Sukses

Negara Maju Minta Indonesia Tekan Emisi Karbon, Dirut PLN: Kita Ini Korban

Emisi karbon atau emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi satu tolok ukur kotornya penggunaan energi di suatu wilayah. Ternyata, emisi GRK negara maju, jauh lebih tinggi dari tingkat emisi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Banyak negara maju kini beralih menuju energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan. Termasuk, sejumlah negara maju yang meminta Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

Beberapa waktu lalu, sejalan dengan Presidensi G20, diketahui banyak negara yang meminta Indonesia mulai meninggalkan pembangkit listrik tenaga fossil. Alasannya, adalah emisi karbon yang dihasilkan sangat besar, ditambah adanya ancaman krisis iklim kedepannya.

Emisi karbon atau emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi satu tolok ukur kotornya penggunaan energi di suatu wilayah. Ternyata, emisi GRK negara maju, jauh lebih tinggi dari tingkat emisi Indonesia.

Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengunkap datanya. Dia menyebut Emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat sebesar 15 ton per kapita pertahun, emisi gas rumah kaca di Eropa sebesar 11-12 ton perkapita per tahun. Kemudian emisi gas rumah kaca di Australia sebesar 19 ton per kapita per tahun.

"Pertanyaannya, emisi gas rumah kaca per kapita per tahun di Indonesia berapa? Jawabannya adalah 3 ton per kapita per tahun. Jadi kita ini sebagai korban," kata dia dalam Forum Transisi Energi, Kamis (22/12/2022).

Bukan tanpa alasan, pernyataannya ini merujuk pada permintaan banyak negara kalau Indonesia harus menyetop penggunaan energi kotor. Disamping itu, pembiayaan ke energi berbasis fosil pun mulai dihentikan oleh beberapa pihak. Padahal, nyatanya, penyumbang emisi karbon paling banyak adalah negara maju itu sendiri.

"Nah, tetapi apakah ini menyurutkan kita? 'Ini bukan lagi tugasnya kita,' Oh bukan, karena ini haruslah menjadi global effort. Untuk itu kita mengambil alih leadership of transition energy to our own hand karena ini harus dilakukan bersama-sama," bebernya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jalin Kerja Sama

Untuk itu, pihaknya menjalin berbagai kerja sama dengan sejumlah negara maju. Tujuannya untuk membangun kolaborasi dalam upaya menekan emisi karbon.

Misalnya, dalam 6 bulan terakhir, Darmawan melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat, Jepang, hingga China. Dimana akhirnya Indonesia mendapat komitmen melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Itu kita mampu menunjukkan Kemampuan kepemimpinan Indoneisa sebagai presidensi G20 dan dalam hal ini we are able to marshall bagaimana melobi bahwa dalam menghadapi tantangan ini kita tak boleh sendirian," ujarnya.

"Bahwa perlu ada dukungan policy, perlu adanya kolaborasi tekkologi, kolaborasi inovation, kolaborasi d aa ri suaty investment dalam skala global dan untuk itu juga kami berhasil mendapatkan dukungan dana USD 20 miliar dalam hal ini," sambung Darmawan Prasodjo.

 

3 dari 4 halaman

Lepas Listrik dari PLTU

Direktur Utama PT PLN (persero) Darmawan Prasodjo menegaskan komitmennya dalam mendukung bauran energi baru terbarukan atau EBT. Bahkan, dia merekalan sekitar lebih dari 15 GW listrik yang bersumber dari pembangkit dengan energi fossil.

Pria yang karib disapa Darmo itu menuturkan, komitmen ini dimulai sejak penyusunan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) Nasional. Pada saat itu, PLN dengan berani menghapus rencana 13 GW listrik yang dipasok oleh PLTU.

"Maka, pada saat perencanaan RUPTL, kita menghapus 13 GW PLTU batu bara yang tadinya dalam perencanaan, kita hapus sehingga kita mampu mengurangi, avoiding, menghindari CO2 emission 1,8 miliar ton selama 25 tahun,"ujarnya dalam Forum Transisi Energi, Kamis (22/12/2022).

Darmo menyampaikan, langkah ini nyatanya belum cukup untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan. Maka, dia memutuskan untuk kembali menghapus 1,1 GW listrik dari PLTU. Kali ini langsung menggantikannya dengan EBT. Langkah ini berkontribusi menekan 150 juta ton emisi karbon per tahun.

Selanjutnya, ada 800 MW listrik yang pasokannya diganti ke berbasis gas bumi. Gas sendiri dinilai memiliki emisi karbon lebih rendah dari emisi batu bara.

"Apa ini sudah cukup? Masih belum juga. Ada pembangkit yang sudah punya kontrak, itupun kita bernegosiasi, dan bagaimana kontrak itu di gagalkan. Jadi ada 1,4 GW itu sudah kita batalkan dan itu sekitar 200 juta ton emision CO2 bisa kita avoid," paparnya.

Tak berhenti disitu, pihaknya juga membangun RUPTL yang lebih agresif untuk mrndukunf energi baru terbarukan. Pasalnya, PLN menjadi satu-satunya perusahaan yang menyediakan listrik ke masyarakat.

 

4 dari 4 halaman

Rencana Agresif

Lebih lanjut, Darmo menugungkap rencana agresif yang dimaksudnya. Yakni, dengan adanya penambahan pembangkit EBT sebanyak 51,6 persen hingga 2030. Artinya, mayoritas penambahan pembangkit listrik yang dilakukan PLN berbasis pada energi bersih.

"Artinya ada 20,9 GW additional capacity pembangkit EBT akan dibangun selama sampai 2030," paparnya.

Pada saat yang sama, PLN juga berusaha untuk melakukan pensiun dini bagi beberapa PLTU yang dimiliki. Sehingga ada ruang untuk masuknya pembangkit EBT.

"Bahwa kita ingin ada akselerasi dari transisi energi. Bagaimana caranya, adalah kita membangun suatu strategi yang ada program pensiun dini PLTU sehingga ada additional Renewable energy dari yang sudah direncanakan, bisa masuk dalam ekosistem kami dan kami kembali selama 6 bulan ini menganbil international leadership agar program ini berjalan baik," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.