Sukses

Pekerja AS Gigit Jari, 27 Persen Perusahaan Tak Sebar Bonus Akhir Tahun

Data dari survey Challenger, Gray & Christmas menunjukkan 27 persen perusahaan di AS mengatakan tidak akan memberikan bonus akhir tahun pada karyawan.

Liputan6.com, Jakarta - Ketidakpastian ekonomi membuat musim liburan akhir tahun yang kurang menguntungkan bagi para pekerja di Amerika Serikat. 

Dilansir dari CNN Business, Jumat (23/12/2022) survei yang dilakukan oleh Challenger, Gray & Christmas menunjukkan tahun ini akan  lebih banyak perusahaan di AS yang menahan bonus akhir tahunnya bagi karyawan

Survei itu mengungkapkan, lebih dari 81 persen dari 252 pemberi kerja mengatakan berencana untuk menyamakan nilai bonus liburan pada tingkat yang sama tahun lalu.

Disebutkan, akan semakin banyak perusahaan yang tidak akan mencairkan bonus akhir tahunnya kepada karyawan sama sekali. Data dari survey Challenger, Gray & Christmas menunjukkan 27 persen perusahaan mengatakan tidak akan memberikan bonus, menandai kenaikan dari 23 persen pada 2021 lalu.

"Perusahaan lebih khawatir tentang resesi ekonomi atau pelambatan yang akan terjadi di sekitar kuartal berikutnya, dan Anda mulai melihat hal itu muncul di beberapa indikator ini," kata wakil presiden senior Challenger, Gray & Christmas, Andrew Challenger.

Dalam beberapa bulan terakhir, gelombang PHK juga mulai terjadi di AS, mulai dari industri teknologi, media, hingga real estate.

Meskipun demikian, secara keseluruhan, pasar tenaga kerja di negara itu masih tetap sangat kuat menurut standar historis, di mana ada jauh lebih banyak posisi yang tersedia.

"Kami telah berada di pasar tenaga kerja paling ketat dalam sejarah Amerika modern (dengan) tingkat PHK terendah, kenaikan upah tertinggi, jumlah lowongan pekerjaan tertinggi, jumlah pekerjaan berhenti tertinggi," jelas Challenger.

"Jadi ketika keadaan melunak, pasti, PHK akan meningkat, bonus akan turun, upah akan berhenti naik dengan kecepatan yang sama – dan itu jika kita memiliki pendaratan yang baik dan lembut," ujarnya.

 

2 dari 4 halaman

AS Antisipasi Resesi, Menanti Suku Bunga The Fed Melunak

Seperti diketahui, ekonomi Amerika sendiri tengah menghadapi ancaman resesi ketika lonjakan inflasi menghantui negara itu. 

Meski inflasi sudah menunjukkan penurunan, harga bahan-bahan pokok masih berada di angka yang tinggi, dengan inflasi yang sudah direspons dengan kenaikan suku bunga yang agresif oleh The Federal Reserve (The Fed).

Upaya The Fed menurunkan inflasi pun tak terlepas dari kekhawatiran bahwa periode resesi semakin dekat.

"Rasanya kecil kemungkinan tahun depan akan sebagus tahun ini, hanya karena tahun ini, masih sangat bagus," kata Challenger.

 

3 dari 4 halaman

Dibayangi Ancaman Resesi, Kepercayaan Warga AS Mulai Luntur

Masyarakat Amerika Serikat masih dibayang-bayangi kekhawatiran resesi, meski inflasi di negara itu mulai menunjukkan penurunan.

Dikutip dari CNN Business, Selasa (20/12/2022) ekonom ternama asal Inggris, John Maynard Keynes mengatakan bahwa ketakutan, harapan, ketidakpastian, dan kepercayaan diri dalam perekonomian merupakan hal yang sangat sulit diukur.

Bahkan, mengkhawatirkan resesi hanya akan membuat prakiraan tersebut terjadi dengan sendirinya.

Kepala ekonom di Moody's Analytics, Mark Zandi juga melihat bahwa ancaman resesi mempengaruhi kepercayaan diri konsumen, salah satunya konsumen khawatir kehilangan pekerjaan sehingga menarik kembali pengeluaran, dan pemimpin bisnis khawatir penjualan menurun dan mulai merumahkan pekerja.

