei menunjukkan dengan kuat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi China telah melambat secara dramatis, dan mungkin menuju resesi pada tahun 2023," sebut World Economics.
Para pejabat tinggi dan pembuat kebijakan di China kini tengah berfokus menstabilkan ekonomi negara mereka untul tahun 2023 dan meningkatkan penyesuaian kebijakan untuk memastikan target utama tercapai, menurut pertemuan penetapan agenda yang berakhir pada Jumat (16/12)
"Mungkin diperlukan setidaknya seperempat lagi sebelum keadaan berbalik," kata Dan Wang, kepala ekonom di Hang Seng Bank China.
"Banyak usaha kecil kehabisan likuiditas, terutama restoran, pusat kebugaran, hotel, dan layanan kota lainnya," ungkapnya.
Bank Dunia: Ekonomi China Melemah, Indonesia Tetap Kuat
Bank Dunia melihat pelemahan ekonomi di China akibat kebijakan ketat Covid-19 tidak berdampak signifikan pada perekonomian kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Habib Rab dalam Media Briefing Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi December 2022, di Jakarta pada Kamis (15/12/2022).
Habib Rab menjelaskan, dilonggarkannya kebijakan Covid-19 di Indonesia dan negara-negara Asia mendorong kembali peningkatan permintaan dalam negeri.
"Tahun ini China memang melambat cukup signifikan, namun dampaknya untuk kawasan ternyata tidak terlihat signifikan," ujar Habib Rab.
"Salah satu alasannya karena banyak negara di Asia tahun ini, termasuk Indonesia mau membuka diri dari lockdown yang telah berlangsung dua tahun terakhir," sambungnya.
Dia menyebut, pemulihan ekonomi di Indonesia, Vietnam dan Filipina tahun ini didorong oleh permintaan domestik dalam negeri, konsumsi domestik, sehingga permintaan meningkat.
Meski wabah baru Covid-19 telah membebani ekonomi China, Bank Dunia optimis bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu bisa pulih tahun depan.
Pemulihan yang tengah dinanti-nanti ini pun diharapkan dapat memberikan dampak baik bagi Indonesia.
"China di masa depan mungkin pulih tahun depan, jadi permintaan sumber daya alam yang terkontraksi tahun ini karena kebijakan nol Covid-19 mereka kami perkirakan akan mulai rebound kembali dan bisa mendorong dampak positif bagi Indonesia," kata Habib Rab.
Advertisement
Tergantung dengan Indonesia
Sebelumnya, pada awal Desember 2022, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir melihat perlambatan ekonomi China tidak akan berpengaruh besar terhadap pasokan ekspor RI ke negara itu.
Dia menilai, China sudah terlampau bergantung pada Indonesia untuk komoditas bahan baku.
"Sebenarnya sih enggak begitu. memang sekarang kan ekspor kita tertinggi ke China, impor juga paling tinggi di China. Tapi kan kalau kita lihat komoditas, itu kan mereka banyak yang bahan baku berasal dari Indonesia," kata Iskandar di Jakarta pada 6 Desember 2022, dikutip Kamis (15/12).
Dia mengatakan, relasi antara pelemahan ekonomi China dan ketergantungannya atas komoditas ekspor RI tidak bisa dilihat secara one on one. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu saat ini punya pangsa ekspor tertinggi dengan share 25,7 persen, juga impor sebesar 29,5 persen.
"Tapi kita enggak bisa melihat kalau pertumbuhan ekonomi China melamban otomatis Indonesia ekonominya lamban one on one. Karena mereka membutuhkan bahan baku yang berasal dari Indonesia," pungkasnya.
Batasan Covid-19 Melonggar, IMF Ramal Lagi Ekonomi China Melambat di 2023
Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperkirakan ada kemungkinan China mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah untuk tahun ini dan berikutnya. Hal itu dikarenakan pelonggaran Covid-19 diperkirakan akan mendorong lonjakan infeksi sehingga masih menyulitkan pemulihan.
Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/12/2022) sementara kebijakan nol Covid-19 di China telah mengguncang ekonominya, Georgieva menyebut, pelonggaran pembatasan juga akan menimbulkan beberapa kesulitan selama beberapa bulan ke depan.
"Tetapi kemungkinan karena China mengatasi ini pada paruh kedua tahun ini, mungkin ada beberapa perbaikan dalam prospek pertumbuhan," kata Georgieva.
Pernyataan Georgieva tersebut disampaikan di sela-sela panel tentang dana baru IMF ketika China bergulat dengan melonjaknya kasus virus corona, karena melonggarkan kebijakan Covid-19 setelah hampir tiga tahun.
IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini, yang merupakan angka terendah dalam beberapa dekade.
Namun IMF juga masih melihat pertumbuhan ekonomi China akan menyentuh 4,4 persen tahun depan. "Sangat mungkin, kami akan menurunkan proyeksi pertumbuhan kami untuk China, baik untuk tahun 2022 maupun 2023", ungkap Georgieva.
Dia menyarakan, negara itu perlu menyesuaikan kebijakan Covid-19nya, salah satunya menggenjot vaksinasi, terutama untuk populasi lanjut usia. Ada juga kebutuhan untuk menggunakan lebih banyak pengobatan antivirus.
"Dengan kata lain, memperlengkap kembali sistem kesehatan untuk merawat pasien daripada mengisolasi, yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir," pungkas Georgieva.
Dengan 2023 yang ditetapkan sebagai tahun yang sangat sulit, Georgieva menegaskan kembali bahwa kemungkinan penurunan lebih lanjut dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan "tinggi".
Selain tantangan di China, ekonomi AS dan Uni Eropa juga diperkirakan akan melambat secara bersamaan, dengan proyeksi setengah dari Eropa akan mengalami resesi tahun depan, sebutnya.
Advertisement