Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan sepanjang tahun 2022, Pemerintah RI mencetak utang sebesar Rp688,5 triliun untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai syok absorber.
Realisasi tersebut turun 20,9 persen atau tidak mencapai target pencetakan utang yang direncanakan sebesar Rp943 triliun dalam Perpres 98 tahun 2022.
Baca Juga
"Dalam Perpres 98 ditargetkan Rp943 triliun dan realisasinya Rp 688,5 triliun atau 73 persen. Ini turun 20,9 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp870 triliun," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Advertisement
Dia menjelaskan, sepanjang tahun 2022 pemerintah penerbitan Surat Utang Negara (SUN) realisasinya hanya Rp658 triliun dari yang direncanakan Rp961,4 triliun. "Artinya ini turun 24,9 persen kalau dilihat dari target awal SBN Netto," kata dia.
Sementara itu realisasi pembiayaan utang dari pinjaman realisasinya Rp29,7 triliun. Angka ini lebih besar dari yang direncanakan yakni Rp17,7 triliun dalam Perpres 98/2022.
Sri Mulyani mengatakan tahun 2022 menjadi tahun terakhir pemerintah dan Bank Indonesia bekerja sama dalam pembelian surat Utang. Dari SKB I, BI telah membeli surat utang sebesar Rp49,11 triliun. Terdiri dari SUN sebesar Rp25,2 triliun dan SBSN sebesar Rp23,9 triliun.
Sedangkan dari SKB III realisasinya sebesar Rp224 triliun. Terdiri dari pembelian SUN Rp207,4 triliun dan SBSN Rp16,6 triliun.
"Untuk SKB III ini BI langusng membeli dari penempatan langsung SBN , yang Rp224 triliun ini memang sesuai kesepakatan," kata dia.
Secara umum, Sri Mulyani mengatakan pembiayaan ini menunjukkan kondisi Indonesia lebih baik dan sehat. Sebab pencetakan utang pemerintah cenderung menurun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Jadi dari pembiayaan ini dalam situsasi ini lebih sehat dan terkendali. Pembiayaan utang, SBN yang jauh lebih rendah untuk menstabilkan dan menyehatkan fiskal kita," kata dia.
Â
Reporter:Â Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Sri Mulyani Akui Indonesia Tak Kebal Inflasi
Pemerintah RI akhirnya mengakui Indonesia tidak bisa kebal dari gejolak kenaikan inflasi yang menimpa berbagai negara dunia di tahun 2022. Kenaikan harga-harga komoditas dunia membuat tekanan inflasi di Tanah Air melonjak hingga 5,5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tekanan inflasi sangat terasa dampaknya setelah pemerintah memutuskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal September 2022.
"Dari sisi inflasi Indonesia tidak bisa totally imune dari pengaruh kenaikan komodoitas-komoditas seluruh dunia," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2023, Jakarta, Selasa (3/12/2022).
Dia menuturkan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sepanjang tahun 2022 telah bekerja luar biasa untuk menstabilkan harga-harga. Termasuk memberikan subsidi yang nilainya melonjak hingga lebih dari 3 kali lipat.
Kenaikan harga BBM telah membuat inflasi dari harga yang diatur pemerintah menjadi 13 persen. Sedangkan core inflation ada di 3,4 persen.
"Ini menunjukkan permintaan dalam perekonomian kita memang mengalami kenaikan sehingga inflasi core atau inti juga memberikan sumbangan," ungkapnya.
Advertisement
Lebih Baik dari Negara Lain
Meski begitu, upaya ini dianggap telah membuahkan hasil karena tingkat inflasinya lebih baik dari negara lain. Baik dari negara anggota G20, ASEAN 6 dan ASEAN 5.
"Inflasi sampai akhir tahun terlihat pada 5,5 persen, relatif modest dibandingkan semua negara baik di G20 ataupun di ASEAN 6 atau ASEAN 5," kata dia.
Beberapa negara mengalami inflasi di atas Indonesia antara lain Thailand 5,6 persen, Brazil 5,9 persen, India 5,9 persen, Perancis 6,2 persen. Kemudian Singapura 6,7 persen, Kanada 6,8 persen, AS 7,1 persen, Eropa 10,1 persen, Inggris 10,7 persen. Ada pun 2 negara dengan tingkat inflasi tertingg yakni Argentina mencapai 92,4 persen dan Turki 84,4 persen.