"Pada akhirnya, resesi adalah hilangnya kepercayaan" ujar Zandi. 

"Anda masuk ke dalam siklus negatif yang memperkuat ketakutan diri sendiri. Jadi, ketika sentimen seburuk ini dan mulai memakan diri sendiri, kita sangat berisiko," sambungnya. 

Menjelang akhir 2022, ekonomi AS mulai mencatat kemajuan. Negara itu tumbuh 2,9 persen pada kuartal ketiga, dan tingkat pengangguran juga mendekati level terendah dalam 50 tahun terakhir.

Namun, kata Zandi, hal itu tidak akan bertahan lama, ketika The Fed, bank sentral AS menurunkan proyeksi pertumbuhan negara itu menjadi hanya 0,5 persen pada 2023. Adapun tingkat pengangguran yang diproyeksikan naik menjadi 4,6 persen pada akhir tahun depan.

CEO maskapai United Airlines, Scott Kirby mengakui bahwa pegiat bisnis mulai mengantisipasi dengan berpikir seolah-olah akan ada resesi ringan pada 2023 mendatang.

Dan banyak orang di dunia bisnis membicarakan hal itu, dan menjadi hal yang kadang-kadang saya sendiri rasakan," kata Kirby. 

"Tetapi, jika saya tidak menonton acara bisnis atau membawa Wall Stress Journal, maka kata resesi tidak akan ada dalam kamus saya, karena memang saya tidak melihatnya dalam data," tambahnya.

Sementara itu, Gubernur The Fed Jerome Powell dan sejumlah ekonom AS, termasuk Menteri Keuangan AS Janet Yellen masih melihat jalan keluar resesi dengan soft landing.

"Selalu ada risiko resesi. Ekonomi masih rentan terhadap guncangan," beber Yellen dalam 60 Minutes CBS.

4 dari 4 halaman

Ada Revisi, Ekonomi AS Ternyata Tumbuh 2,9 Persen di Kuartal III 2022

Perekonomian Amerika Serikat pada kuartal ketiga 2022 tumbuh lebih dari yang dilaporkan sebelumnya, dengan data pemerintah menunjukkan revisi pada belanja ritel dan beberapa bentuk investasi.

Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (1/12/2022) pertumbuhan PDB AS pada periode Juli hingga September 2022 mencapai 2,9 persen, lebih baik dari angka 2,6 persen yang dilaporkan pada Oktober 2022 oleh Departemen Perdagangan negara itu.

Angka tersebut merupakan ekspansi pertama AS tahun ini, setelah dua perempat pertumbuhan negatif yang memperdalam kekhawatiran resesi di negara ekonomi terbesar dunia tersebut.

Estimasi terbaru "terutama mencerminkan revisi naik belanja konsumen dan investasi tetap nonresidensial", demikian keterangan Departemen Perdagangan AS.

Kenaikan PDB terjadi beberapa hari sebelum pemilihan paruh waktu di AS, dalam berita sambutan untuk Presiden Joe Biden.

Tetapi analis masih memperingatkan situasi ekonomi yang kurang cerah ke depannya, dengan mengatakan bahwa lompatan yang terlihat dalam ekspor AS kemungkinan tidak berkelanjutan.

Ekonom Oren Klachkin memperingatkan bahwa angka PDB AS kali ini "menutupi retakan di bawah permukaan". Revisi penurunan impor berarti perdagangan bersih menawarkan dorongan "bahkan lebih kuat" untuk pertumbuhan, katanya dalam sebuah catatan.

Dia menambahkan bahwa laporan tersebut juga memberikan pandangan awal tentang bagaimana nasib perusahaan di AS pada kuartal terakhir 2022, mencatat bahwa keuntungan "bernasib relatif baik" meskipun dalam lingkungan yang menantang.

"Meskipun biaya dan harga pinjaman lebih tinggi, pengeluaran rumah tangga dan penggerak ekonomi tampaknya bertahan," ungkap ekonom Rubeela Farooqi dari High Frequency Economics dalam sebuah analisis.