Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 dan PMK Nomor 192/2022 tentang kenaikan cukai rokok, atau cukai hasil tembakau (CHT) 2023-2024 sebesar 10 persen.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akan melakukan langkah-langkah guna memastikan kelancaran proses transisi dari kebijakan tahun sebelumnya menuju ke tahun 2023.
Baca Juga
Langkah pertama, mulai 15 Desember 2022, DJBC akan melakukan penetapan kembali terhadap seluruh merek sigaret yang masih berlaku yang terdaftar pada administrasi DJBC.
Advertisement
"Pelaksanaan penetapan kembali dilakukan terotomasi melalui aplikasi ExSis tanpa permohonan dari pengusaha pabrik atau importir. Sementara, untuk pengusaha pabrik/importir rokok elektrik dan HPTL, mulai tanggal 15 Desember 2022 perlu untuk mengajukan permohonan penetapan tarif cukai merek baru karena adanya perubahan administrasi cukai," jelas Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Senin (19/12/2022).
Soal pemesanan pita cukai, Sri Mulyani menambahkan, proses Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C) Tahun Anggaran (TA) 2023 sudah dapat dilakukan melalui aplikasi ExSis oleh pengusaha pabrik/importir sesaat setelah proses penetapan kembali berhasil dilakukan.
"Terkait ketersediaan pita cukai, DJBC telah berkoordinasi dengan konsorsium penyedia pita cukai untuk menilai kesiapan konsorsium dalam mencetak pita cukai TA 2023. Dari koordinasi tersebut, pihak konsorsium menjamin ketersediaan pita cukai Tahun Anggaran 2023 pada awal Januari 2023," imbuhnya.
"Untuk menunjang kelancaran masa transisi ini, DJBC akan melakukan sosialisasi kebijakan kepada asosiasi pelaku usaha industri hasil tembakau," kata Sri Mulyani.
Adapun tujuan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10 persen pada 2023-2024 dilakukan untuk mendukung target penurunan prevalensi merokok anak. Khusus tarif cukai untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), kenaikan maksimum sebesar 5 persen dengan pertimbangan keberlangsungan tenaga kerja.
Selain itu, hasil tembakau berupa Rokok Elektrik (REL) dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) tarif cukainya juga dinaikkan rata-rata sebesar 15 persen dan 6 persen setiap tahunnya untuk dua tahun ke depan.
Administrasi cukai REL dan HPTL disederhanakan dengan penetapan tarif cukai berlaku cukup terhadap setiap varian volume kemasan penjualan eceran per harga jual eceran (HJE), serta pemberian fitur personalisasi pada pita cukai REL dan HPTL.
Ekonomi Dibayangi Krisis, Pemerintah Diminta Tunda Kenaikan Cukai
Kebijakan Pemerintah menaikan cukai rokok rata-rata sebesar 10 persen selama dua tahun berturut turut, pada periode 2023 dan 2024 mendapatkan menulai tanggapan dari berbagai pihak terutama kalangan pelaku industri hasil tembakau (IHT).
Kebijakan yang diambil pada saat masih terjadi krisis ekonomi selain akan semakin berdampak pada pengurangan tenaga kerja, juga akan semakin menyusahkan pelaku ekonomi kecil khususnya UMKM (usaha mikro kecil dan menengah ) yang selama ini banyak jualan produk dari IHT.
“Pada saat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,0 persen- 5,3 persen, , maka setiap satu persen kenaikan cukai rokok, hal ini berpotensi menurunkan angka penjualan sigaret sebanyak 1,61 miliar batang. Dengan demikian, apabila kenaikan cukai rokok selama dua tahun berturut turut masing-masing rata rata sebesar 10 persen, berarti akan ada penurunan penjualan sigaret lebih dari 16,1 miliar batang," ungkap Ketua Umum APTI Provinsi NTB Sahmihuddin, dalam keterangan tertulis di Jakarta, (16/12/2022).
"Kenaikkan cukai rokok yg terus-menerus dilakukan setiap tahun, tanpa mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi cukup ampuh buat menurunkan produksi sigaret bercukai atau rokok legal yang pada akhirnya banyak Perusahaan Rokok yang tutup atau mati,” tegas dia.
Lebih lanjut Sahminudin menegaskan, apabila perusahaan rokok banyak yang mati, selain menutup lapangan pekerjaan, menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di kalangan buruh atau pegawai industri rokok, juga semakin menyengsarakan petani tembakau yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Saat ini terdapat sekitar 6 juta tenaga kerja di sekitar industri tembakau baik langsung maupun tidak langsung. Ketika setiap tahun pemerintah menaikan cukai rokok dengan angka yang sangat tinggi, jelas membuat perusahaan rokok perlahan lahan akan mati. Apakah pemerintah sudah siap menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan tenaga kerja dari sektor IHT yang kehilangan pekerjaan,” tanya Sahmihudin.
Advertisement
Situasi Ekonomi
Ketua Gaprindo Benny Wachyudi menyampaikan, saat ini situasi ekonomi sedang benar-benar mengalami kesulitan. Bukan hanya IHT yang sedang mengalami kesulitan, industri lainnya juga. Adanya kenaikan cukai rokok selama dua tahun berturut turut semakin membrratkan perekonomi masyarakat, termasuk IHT.
“Dengan adanya kenaikan cukai. Tentu ini sangat memberatkan. Belum lagi dengan daya beli yang sangat turun. Dalam situasi seperti ini harusnya ada kelonggaran berupa penundaan kenaikan cukai rokok,” papar Benny Wachyudi.
Benny Wachyudi meminta pemerintah meninjau ulang kebijakannya menaikan cukai rokok di tahun 2023 dan 2024.
“Harapan kami agar kebijakan menaikan cukai rokok ditinjau lagi. Kalaupun tetap naik, kenaikannya satu digit saja atau sekitar 7-8 persen saja tidak naik setinggi itu,” pinta dia.
Penjualan Rokok
Pendapat senada disampaikan Ketua Umum Formasi Heri Susianto. Menurutmya, setiap kali kenaikan tarif cukai rokok, berdampak pada pengurangan jumlah penjualan rokok dan berdampak pada penurunan produksi.
Otomatis, hal ini akan mengancam keberlangsungan tenaga kerja di sektor industri rokok.
“Jika pemerintah masih terus menaikkam cukai rokok, tanpa diimbangi dengan pemberantasan rokok illegal, sudah pasti perusahaan rokok nasional di tanah air lama lama akan hancur," Heri Susianto.
"Hal ini berarti juga mengancam keberlangsungan lapangan pekerjaan di sektor industri rokok. Sekaligus juga akan menyebabkan banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya,” papar dia.
Advertisement